Jamal Passalowongi

penulis adalah guru di SMAN 6 Barru Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web
GILA GELAR

GILA GELAR

“Undangan ini saya tolak!” Suara keras mengangetkan seisi rumah siang itu, tidak terkecuali Asril yang sedang mengantar undangan itu. Asril mengira sudah berakhir, ternyata suara keras H. Malak berlanjut.

“Ingat, saya ini sudah Haji, pernah menginjak tanah Haram!”

“Ini pelecehan!, saya tidak terima...tidak terima” Suara H. Malak semakin keras, membangunkan istrinya yang sedang tidur siang.

“Ada apa Pak, kenapa ribut-ribut dengan suara besar begitu”

“Ini, Bu masa di undangan ini tidak menulis saya Haji, padahal kan saya sudah Haji dua kali lagi!, ini pelecehan besar, tidak menghargai Haji, saya tidak terima...sangat tidak terima!” H. Malak memperlihatkan undangan merah tua kepada istrinya. Istrinya geleng-geleng kepala sambil mengambil undangan itu.

“Sudahlah Pak, disinikan sudah tertulis mohon maaf bila nama dan gelar tidak sesuai!” Istri H. Malak menunjukkan tulisan kecil pada sampul undangan.

“Ah..tetap saja saya tidak terima, ini mungkin kesengajaan, cobal liat inikan undangan H. Kusdi, anaknya yang mau menikah. H. Kusdi kan tahu saya ini juga sudah Haji, pokoknya saya tidak terima.”

Sambil mencak-mencak H. Malak meminta undangan itu dikembalikan.

“Hei! Kamu berdua pengantar undangan, kembalikan ini, dan kasi tahu H. Kusdi, saya tidak akan hadir pada pesta pernikahannya anaknya, biar tahu rasa dia, tidak menulis Haji di depan nama saya!”

Sambil menunjuk Asril dan Umar yang dari tadi sudah keringat dingin, H. Malak mengembalikan undangan itu. Istrinya tampaknya sudah maklum dengan sikap suaminya. Tanpa menunggu diminta dua kali segeralah Asril berlalu dengan cepat.

Asril megeluh berat, dalam hatinya juga dongkol sekali. Sudah dua hari ini menolong H. Kusdi mengantarkan undangan ke berbagai tempat, dan sudah dua kali pula Asril berkeringat dingin menghadapi kelakuan orang yang dituju undangan itu. H. Malak salah satuanya, Ia menolak undangan karena tidak ada gelar Haji di depan namanya, yang lain Pak Irman, melempar undangan itu ke lantai, sambil mengomel-ngomel, katanya undangan itu tidak mencantumkan Magisternya. padahalkan semua orang sudah tahu Pak Irman sudah S-2 di Jawa.

Menurut mereka ini adalah pelecahan dan penghinaan terhadap gelar-gelar mereka. H. Malak menjelaskan bahwa Haji itu tidak sembarang orang yang dipanggil ke tanah Suci Mekkah, hanya mereka yang mampu dan beriman, itukan luar biasa, sebuah predikat yang langsung diberikan Tuhan, cobalah dihargai, bukan saya kata H. Malak, tapi hargai Tuhan yang memberikan gelar Haji itu. Begitulah H. Malak menjelaskan, mencoba merasionalkan kenapa Ia menolak undangan atau apa saja yang tidak menambahkan gelar hajinya.

Sejalan dengan pendapat H. Malak. Pak irman mengatakan bahwa gelar S-2 itu bukan gelar biasa, itu adalah gelar keahlian tingkat tinggi setelah Sarjana, dan tentu saja didapatkan dengan perjuangan, “darah dan air mata” katanya. Selama dua tahun Ia berjuang di Jawa, menyelesaikan banyak hal, dan berhasil menuntaskan S-2 nya, coba pikir katanya, berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk S-2 itu, itu belum terhitung tenaga dan pikiran, coba pikir.

Asril mencoba berpikir-pikir, mereka ada benarnya juga. Tapi sepertinya tetap saja ada perasaan tidak nyaman dihatinya. Masa sih, hanya karena gelar itu, orang harus marah-marah dan menolak undangan. Apa tidak salah, buktinya Pak Idris kemarin Istrinya hanya katakan ada yang salah denagn gelarnya Bapak, tapi tidak jadi masalah, H. Jumi juga demikian, malah ada gelarnya tidak sesuai, tapi juga tidak apa-apa.

Arsril tampaknya cukup bingung dengan masalah ini, maklum di hanya tamat SMA, tidak punya gelar akademik, apalagi gelar Keagamaan. Pada pikirnya, apakah gelar itu sangat berarti melebihi perbuatan dan aklhak kemanusiaan. Di televisi juga banyak berita orang bergelar yang korupsi, ada juga yang bergelar Prof, Dr. dr, S.H., atau apalah, dan tentu saja banyak yang bergelar Haji. Apakah gelar itu menjadi petunjuk kebaikan yang nyata, bahwa bila sudah bergelar ini-dan itu, orang itu pasti sudah baik, kan ternyata tidak, begitulah dalam hati Asril merenungi segala yang terjadi saat mengantar undangan.

Boleh jadi gelar penting, tetapi menurut Asril tidak lebih penting dari sikap sang pemilik gelar. Tidak ada yang menyangkal perjuangan H. Malak pergi ke Mekkah, atau Pak Irman menyelesaikan S-2 nya di Jawa, tetapi dalam kehidupa sosial gelar menjadi tereliminasi dengan sikap dan perilaku keseharian sang pemiliki gelar.

--selesai---

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sebagian orang mungkin mengagungkan gelar. Khusus untuk gelar haji adalah gelar yang disematkan belanda pada orang indonesia yang pulang haji. Ini untuk mengidentifikasi pergerakan pejuang islam yang biasa berani melawan penjajah karena mendapat pencerahan selepas berhaji. Jadi jangan terlalu bangga.

04 Aug
Balas



search

New Post