Jamal Passalowongi

penulis adalah guru di SMAN 6 Barru Sulawesi Selatan...

Selengkapnya
Navigasi Web
LASKAR TAK BERGUNA

LASKAR TAK BERGUNA

Jika ingin melihat sisi lain manusia, datanglah ke rumah sakit. Saat mengantre di bagian syaraf, dan penyakit dalam maka Anda silakan mengambil nafas dalam-dalam melihat antrean orang-orang tua berjejer dengan rapi, mereka datang pagi-pagi sekali bahkan sebelum loket kartu terbuka. Kartu pertama sampai sepuluh adalah kartu emas yang diperlombakan para orang-orang tua ini.

“Silakan duduk, Nak! Nomor berapa?” seorang kakek berbaju safari lusuh menggeser sedikit memberikan ruang duduk padaku yang dari tadi berdiri melongo melihat antrean para tetua.

“Makasih, Pak. Nomor 67” kuperlihatkan no antreanku, dan dengan sedikit ragu akupun duduk diapit orang-orang tua.

“Seharusnya, kamu bisa cepat antre, kan masih muda!” orang tua disebelahku angkat bicara

“Iya, Pak. Saya dari sekolah tadinya, izin dulu” kataku sedikit menjelaskan mengapa saya kalah cepat dengan mereka. Ada dua hal yang harus mereka mengerti dalam ucapan saya itu, pertama saya orang kantoran, tidak seperti mereka yang sudah uzur semua tentu tidak ada urusan lain kecuali berlomba mengantre di sini. Kedua, saya menegaskan bahwa saya bukan pegawai yang suka keluyuran begitu saja, bahkan untuk ke rumah sakit ini saya minta izin pimpinan. Sekaligus menegaskan saya adalah ASN yang berintegritas. Walaupun dalam hati, saya merasa malu juga berpikir demikian.

“Kamu tau, Nak! Mereka yang berjejer ini siapa saja!” kata orang tua tadi, sepertinya di memahami maksud ucapan saya. Aduh..saya tiba-tiba merasa malu sendiri.

“Maksudnya, Pak!”

Orang tua itu kemudian mulai menunjuk, seperti mengabsen deretan orang-orang tua mulai dari ujung kursi sebelah kanan. Pertama, orang tua paling ujuang namanya pak Sabri, mantan kepala dinas dua priode dulu saat saya masih di SMP, salah satu peninggalan beliau yang masih ada sampai saat ini adalah bebeberapa SMA di kabupaten yang didirikan atas negosiasinya dengan kementerian waktu itu. Kini beliau sakit-sakitan di masa tuanya. Di sebelahnya ada pak Lukman, mantan kepala Kantor Urusan Agama kabupaten yang saat ini selalu membawa alat pendengaran, bila berbicara pada beliau suara harus keras karena sudah tuli, dulu karena jasa beliau yang berani meminta tambahan kuota Haji, akhirnya nenek saya bisa haji sebelum meninggal. Kemudian sebelahnya lagi adalah pak Nirsam, manta kepala Dinas Peternakan zaman ayah saya masih muda. Menurut yang bercerita, dialah paling tua di antara kami sudah 82 tahun, kelihatanya masih kuat berjalan, tetapi ia sudah dua kali operasi pakai cincin di jantungnya. Sapi-sapi perah yang sekarang mendukung perekonomian kita di kabupaten ini itu atas jasa beliau mengimport induk sapi perah Australia dan sekarang sudah berkembang pesat di daerah kita.

Saya mendengar cerita orang tua ini sambil menahan nafas, ternyata deretan “Laskar tak berguna” kata orang Malaysia, adalah orang-orang besar di masanya. Rasanya saya tidak percaya saat melihat mereka saat ini, tua, renta, berpenyakitan. Hilanglah ketegaran, ketenaran, dan kesehatannya.

“Bagaimana, saya lanjutkan” orang tua itu menepuk punggungku

“silakan, Pak”

Kini orang tua itu menunjuka kursi sebelah kiri, yang baju biru dengan stelan kuno adalah mantan seorang Polisi, ia lupa apa pangkatnya tapi dulunya seorang Kapolsek di daerah lain tetapi istrinya orang di sini, sekarang menghabiskan masa tuanya di daerah kita. Dulu katanya ia sangat keras, dan disiplin orang-orang menaruh hormat padanya karena berhasil mengamankan beberapa kali Pemilu rusuh. Di sebelahnya pak Dirman, mantan kepala sekolah SMA. Sepertinya saya kenal beliau, dulu saat masuk SMA beliau masih menjabat kepala sekolah, tetapi tidak lama kemudian pensiun. Penyakitnya kronis komplikasi, kasihan dia, rumah sakit ini sudah seperti rumah sakit keduanya.

Orang tua tadi melanjutkan, menunjuk orang di samping manta Kapolsek itu, pak Amran namanya, pensiunan tata usaha, kelihantannya di kesulitan bernafas, selalu ada tabung oksigen kecil di tangannya. Menurut si orang tua, pak Amran ini perokok berat, saat tua dan pensiun paru-parunya bermasalah. Kini orang tua itu mengarahkan telunjuknya pada seorang dengan tongkat dan kelihatannya terkena stroke. Nah… itu mantan anggota dewan dua kali periode, katanya pernah mencalonkan diri sebagai bupati tapi kalah, uangnya sudah habis, akhirnya banyak pikiran dan mengalami stroke.

“Bapak sendiri?” tiba-tiba refleks saya bertanya, soalnya deretan orang-orang di kursi tampaknya sudah habis dijelaskannya.

“Oh…Saya pensiunan guru SMA” katanya sambil memperbaiki duduknya

“Tapi bapak kelihatannya sehat-sehat saja?” kataku memuji

Ia kemudian tertawa. Ia kemudian berkisah, bahwa ia menjadi guru kurang lebih 30 tahun pengabdian pada negara. Sejak menjadi guru kehidupannya biasa-biasa saja, antara sekolah dan rumah. Mengajar, mendidik siswa dilakukannya dengan ikhlas. Anak-anak yang beragam gaya dihadapinya dengan biasa-biasa saja. Tidak banyak tuntutan dan keinginan macam-macam. Itulah sebabnya penyakit kronis tidak ada yang menghinggapi tubuhnya, paling flu atau demam biasa. Saat ini karena umurnya yang sudah tua tulangnya sudah rapuh sehingga “penyakit tua” itupun mulai menjemputnya.

“Anak seorang guru yah!” tiba-tiba orang tua itu menunjuka kartu pengenalku yang tergantung di kantong baju.

“Ia, Pak. saya guru”

“Sakit apa, kelihatannya masih muda?”

Pertanyaan terakhir membuat saya sedikit tersinggung, tapi juga membuat diri saya malu sendiri. Tersinggung karena saya menganggap siapapun bisa sakit, tidak peduli muda dan tua, saya memang jauh lebih muda dari beliau-beliau yang duduk di sini, tetapi penyakit itu tidak padang bulu. Malu sendiri karena beliau itu guru tua yang mengabdi 30 tahun tidak pernah menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduanya, hanya ketuaannya yang membuatnya merasakan duduk antre di rumah sakit ini.

Saya tiba-tiba memiliki hipotesis sendiri, mengapa bapak tua, pensiunan guru tua ini tetap sehat dimasanya, karena anak-anak yang diajarnya dulu seperti saya, tidak pernah memengang HP andoid ke sekolah, melakukan streaming, searching, game, film kekerasan, dan dewasa, sehingga saya tidak pernah tahu hal yang macam-macam dan mencobanya. Karena orang tua saya mengajarkan apapun yang dikatakan guru duduk dan dengarkan, jangan melawan guru. Guru adalah cahaya bagi kita semua.

Tentu ada anak nakal pada saat beliau mengajar, tetapi guru tua itu akan memberi hukuman yang setimpal dan membuat anak itu jera, saat pulang ke rumah dan menceritakan hukumannya, orang tuanya akan bersyukur dan ketika bertemu guru penghukum putranya di jalanan, ia menyalaminya, mencium tangannya, meminta anaknya dididik sebaik-baiknya.

Bagaimana guru seperti ini bisa sakit kronis, sedangkan salah satu penyebab penyakit itu adalah pikiran dan perasaan. Saya terdiam merenung, rasanya pertanyaan orang tua ini betul-betul menyiksa saya. Itu karena orang tua ini tidak paham bagaimana mendidik siswa zaman now, bukan soal didikannya tapi aspek ikutan pendidikan itu. Sulit rasanya menggambarkan seorang ayah datang ke sekolah mencium tangan guru meminta agar anaknya yang baru dihukum oleh guru tadi siang dimaafkan atas kesalahan yang diperbuatnya. Paling-paling kedatangannya ingin segera mengonfirmasi pada pihak sekolah bahwa guru yang menjewer telinga anknya tadi siang sudah masuk dalam laporan Polisi.

Saya berusaha mengalihkan pembicaraan dan tidak ingin menyebutkan penyakit yang saya derita saat ini, malu rasanya. Guru muda yang baru mengabdi 10 tahun sudah berpenyakit macam-macam. Akhirnya satu persatu pemegang nomor itu dipanggil masuk bertemu dokter, tidak terasa giliranku pun tiba.

Saya menghirup udara dalam-dalam begitu keluar dari rumah sakit. Sakit saya terasa jadi agak ringan padahal obat dari apotek rumah sakit masih terbungkus rapi. Ada rasa lega, pandangan saya berubah. Ternyata rumah sakit memberikan saya pelajaran berarti kali ini, padahal saya pernah menulis tentang rumah sakit ini tetapi bagian tidak enaknya, sikap perawat sampai manajemennya yang tidak beres. Tetapi dari sudut pandang lain ternyata ada dua pelajaran besar di rumah sakit ini. Pertama, sehebat apapun atau setinggi apapun jabatanmu, hanya satu nikmat Allah yang dicabutnya yaitu kesehatan maka kamu akan menjadikan rumah sakit sebagai rumah keduamu. Pelajaran selanjutnya, penyakit itu berkorelasi dengan pikiran dan perasaan. Jadi jadikan pikiran dan perasaanmu selalu terbuka, hadapi persoalan dengan sikap positif dan solutif.

==tamat==

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post