Bakti Kepada Bunda

Kecantikanku sudah menjalar hampir ke semua desa.Hidung mancung, kulit putih, gigi putih bak mutiara warisan bundaku. Sebenarnya tiada sukar bagiku untuk menemukan pujaan hatiku sebagai teman hidupku selamanya. Sudah banyak pemuda mencoba memikat hatiku, belum lagi para duda kaya desa desa sekitar kampungku. Aku tiada hari tanpa memikirkan bundaku. Aku tak akan meninggalkan bundaku yang sedang sakit akibat stroke. Bundaku adalah hatiku. Bundaku adalah tulang punggung keluarga. Ayahku sudah tiada bertahun yang lalu. Surgaku ada dikaki bundaku. Tiada kemilau berlian atau berjuta rupiah mampu memisahkan ku dari hatiku. Biarlah kecantikanku memudar oleh waktu tapi tidak baktiku kepada bundaku. Andai aku memasuki mahligai rumah tangga, aku tidak akan bisa memberi perhatian seutuhnya kepada bundaku, tapi kepada suami dan anak-anakku kelak. Walau ada pepatah uang bisa bicara, uang bisa mengatur semuanya. Andai menikah dengan orang kaya, aku akan mudah membayar pembantu mengurus bundaku atau rumahku. Tapi aku tidak mau orang lain mengurus bundaku. Kala aku masih dirahim bundaku, lahir di dunia dan dibesarkan yang melakukannya adala bundaku seorang. Sekarang giliranku melakukan baktiku. Biarlah aku mengarungi kehidupan fana ini bekerja sebagai seorang guru hasil pembiayaan bundaku dan akan aku baktikan hidupku merawat dan menemani bundaku sampai akhir hayatnya. Aku akan berjuang menyelesaikan kehidupan fana ini sampai akhir.