Keinginanku untuk menulis sudah seperti bisul yang mau pecah, tapi hingga saat ini belum terwujud. Aku ingin bisa menulis dan punya karya seperti guru-guru hebat yang tergabung dalam Sagu Sabu dan SituSeni. Ingin kutuangkan seluruh ide yang telah membuncah. Kemudian, dapat melahirkan karya seperti penyair besar Taufik Ismail, Chairil Anwar, dan W.S. Rendra yang karya-karyanya selalu dibaca murid-muridku diajang lomba. Aku juga ingin seperti novelis kondang N.H. Dini dan Andrea Hirata. Aku mau seperti mereka semua. Tetapi rasanya tidak mungkin ya? Mimpiku kunilai terlalu tinggi melambung seperti balon gas yang kalau dilepas akan melesat ke angkasa. Ya paling tidak, aku termotivasi dari teman-temanku S2 Unesa, mereka telah melahirkan berbagai karya melalui media Sagu Sabu.

Tekadku ini makin kuat saat aku mendapat brosur "Simposium Nasional: Menulis Efektif dan Menerbitkan Buku untuk Para Guru Indonesia" yang diselenggarakan oleh SituSeni dan IGI Kota Bandung pada tanggal 8 Oktober 2017 yang lalu. Kata-kata Kang Doddi Ahmad Fauzi dalam simposium itu selalu terngiang, "Kita jangan takut untuk menulis. Tulislah apa saja sesuai pengalaman Bapak Ibu". Hatiku mulai terusik, ingin cepat pulang dan segera menulis. Menulis apa pun itu yang penting menulis tekatku.

Walau berawal dari keterpaksaan, kucoba lahirkan karya pertama sebuah puisi yang berjudul "Wajah Kelasku". Aku buat sebisaku, tidak tahu bagaimana penilaian orang nanti, saat harus dipresentasikan di depan para guru hebat yang ikut simposium kedua. Deg-degan pasti. Sebagai penguat hati, kuikuti prinsip Teh Iis Wiyati pengarang novel Hinomaru, "yang penting menulis dan terus menulis jangan takut pada penilaian orang. Kalau tidak diterima ya nenulis lagi dan lagi". Plong rasanya, saat isi hatiku kutuangkan dalam tulisan yang tak bermakna ini. Kini, terwujud sudah keinginanku untuk bisa nenulis seperti para guru hebat yang lain. Walau tulisan ini tak berarti apa-apa bagi orang lain.