Sebatang rokok telah ada di tangannya dan iapun menyulutnya. Api merah berjalan melingkar pada pucuk rokok yang hirup dan lambat laun asap putih tipis muncul hingga berubah menjadi tebal. Ia semakin terlihat keren dengan penampilannya yang seperti itu. Penampilannya lebih keren dengan sepeda motor yang ada di sampingnya. Tidak hanya itu. Kulitnya yang putih , tubuhnya yang tinggi melengkapi kekerenannya. Yang lebih membuat iri teman-teman SMAnya adalah dia dianugerahi wajah yang tampan . Lengkap sudah hidup Asrul seperti tidak ada cacat sama sekali. Ya…bisa dibilang begitu. Terlahir dari keluarga mampu.

Berteman dengan Asrul tidak ada masalah buat Sandi karena Asrul ternyata tetangganya sendiri. Rumah Asrul ternyata dekat dengannya dan sejalan pula. Hanya butuh lima menit jika Sandi atau Asrul ingin saling bermain. Sandi sendiri heran ia tidak mengenal Asrul atau pernah melihat wajahnya. “Mungkinkah aku yang kurang bergaul? Padahal hanya lurus dengan rumahnya. Tidak ada satu kilo.” bisik Sandi. Iapun baru mengenal Asrul setelah menjadi satu kelas.

Asrul bisa dibilang anak yang baik. Bagiku tidak sombong. Entah orang lain. Mungkin karena dia tahu aku tetangganya. Aku tidak menggubris semua itu. Bagiku semua teman sama saja. Aku dan Sandi memang tidak dekat dan jarang bermain ke rumahnya. Itu karena aku sudah harus kerja sepulang sekolah. Aku juga tidak pernah berangkat sekolah atau berbonceng pulang saat bersamanya. Aku cukup mengayuh sepeda untaku bersama teman lainnya.

Dunia Asrul memang jauh berbeda dariku. Seperti bumi dan langit. Seragam sekolah yang putih bersih dan bau parfum yang sangat wangi serta potongan rambut yang berkelas terkadang membuat aku iri. Dia tampak semakin macho dengan sebungkus rokok Marlboro yang selalu jadi ciri khasnya. Walau sama-sama laki-laki aku juga merasa iri dan ingin sepertinya. Terkadang aku berkhayal menjadi dia. Namun aku tepis semua lamunan konyol itu dan berbalik dan memandangi siapa diriku sendiri.Kalau sudah begitu aku hanya tersenyum sendiri. Saat naik kelas dua aku harus berpisah dengannya. Aku jarang bertemu dan hampir tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya.

Di usiaku yang sudah empat puluh tahun aku bertemu lagi dengannya. Kebetulan aku mengantar adik iparku mendaftar kerja.Tanpa sungkan-sungkan aku menyapanya. Penampilannya masih ganteng seperti dulu cuma agak kurusan. Ia menyapaku pula dan ia menyuruhku meminta tolong jika ada lowongan pekerjaan. Betapa tercengangnya aku. Ternyata ia masih pengangguran dan luntang-luntung mencari pekerjaan. Ternyata pula ia tidak selesai kuliah karena ayahnya sakit keras dan tidak sanggup lagi membiayai kuliahnya.

Aku merasa kasihan juga. Mendengar semua ceritanya aku hanya mengatakan kalau ada lowongan akan kukabari nanti. Dengan kesibukan pekerjaanku aku seakan melupakan dia.Lima tahun kemudian aku mendengar kabar Asrul meninggal dunia karena penyakit Usus Buntu. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.

Rembang, 11 Juli 2020