Sajadah Rindu
SAJADAH RINDU
Jufriadi
Malam belum begitu larut, namun gerimis sepertinya merampungkan waktu ketitik sepi, tak ada suara hanya titik air yang menyentuh dedaunan menciptakan irama dengan berbagai penafsiran bagi suasana hati yang menikmatinya. Seperti halnya yang dirasakan Dafa. Sedari tadi hanya berbaring dan tak hendak tidur, hatinya gelisah menikmati gerimis yang kian membasah mencipta hujan .
“Ah.... Hujan ini mengingatkan kembali bait -bait cerita masa lalu. Cerita yang hendak dibenamkan dan tak hendak dikenang lagi, namun tetap hadir dan menggenangi telaga hati, membuncah di pelupuk matanya manakala hujan turun. Kalau sudah demikian maka perlahan kakinya melangkah, diraihnya sajadah usang dan dipandanginya dengan air mata tergenang.
Perlahan kenangan itu menjelma nyata, seraut wajah sahaja manis dalam senyuman, dengan rinai tatapan yang memesona bagi yang melihatnya. Bermula dari pertemuan yang tidak disengaja, kedua insan ini menemukan cintanya.
Bukit Kehi, sebuah bukit yang indah, eksotis dan alamnya masih perawan. Taman wisata di kabupaten Pamekasan yang elok, angin sepoi-sepoi membelai para pengunjung yang terpesona karena kecantikan alaminya. Dari sebuah pandangan ada kekaguman dan mengantar kepada ruang-ruang kehidupan menuju pantai harapan. Dua hati berlabuh dalam rindu yang menggemuruh
Anita, gadis desa yang manis dan tidak manja, bersandar di dada dengan mahar selembar sajadah dan ayat-ayat munjiat. Dafa terkesima membuka hijab bidadari sang bidadari surga. Kecantikannya alami disentuh kelembutan hatinya menjadikannya sempurna di mata Dafa.
Anita perempuan yang dibesarkan di lingkungan pesantren itu kini telah menjadi pendamping hidupnya. Ditatapnya wajah cantik yang menjadi pelengkap tulang iganya yang hilang itu dengan hati bergetar. Diciumnya perlahan wajah yang menawan, semerbak wangi kasturi yang membalur tubuh idaman semakin membawanya terbang ke destinasi impian. Rindu berlabuh dalam cinta yang utuh. Tiba-tiba hujan turun mengantar kedua mempelai dan dua hati yang sedang dimabuk cinta itu berpelukan ditengah hujan menyatukan air mata bahagia dengan titik-titik air yang berjatuhan dari langit.
" Lihatlah langit", katanya manja
" Ada apa dengan langit ' jawab Dafa tidak mengerti
" Langit merelakan hujan pergi memeluk bumi agar tumbuh benih-benih cinta kehidupan di bumi", sambal memeluk erat suaminya yang masih termangu.
" Suatu saat engkau akan mengerti" ucapnya pelan sambil mengerlingkan matanya minta dipeluk lebih erat.
Seminggu seusai janur kuning melengkung, Ketika pendar-pendar bahagia memenuhi dua hati yang Bersatu dalam ikatan suci, ternyata ada cinta yang lebih berharga, mengantar rindu berakhir pilu. Sang pemilik cinta telah memintanya kembali. Siang itu hujan turun dengan derasnya dan mereka berdua tak hendak berteduh dan ingin menikmati hujan berbasah-basah sambal berboncengan sepeda motor. Namun nahas, kecelakaan menimpa mereka berdua, sebuah mobil menabrak sepeda motor yang ditumpanginya dan Anita pergi untuk selamanya, sedang Dafa dirawat di rumah sakit selama setengah bulan. Dafa dengan tabah menerima takdir walau hati getir.
Ketika sudah dinyatakan sehat Dafa pulang dan langsung menuju pemakaman istrinya. Doa-doa melantun mesra bersama air mata yang terus menetes. Tetiba hujan mengguyur bumi dan Dafa tetap tidak beranjak dari doanya. Samar-samar terdengar suara berbisik dan itu suara Anita.
"Biarkan hujan memeluk bumi, langit tetap ikhlas melepas, Tuhan sangat menyayanginya, lepaskan dengan cinta dan ridho".
"Selamat jalan kekasih, aku mengikhlaskan kepergian mu menuju cinta -Nya. Walaupun hatimu telah memenuhi setiap ruang jiwaku, tetapi cinta adalah titipan dari maha cinta"
Disamarkannya air mata berlabuh diderasnya hujan agar rindu yang mendahaga terbalur dingin walaupun harus dibawa angin.
Diatas sajadah cinta, kasih berkelindan doa-doa.Sang bidadari tersenyum manja menanti di pintu surga. Diatas sajadah rindu, air mata meruah pilu dan berakhir syahdu.
Sejumput cerita yang terkenang
Hanya akan menyisakan linang.
Mungkin hati harus kembali mengerang
Dan membiarkan puisi menjadi pelimbahan genang
Dari air mata yang terus berjatuhan.
Sedang cinta kita tak bisa diulang
Jangan menyapaku dengan senyum riang,
Kalau akhirnya menyisakan sedu sedan yang panjang
Maka biarkan rindu mengerang
Bergelantungan dibibir - bibir sunyi,
bersama doa yang setia dilangitkan.
Aku merindukanmu bunga
Ketika semerbak menggoda
Bermanja dalam dekap senja
Engkaukah itu duhai Anita
Atau hanya fatamorgana belaka
Yang bergelayut dalam angan hampa
Berkelindan angin yang tetiba
Menggamit bayangmu
Lalu hatiku tergugu pilu
Mengikhlaskan senyummu tiada
Kembali ke keabadian cinta
Dalam genggaman cinta -Nya
Pamekasan,8 Oktober 2023
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren cerpennya.