Jufriadi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sujud Terakhir
Jika rindu harus bertemu biarkan aku mati demi sebuah kerinduan

Sujud Terakhir

Sujud Terakhir

Jika pertemuan adalah keniscayaan, maka biarkan rindu ini berkelindan .Bersama cinta yang terus bermetamorfosa. Kita hanyalah wayang yang menunggu titah Dalang. Apakah engkau merasa paling sempurna mengeja cinta atau sebaliknya engkau masih terlalu perawan untuk mengerti kenyataan. Teruslah mencari tentang arti kehidupan. Kenalilah dirimu niscaya engkau akan akan mengerti tentang hakikat hidup ini. Sedang cinta adalah rasa yang hadir setelah pencarian, pandangan pertama hanya sebagian dari perjalanan cinta bahkan pandangan pertama dengan kebencian terkadang menumbuhkan cinta pada akhirnya. Itulah awal dari kata-katanya ketika saya membuka buku catatan ayah setelah empat puluh hari dari kepergiannya.

Bayangan itu tiba-tiba hadir seakan nyata didepan mata. Dan cerita tentangnya satu persatu menggenang dan aku berenang mengenang kebersamaan dengannya.

Lelaki yang Dimataku penuh dengan wibawa hingga menatap wajahnya tak pernah ada keberanian, namun selalu mengundang ketidak mengertian disetiap pembicaraannya ketika pembicaraan sudah mengarah tentang keyakinan, kehidupan dan hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan.

Aku tak pernah paham tentang apa yang engkau ucapkan. Aku hanya ingin ayah menjalani kehidupan dengan wajar-wajar dan tidak bersikap aneh dimataku. Aku dikirim ke pesantren katamu agar agamaku tidak gersang, sedang ayah aku lihat kurang semangat dalam ritual ibadah dan ketika kutanya ayah hanya tersenyum dan selalu mengatakan bahwa Tuhan lebih melihat hati. Jangan berpraduga dengan yang engkau lihat dengan mata lahir.

Kalau sudah demikian saya hanya bisa diam karena kata ustadz yang membimbing di pesantren menghadapi orang tua harus dengan rendah hati dan jangan sampai membuat hatinya tidak nyaman walaupun hanya dengan perkataan "uf". Sungguh antara nalar dan hati saling bersilangan kata dan kembali berakhir dengan kebingungan, harapan dan keinginan yang tak bisa diungkapkan.

Suatu ketika kita sedang berdua dalam sebuah acara dan engkau memaksaku untuk menjadi imam sholat dhuhur. Setelah selesai sholat engkau juga memintaku untuk sekedar memberikan tausiah dan itu tidak saya penuhi. Engkau hanya tersenyum dan berkata datar.

" Jika gurumu memintamu untuk naik ke atas pohon yang tinggi, naiklah dan katakan tidak bisa setelah mencobanya dengan sepenuh mencoba". Dan kembali engkau memintaku untuk tidak bertanya tentang apa yang diucapkannya. Anehnya engkau tidak pernah marah ketika diskusi kita sudah terlalu jauh dengan nalar, engkau hanya tersenyum dan berkata:

" Pada saatnya engkau akan paham anakku, teruslah belajar dan jangan banyak bertanya tentang sesuatu akalmu tidak mampu, tapi berdoalah agar tuhan memberikan petunjuk dan engkau akan mengerti '.

Lembar demi lembar kubaca tulisan ayah dan keyakinanku bahwa buku itu memang sengaja ayah tulis untuk aku anaknya. Banyak petuah bijak yang terkadang aku kurang paham namun semakin membacanya aku semakin dibawa untuk berpetualang mengunjungi sirah-sirah kehidupan mulai dari sederhana hingga ke hal yang dalam tentang makna dan hakikat kehidupan.

" kita hanyalah wayang yang tak punya kemampuan apa-apa. Kehebatan yang kita miliki ketika Sang Dalang memainkan perannya. Maka jangan sombong karena setitik rasa sombong akan menjadi penghalang kita menuju surga -Nya. Jujur aku bukan Rabiah Al Adawiyah yang ang cintanya kepada tuhan bukan karena mengharap surga dan takut akan panasnya api neraka".

Pada lembaran berikutnya aku merasa ini ditulis menjelang kepergiannya menghadap Sang pencipta.

" Ini kerinduan dari seorang hamba yang lalai, yang hanya beribadah batin sementara lahirnya masih sering alpa. Maka ijinkan hamba untuk terus bersujud hingga Engkau ridho dan memanggilku dalam keadaan sujud ".

Dan memang sebulan sebelum kepergiannya, ayah jarang keluar rumah. Sesekali beliau ke Masjid dan biasanya kalau sudah datang dari Masjid ayah mencariku sekedar diskusi ringan tentang hidup dan kehidupan. Pernah suatu malam aku mendengar Isak tangis yang memilukan dan ketika kucari ternyata datang dari kamar pribadi ayah yang mungkin tepatnya adalah sebuah kamar kecil berukuran tiga kali tiga meter. Ayah sering menyebutnya dengan Mihrab Cinta. Dan Ketika aku tanyakan tentang mihrab cintanya Kembali ayah tersenyum memandangiku , aku tak mampu menatap lembut matanya.

“ pada Mihrab cinta, kita bisa mengejawantahkan cinta, melarutkan rindu menjadi Syahdu”, bisikmu pelan yang ini juga belum bisa aku terjemahkan. Hanya aku menangkap bahwa ayah sangat menikmati cintanya pada sang pencipta melalui kamar kecil Mihrab cintanya.

“Yaa Rabb, biarkan aku sujut dan tak hendak lagi bangun karena cintaku padamu sudah sempurna “. Tulisan itu sebagai kata-kata terakhir dari tulisan ayah.

Aku tak kuat lagi , air mata seakan tidak bisa dibendung , aku menangis tanpa sadar, namun segera berhenti karena serasa ada yang memelukku dari belakang dan Ketika aku menoleh, ibuku tersenyum sambal mengusap air mataku.

“Biarkan ayahmu bahagia menemui kekasihnya, jangan lepaskan beliau dengan tangis, karena kepergiannya menyongsong bahagia. Beliau adalah suami sekaligus ayah yang luar biasa. Suatu saat beliau menunggu kita di pintu Surga”.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

terimakasih ummi apresiasinya

06 Dec
Balas

Masyaallah. Cerita yang sungguh luar biasa. Pesan moralnya begitu dalam. Sukses selalu, Pak Jufri.

06 Dec
Balas



search

New Post