Hari itu, langit tampak cerah, namun hati Afkar masih tertutup mendung. Ia baru saja kembali dari pasar usai mengantar tempe, ketika suara derit pagar depan rumah memanggil perhatiannya. Sosok tak asing berdiri di sana Ustaz Salman.

Jantung Afkar berdegup lebih kencang dari biasanya. Bukan karena takut, tapi karena ia tidak menyangka sang ustaz akan datang ke rumahnya.

“Assalamualaikum,” sapa Ustaz Salman, tenang seperti biasa.

“Waalaikumsalam… silakan masuk, Pak Ustaz,” jawab ayah Afkar cepat-cepat.

Mereka duduk di ruang tamu sederhana, ditemani teh panas dan beberapa kue kering buatan ibu Afkar. Tapi Afkar hanya bisa berdiri di ambang pintu, tak tahu harus bagaimana.

Ustaz Salman menatap Afkar dengan mata yang penuh makna:

“Afkar,” katanya perlahan,

“aku ingin bicara sebentar, hanya berdua.”

Jantung Afkar nyaris copot. Namun ia menurut, duduk di bangku rotan dekat jendela.

“Anakku Aisyah… sepertinya kau mengenalnya baik,” ujar sang ustaz.

Afkar menunduk:

“Sedikit, Pak Ustaz…”

Ustaz Salman tersenyum tipis:

“Saya tahu perasaanmu, Nak. Tapi kau juga tahu hubungan kita. Secara syariat, mungkin tidak berdosa. Tapi secara budaya dan keluarga, itu hal yang berat.”

Afkar tak sanggup menjawab. Hatinya seperti diiris.

“Tapi…” lanjut Ustaz Salman:

“aku juga tak ingin memaksa Aisyah menikah jika ia tak bahagia. Aku ingin kau tetap menjaga rasa hormat itu. Jaga jarak, tapi jangan padamkan doa.”

Afkar mengangguk pelan. Di matanya, air mulai menggenang.

Hari itu, sepulang Ustaz Salman, Afkar merasa beban hatinya sedikit berkurang. Ia tak diusir. Ia tak dimaki. Ia malah diberikan secercah harapan bahwa doanya selama ini, mungkin… hanya mungkin, masih ada yang mendengar.

=================================================================

Garahan. 18 April 2025 / Jum'at., 19 Syawal 1446 H, 10.43 WIB