Jurtawani

Ibu dari tiga orang anak berprofesi sebagai guru kelas di MIN 6 Banda Aceh. Menulis adalah hobby yang dilakukan disela kesibukan sebagai pendidik sekaligu...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kebahagiaan Bukan Karena Uang

Rumah tanggaku bahagia dan harmonis, segala kebutuhan terpenuhi. Bahkan aku menjalani kehidupan yang tergolong mewah bersama Bang Rudi. Rumah besar dengan halaman luas adalah tempat tinggalku sekarang.

Taman yang mengelilingi rumahku membuat siapa pun yang datang, akan betah memandangnya. Tiga orang asisten rumah tangga siap membantuku setiap hari. Bang Rudi juga menyediakan sopir pribadi yang siap mengantarku ke mana saja aku kehendaki.

Bukankah kehidupan seperti ini yang banyak diimpikan oleh setiap wanita di dunia? Teman-temanku banyak yang iri ketika melihat kehidupanku. Namun, semua ini tidaklah membuat aku menjadi wanita yang lupa diri.

Di mata teman-temanku, atau bahkan dunia sekali pun akan menganggap Bang Rudi sebagai laki-laki yang sempurna, bijak, berwibawa, dan yang paling berkesan darinya adalah ia laki-laki yang cukup mapan. Menurut teman-temanku, aku wanita yang paling beruntung.

Mungkin benar anggapan dari teman-temanku, karena aku hidup di atas garis kecukupan. Aku bebas menggunakan uang Bang Rudi sesuka hatiku. Bang Rudi yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN, tidak pernah merasa keberatan jika aku menghambur-hamburkan uangnya.

Rutinitas yang aku lakukan selain shopping barang-barang mewah, aku juga kerab mengunjungi salon atau spa termahal di kotaku. Hal ini, tidaklah cukup membuat aku bahagia.

Segala kegiatanku pasti di bawah pantauan Bang Rudi. Aku tidak bisa pergi tanpa Pak Sulaiman atau lelaki yang akrab di panggil Pak Man. Dia adalah sopir pribadiku. Gerak-gerik dan langkahku semua menjadi laporan untuk Bang Rudi. Apakah kehidupan seperti ini yang aku impikan sebelumnya?

Terkadang, aku bertanya pada diriku sendiri. Dosa apa yang aku lakukan dahulu, sehingga aku harus menjalani kehidupan seperti ini.

***

“Pak Man, antarkan aku ke spa.” Aku masuk ke dalam mobil tanpa memberitahu spa mana yang aku tuju. Pak Man hanya mengangguk, lelaki paruh baya itu sudah tahu ke mana tujuanku hari ini.

Mobil melaju dengan kecepatan rata-rata 60-80 Km/Jam. Bang Rudi selalu mengingatkan Pak Man, agar dalam mengemudi tidak melebihi kecepatan 100 saat aku ada di dalam mobil. Bayangkan, kecepatan mobil pun menjadi laporan.

Tepat di depan ‘Spa Devi’ mobil berhenti. Sebelum aku turun, aku berpesan pada lelaki yang selalu setia mengantarkan aku ke mana yang aku mau, “Pak Man enggak usah tunggu, nanti kalau sudah selesai aku telepon.”

“Maaf, Nyonya! Tuan berpesan agar aku tidak meninggalkan Nyonya sendirian.”

Ya Allah, aku menghela napas panjang. Itulah suamiku, ia tidak pernah memberiku kebebasan sedikit pun. Aku turun tanpa melanjutkan kata-kata, sakit ini aku tanam jauh di lubuk hati. Biarlah hanya aku yang tahu.

Aku menuju resepsionis, setelah melakukan pendaftaran aku dipersilakan menuju ruang perawatan. Sebenarnya, tanpa mengikuti alur pun, aku bisa langsung masuk dan menemui Devi sang pemilik spa. Namun, semua itu tidak kulakukan. Aku sama seperti pelanggan lainnya, hanya saja saat melakukan perawatan aku tidak mau tubuhku disentuh oleh pelayan lain. Aku ingin Devi sendiri yang melakukannya. Devi adalah pemilik spa sekaligus sahabatku sejak kecil.

Di ruang perawatan, sahabatku-Devi telah menunggu. Ia begitu semringah melihat kedatanganku, “Hai, Ros! Kamu baik-baik aja, kan?”

“Seperti yang kamu lihat, Dev!” cetusku.

Tanpa berbasa-basi lagi, Devi pun melakukan perawatan seperti yang kupinta. Ketika mukaku dibersihkan dari make up yang kupakai, aku meringis.

“Sakit ya, Ros! Kenapa dengan pipimu? Kamu terjatuh?” rentetan pertanyaan Devi bak peluru yang menghujani.

“Iya, aku kurang hati-hati saat di kamar mandi. Jadinya pipiku terbentur sudut kamar mandi.” Entah yang keberapa kali aku berbohong dengan sahabatku. Selama ini, walaupun Devi sangat dekat denganku, tetapi ia tidak tahu apa yang kualami.

Setelah prosesi spa selesai kujalani, aku dan Devi pergi ke kafe terdekat dengan tempat sekarang aku berada. Kami saling share tentang kehidupan yang kami jalani, tentunya karangan cerita indah yang aku sampaikan ke Devi. Entah mengapa, hatiku selalu menolak ketika ingin bercerita yang sebenarnya. ‘Belum saatnya Devi mengetahui irama kehidupan yang kamu lakoni, Rossa!’ batinku lirih.

***

Gerimis masih saja turun membasahi bumi. Titik air yang sedikit-sedikit itu kini membasahi tubuhku. Aku berjalan menyusuri kegelapan malam, remang penerang jalan sedikit membantu penglihatan ke depan. Sebenarnya, aku wanita penakut, apalagi sekarang malam semakin larut, aku masih berada di jalanan.

Rasa takut terhalangi oleh rasa sakit yang baru saja ku alami. Aku ‘kan pergi meninggalkan kemewahan itu. Namun, ke mana aku harus pergi? Pikiran kembali melanglang, tetapi kaki terus saja melangkah menjauhi rumah yang selama ini telah menyergap kebebasanku.

Aku teringat Devi, ya! Dia sahabatku. Hanya Devi yang bisa menolongku saat ini. Langkah kaki semakin kupercepat.

Aku menekan bel yang tertempel di samping pintu, seorang wanita cantik membukakan pintu rumah tersebut.

“Ya Allah, Rossa! Apa yang sudah terjadi dengan kamu?” pekik Devi ketika melihatku berdiri di ambang pintu.

“Wajah kamu ...?” Devi tidak melanjutkan kata-katanya, dia segera menyuruhku masuk.

Devi mengambil kotak P3K dan membersihkan wajahku dari noda darah yang masih tersisa. Bibir pecah, lebam di wajah jangan ditanya lagi. Devi memegang bahuku dengan kedua tangannya.

“Katakan padaku, Ros! Bang Rudi yang menyebabkan semua ini?”

Air mata menjadi jawabannya. Aku memeluk sahabatku, tangisku pecah. Aku menceritakan semuanya apa yang selama ini aku alami.

“Jadi selama ini, lebam di tubuh dan wajahmu saat melakukan perawatan di tempatku bukan karena jatuh? Itu sebabnya kamu tidak ingin pelayanku yang merawat tubuhmu?” Tanya Devi, raut mukanya menahan amarah.

Tatkala marah, tubuhku kerap menjadi sasaran samsak Bang Rudi. Permasalahan yang mengundang emosinya selalu masalah anak. Sepuluh tahun sudah aku menikah dengan lelaki yang bermuka dua ini. Namun, aku tak juga kunjung hamil.

Di depan khalayak, Bang Rudi terlihat begitu baik. Namun, ketika berhadapan denganku, ia menjelma menjadi lelaki bengis yang siap menghajarku tanpa ampun.

Banda Aceh, 7 Januari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Salam sukses aja

27 May
Balas

Sungguh kisah Rudi ini banyak terjadi di belahan dunia ini. Surga rumah tangga yang terlihat indah namun neraka bagi istrinya. Kisah yang mengharukan. Sehat selalu ya bu. Semangat!

21 Aug
Balas

Waw... Ngeri, gak ada sisi yang lain, baiknya gitu?

21 Jan
Balas



search

New Post