Syaiful Rahman

Syaiful Rahman dapat dihubungi melalui [email protected] atau 081915522463....

Selengkapnya
Navigasi Web
NASIB PEMUDA INDONESIA?!

NASIB PEMUDA INDONESIA?!

Semalam tirto.id merilis info grafik dengan judul Nasib Pemuda Indonesia di Instagramnya. Dalam info tersebut dinyatakan bahwa salah satu masalah yang menghantui pemuda Indonesia adalah minimnya lapangan kerja. Sebagian besar pemuda Indonesia menjadi pekerja kasar dan berupah rendah. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan adalah pembenahan kualitas pendidikan.

Rupanya ini menjadi info yang sangat menarik. Para netizen mulai beraksi. Perang komentar terjadi. Sebagian menyatakan bahwa sebenarnya bukan hanya soal pemerataan pendidikan, tapi yang lebih mendasar adalah mental untuk mau belajar. Sebagian lagi mempermasalahkan kualifikasi yang diminta perusahaan-perusahaan besar dinilai terlalu tinggi.

Sebagai bagian dari pemuda, saya juga tersentil dengan info ini. Namun, saya tidak ikut berkomentar di Instagram tirto.id itu. Saya lebih tertarik untuk membuat tulisan singkat semacam ini.

Persoalan jumlah lapangan kerja yang minim memang menjadi persoalan yang perlu segera diatasi. Kalau kita mau membahas ini, masalahnya akan semakin panjang. Tapi, mari kita diskusikan secara singkat sambil menunggu matahari terbit.

Seluruh pihak harus bersinergi untuk meningkatkan jumlah lapangan kerja. Bukan hanya pemerintah, tapi juga pemuda itu sendiri. Sebab tanpa ada sinergi semua pihak, sulit persoalan ini dapat diatasi dengan baik.

Dari dulu pemerintah sudah berupaya mengatasi lewat berbagai jalur. Dari jalur pendidikan misalnya, di sekolah dibuat mata pelajaran prakarya dan di kampus dibuat mata kuliah kewirausahaan serta kompetisi-kompetisi bisnis.

Banyak juga organisasi-organisasi bisnis yang berdiri dalam bentuk komunitas. Sebut saja misalnya Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Kemudian organisasi ini agar lebih mudah diterima oleh para mahasiswa maka membuat HIPMI PT (Perguruan Tinggi). Tentu masih banyak organisasi pengusaha yang menjamur saat ini.

Berbagai upaya ini seharusnya menyadarkan seluruh pihak, termasuk pemuda pada khususnya, bahwa jangan menunggu lapangan kerja, tapi turut aktif menciptakan lapangan kerja. Sebab kalau mindset-nya masih menunggu, ujung-ujungnya akan selalu menyalahkan. Pemerintahlah yang salah, pendidikanlah yang salah, tetanggalah yang salah, temannyalah yang salah, keluarganyalah yang salah, dan semua jadi disalahkan.

Hal lain yang juga menarik untuk didiskusikan adalah mengubah mindset bahwa jangan menunggu pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Bukan berarti sarjana pendidikan harus menjadi guru. Bukan berarti sarjana politik harus menjadi politisi. Bukan berarti sarjana ekonomi harus menjadi ekonom. Bukan berarti sarjana agama harus menjadi dai. Bukan berarti sarjana filsafat harus menjadi filsuf.

Dalam dunia nyata, latar belakang pendidikan tidak selalu linier dengan nasib seseorang. Menteri kesehatan yang saat ini menjabat saja bukan dari sarjana kedokteran kok. Menteri pendidikan juga bukan dari latar belakang sarjana pendidikan. Bahkan penulis top sekelas Andrea Hirata dan Tere Liye juga bukan dari sarjana sastra. Sastrawan hebat sekelas Taufiq Ismail malah dari sarjana kedokteran hewan.

Hal menarik lain yang juga asyik bila didiskusikan terkait topik ini adalah orang terkaya. Kalau kita lihat daftar orang terkaya di Indonesia, mereka bukan karyawan, tapi mereka adalah pengusaha atau pekerja lepas. Hartono bersaudara, Tahir, Chairul Tanjung, dan lain-lain adalah para pengusaha.

Kalau mereka kita anggap generasi tua, mari kita intip generasi terkini. Atta Halilintar, Raditya Dika, Ria Ricis, dan lain-lain adalah orang-orang kaya lewat YouTube. Mereka juga tidak perlu kuliah jurusan Desain, Komunikasi, Visual, atau ilmu komunikasi terlebih dahulu. Kuliah mereka juga tidak membahas dunia peryutuban.

Tentu saja saya tidak bermaksud kita semua harus mengikuti mereka. Maksud saya adalah untuk memecahkan persoalan minimnya lapangan kerja bagi pemuda bukan hanya tugas pemerintah, tapi tugas kita semua. Bukan cuma urusan pemerataan pendidikan, tapi juga perbaikan mental untuk terus mau belajar, berproses, dan bekerja keras.

Sekarang juga sudah banyak layanan yang memudahkan pemuda mendapatkan penghasilan tanpa harus menjadi karyawan. Market place-market place seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, dan lain-lain menjadi lahan empuk para pemuda untuk mendapatkan cuan. Hanya saja kita mau berusaha atau tidak.

Jadi, sebagai pemuda, mari kita sama-sama berusaha menjadi solusi bagi bangsa ini. Mari kita sama-sama saling bahu-membahu untuk menjadi generasi yang hebat dan tangguh demi kemajuan bangsa dan negara. Berhentilah terlalu banyak menyalahkan dan mulailah melakukan sesuatu. Gitu gengs!

Surabaya, 20 Januari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju mas Kacong... Dunia idealis di bangku pendidikan, kadang sangat berbeda dengan dunia nyata... Latar belakang pendidikan lebih pada membangun persepsi tentang kerja... bukan menyiapkan diri untuk siap bekerja... dan tugas kitalah menjembatani perbedaan keduanya... ibarat proses lamaran,, menggabungkan dua hal yang berbeda dan nantinya menjadi halal... Sukses selalu

20 Jan
Balas

Betul, Pak. Apalagi sekarang, malah banyak pekerjaan yang tidak mempedulikan latar belakang pendidikan, tapi lebih bertumpu pada skill. Karena itu, tidak perlu takut menghadap ke calon mertua. Pede aja. Diterima atau ditolak itu urusan nanti.

20 Jan



search

New Post