Jangan Berhenti Melangkah
Koh Abun, tetangga sebelah rumah, Cina peranakan, babah Lun, bapaknya koh Abun, sahabat kental ayah saya. Begitupun kami yang tidak berselang jauh. Kami dilahirkan di daerah yang sama, Sungai Bambu. Koh Abun lahir di RS Koja dan saya lahir dengan bantuan Nyak Hapsah. Kata orang sih dia sebutannya dukun beranak. Sungai Bambu bagian tak terpisahkan dari Tanjung Priok. Koh Abun punya usaha yang cukup banyak dan mentereng. Salah satunya properti di daerah Sunter, Kemayoran dan Ujung Harapan, Bekasi. Sementara di Sungai Bambu, dia punya rumah sakit, Sungai Bambu Hospital.
"Bang Soleh, saya punya cerita nih" Suatu sore di depan warung kopi mpok Sumi.
Koh Abun dan saya memang sering ngobrol di warkopnya mpok Sumi. Sejak masih bujang sampai sekarang udah jomblo lagi. Heh! Kerjaan kita berdua sejak muda, ngopi. Sore-sore nunggu maghrib, ngopi sambil ngolah pikir juga tentunya.
Balik tentang cerita koh Abun.
"Saya punya tukang yang luar biasa rajin, pekerjaannya bagus, amanah dan jarang mengeluh" koh Abun serius bertutur. Tapi bukan Tutur Tinular, sandiwara radio kesukaannya.
"Oya!" Singkat, padat. Seperti biasanya saya irit bicara. Belajar menjadi pendengar yang baik dan sopan. Kopi hitam buatan mpok Sumi saya seruput dengan nikmat, bergantian dengan rokok filter buatan dari Kediri.
"Begini, Leh. Mungkin dia merasa jenuh soal pekerjaannya. Selama dia bekerjanpuluhan tahun nasibnya tidak banyak berubah. Dia tetap jadi tukang. Rumahnya pun sangat sederhana" lanjut koh Abun lantas dihisapnya rokok yang sama, rokok filter buatan Kediri. Heh saya dan koh Ahun memang ahli hisap sejati. Tidak heran menjelang puasa ramadhan banyak yang bertanya pada kami berdua, saya khususnya.
"Lantas apa istimewanya sampai koh Abun cerita soal dia?" Heranlah saya seperti apa sih si tukang itu sampai tuannya bercerita serius pula.
"Begini Leh!"
"Ganti koh jangan begini terus, begitu lah" potong saya. Koh Abun melongo, seperti sapi tersemprot asap truk kambing.
"Ah, kamu! Dengar dulu cerita saya baru kamu komentar" cielah bisa ngambek, merajuk seperti istri yang kurang dikasih uang belanja.
Ah, plotnya jadi melambat begini! Biarlah, biar kamu membacanya! Bukankah jamannya literasi! Ayolah tahan sedikit, lanjut baca lagi cerita ini!
"Begini Leh, hari itu dia minta berhenti bekerja. Dia bilang mau pensiun menjadi tukang, balik ke kampung. Tapi pekerjaan sedang tanggung, dia saya minta mengerjakan satu rumah bersama empat orang anak buahnya" berhenti sebentar, dia kembali menghisap rokoknya yang hampir habis terbakar.
Sementara matahari hampir jatuh dipeluk senja. Awan putih juga sudah mulai berganti kelabu gelap. Sayup-sayup sholawatan mulai terdengar.
"Koh, kita terusin besok sore ya. Saya mau ke langgar, suara cang Somad sudah kedengeran sholawatan.
"Yah, baru juga cerita, Leh! Kasihan tuh yang baca, lagi enak-enaknya baca disuruh berhenti!" Merajuk lagi koh Abun.
"Sholat lebih penting, koh!"
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hehe...cerira yang keren Pak
Tengkiyuh somat bunda