Kasman Samin Kamsurya

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SEMINAR BIRU

SEMINAR BIRU

Aku masih sempoyongan ketika mencoba bangun dengan mata sedikit tertutup, seakan enggan turun dari pembaringan. Memoriku masih tajam mengingat lembaran kisah tak terencana kemarin malam yang kian redup. Entah dari mana kuharus memulai cerita biru itu. Sementara dari balik tirai jendela kamar hotel terlihat percikan sinar mentari pagi telah menerobos masuk seperti tak ingin berlama-lama di luar. Geliat manja tubuh mungil terlihat dari balik selimut putih panjang, menonjolkan lekuk gemulai dari sosok berambut hitam panjang.

Kutarik ujung selimut itu hingga bergeser sebagian dari tubuh putih berbahu jenjang itu, “aduh bang,..” kenapa sih menarik selimutku…? Terlihat wajah oval tersembul dari balik sisa kain selimut putih. “Hmmm…cantik banget perempuan ini,..”Emang dari dulu dia cantik kan,..gumanku dalam hati. Padahal dia belum beranjak ke toilet untuk membersihkan wajah putinya itu. “Maafkan aku sayang,..” aku cuma bercanda kok,..” Ayo bangun dong,..”Tuh,..lihat sinar mentari pagi sudah menerobos masuk kan,..”? sambil aku menunjuk ke tirai jendelah kamar. Nampak sekali aurah bahagia memancar dari wajahnya, mungkin akan membuat banyak mata lelaki terpesona jika melihatnya. Aku tak berkedip sedikitpun beberapa saat. Eh,..ternyata aku lupa bahwa pemanas air yang kunyalakan beberapa saat yang lalu belum kumatikan. Tanpa pikir panjang aku langsung buru-buru mematikannya.

Tak terasa aliran darahku seperti mengalir deras menembus pembuluh nadihku, gejolak tubuhku mulai bangkit perlahan melihat geliat tubuh putihnya, mengetuk ingatanku terhadap peristiwa semalam. Di sebuah kamar hotel bintang lima, di Kawasan kota metro yang berbukit hijau, jauh dari hirup pikuk keramaian warga, di sebuah area yang cukup nyaman serta mampu memberikan nuansa romatis bagi dua insan yang lama tak bersua.

Tadi malam, di tempat itu, tak kala rembulan enggan menampakan dirinya, ketika sang bintang berkelip memancarkan cahayanya tanpa terhalau gumpalan mendung, ketika malam semakin larut, hanya terdengar bunyi AC dan suara TV yang sengaja ku nyalakan agar tak nampak aktivitas kami berdua di kamar 207 itu. Ketika dingin menjalar ke permukaan kulit, dinding dan seluruh isi kamar diam membisu, kami berdua hampir terseret arus deras kerinduan yang makin membara. Seulas senyum tersungging di bibirku. Ku hanya menarik napas panjang serta mencoba mengingat kembali penggalan kisah yang terjadi antara kita berdua. Sebuah pertemuan yang sulit aku cerna hingga terangkai menjadi sebuah kisah baru.

Aku dulu seangkatan dengannya ketika masih kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di kota metro. Kami saling support dan selalu mengerjakan tugas-tugas kampus bersama, karena kebetulan aku satu jurusan dengannya. Setelah melewati berbagai suka duka bersama selama hampir empat tahun, akhirnya tibalah pada hari kelam itu, semua usaha dan rencana masa depan yang kita impikan bersama hancur tak bersisa sedikitpun. “Bang,..besok datang ya ke acara wisudahku,…ucapnya ketika dalam perjalanan pulang dari acara gladi bersih Wisudah di kampus. “Insyaallah, abang usahakan,…Tapi besok kan abang juga punya acara wisudah,..jawabku pelan. “Abang datang malam saja, setelah acara abang selesai. “Insyaallah,..jawabku sekali lagi.

Ketika para tamu acara wisudahku sudah mulai sepih, aku melihat jam tepat pukul 18,15 dan hari sudah mulai gelap, aku bersiap menuju ke rumahnya. Diperjalanan aku berharap semoga setibanya aku di rumahnya semua keluarganya ada, karena aku punya kejutan untuknya, yakni aku ingin melamarnya pada saat acara wisudahnya nanti. Setelah memarkirkan motor di samping rumahnya, “hmm,..ada mobil ya, punya siapa sih? “ucapku dalam hati,..”mungkin mobil keluarga atau kerabatnya yang datang memberi selamat wisudah kepadanya. “Eh Abang,..ayo masuk,..ini kebetulan ada teman-temanku juga,..mereka masih betah berlama-lama, “Oh masih ada tamu ya,..tanyaku kepadanya. “Iya bang,..ini Rendi juga ada. Tiba-tiba berdiri sosok pria yang samar-samar ku kenal, “Selamat datang bang,…”sapa pria di depanku sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

“Terimakasih,..”ucapku sambil duduk di depannya. Hening sekali suasana saat itu, memoriku menerawang jauh ketika dulu aku pertama kali bertemu ayahnya,…”Kalau kamu ingin menikahi putri saya, benahi dulu kehidupan ekonomi kamu, setidaknya kamu harus bisa memberi penghidupan yang layak untuk putri saya, jika tidak, maka ada calon suami yang lebih baik yang telah saya siapkan untuk putri saya, camkan itu. “Hmmm,..aku jadi ingat kembali perkataan ayahnya ketika pertama bertemu dulu. “Jangan-jangan sosok pria di depan saya ini adalah calon suami yang dikatakan ayahnnya dulu,..”ucapku dalam hati.

“Abang,..diminum dong tehnya,..”Oh Iya, terimakasih, …”Jawabku,..sambil melirik ke sosok pria di depan saya,..terlihat ada senyum yang diberikan buatnya,..”Abang sudah kenalan sama Rendi?...”Oh iya, kan tadi sudah ya,..”kita sudah kenalan kok, “Jawab Rendi, tersipu. Aku merasa seperti ada sesuatu yang tersembunyi antara Putri dan sosok pria ini, namun aku tidak tahu apa yang mereka sembunyikan. Akhirnya semua yang kurencanakan malam itu untuk melamarnya tak terjadi, setelah kehadiran ibunya. “Nak Rendi datang juga ya,…sapa ibunya ketika keluar dari ruang tengah. “Iya bu,..dari tadi aku datang,..udah minum teh juga, “jawab Rendi sambil tersenyum. “Oh iya,..”Kapan orang tua nak Rendi mau datang menemui kami untuk melamar Putri? “Tanya ibunya. Mendengar kalimat itu seakan ada hantaman keras yang menerpa kepalaku, mataku seperti nanar tak dapat melihat dengan jelas, aku merasa lunglai, nafasku seperti tertahan beberapa detik sebelum normal kembali. Kulihat Putri tertunduk lesuh, ya situasi berubah seratus delapan puluh derajat. Aku langsung berdiri dan pamit, tanpa basa basih aku berjalan menuju parkiran motor. “Abang,..tunggu,..”suara Putri mengagetkan lamunanku. “Maafkan Abang,…”mungkin sebaiknya kita tak bertemu lagi, semua rencana yang kita buat ternyata harus berakhir seperti ini. “Ucapku pada Putri. “Abang jangan ngomong gitu dong,..”Abang harus percaya Putri. “Yang mau menikah kan Putri bukan ibu, “Iya kan,..Putri terlihat agak cemas meyakinkanku. “Aku baru tahu, ternyata selama ini ada yang kamu sembuyikan dari aku. Dan ternyata ortumu sudah punya pilihan calon suami buat kamu. “Abang,..dengarkan Putri dong,..”walaupun ibu atau ayah punya calon buatku, namun aku tetap memilih abang untuk jadi calon imamku. “Abang jangan pergi ya. “Pintanya dengan suara lirih. Terlihat ada rembesan bening di sudut matanya. “Maafkan aku sayang,.. terpaksa aku harus menjauh darimu. Aku gak mau menjadi duri bagi orang tuamu. Jika memang kita berjodoh, insyaallah pasti kita dipertemukan kembali. “Abang,..jangan pergi ya,..”Putri mohon,..pliss. Putri memohon sambil terisak memandang kepergianku. Itulah pertemuan terakhir aku dengan Putri, hingga kita dipertemukan lagi dalam situasi yang tidak terduga.

Sungguh, malam ini begitu indah bagiku. Aku melewatinya dengan penuh kasmaran, tanpa harus terbebani dengan perasaan gerah yang selalu menghinggapi setiap malamku. Sungguh, malam ini begitu menakjubkan serta mampu mewujudkan mimpi dan kerinduan yang kian berkarat setiap detiknya.

Sentuhan jari-jari tanganku sepertinya tidak mengusik tidur lelapnya. Ia hanya menggeliat sejenak kemudian terlelap lagi. Akupun sama sekali tak berniat membangunkannya.

Tiba-tiba bunyi nada dering terdengar menggelitik telinga. Kuambil hp miliknya, aku penasaran dan pingin tahu dari mana bunyi itu berasal. Dengan segera aku mengetahui dari siapa panggilan tersebut. Pandanganku berpindah-pindah pada telpon genggam dan pada perempuan yang rebah di sampingku.

Haruskah aku membangunkannya? Pikirku ragu. Namun bunyi tersebut tak pernah berhenti dan makin lama semakin kencang. Dengan ragu-ragu akhirnya ia kubangunkan dan kusodorkan hp itu padanya yang ia sambut dengan sedikit cemberut.

“Pagi pa,” sapanya dengan suara pelan yang langsung mendapat jawaban dari seberang. “Ya, ini mama baru bangun. Seminar kemarin sangat menguras energi sehingga terasa melelahkan,” ujarnya.

“Apa pa? Hp Mama mati? O…Iya, tadi malam sengaja di offkan supaya tidak mengganggu istirahat Mama. Mungkin Mama terlalu capek hingga tertidur lelap dan tidak tahu lagi apa yang terjadi hingga Papa membangunkanku. ”Kulihat keningnya berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.

“Iya pa,.. Mama usahakan segera pulang. Mungkin sore akan tiba dirumah. “Ok,.. baik-baik dirumah ya Pa,… bye bye, mmuach…,”katanya yang dengan segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon genggam itu pada tempat semula. Tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya ke dalam selimut tersebut.

“Suamimu ya?” tanyaku dengan nada cemburu.

Ia tidak menjawab. Telunjuknya menempel di bibirku. Jari-jari tangannya mengeringkan bintik-bintik keringat yang membasahi dahiku. Kemudian dengan erat ia membenamkan wajahku di tubuhnya sehingga dapat kurasakan degup jantungnya. “Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam tanpamu bang. “Aku ingin… aku ingin selalu merasakan indahnya malam bersamamu,”ucapnya tersendat. Ia membelai rambutku dan dengan lembut berkata,

“Kita tak ingin saat indah ini berakhir kan?. “Kita tak ingin mengakhiri malam,.. “mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya.

“Dulu pun kita tak ingin mengakhiri kebersamaan ini, meski kemudian semuanya berakhir karena orang tuamu. “Jawabku datar.

“Berjanjilah..,”ucapku bergetar, “Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu saling memiliki,”Ucapku meyakinkannya.

Ia melepaskan pelukannya dan terlentang dengan mata lurus menatap langit-langit kamar. Dijadikannya pangkuanku sebagai bantal. Desah nafas berat terdengar darinya.

“Bang,…Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setelah bertahun-tahun perpisahan yang menyakitkan itu. “Ucapnya lirih,…”Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu selalu kita idam-idamkan. “Apakah aku bermimpi? ”ucapnya sekali lagi.

“Tidak, kau tidak bermimpi sayang, “kita tidak sedang bermimpi… “Kita sedang berusaha mewujudkan impian dan harapan kita yang dulu terhalang oleh orang tuamu, “Jawabku padanya. “Dan aku yakin kita akan bisa melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,.. ”ujarku penuh semangat lagi.

Ia terdiam. “Aku tahu kau terluka… Aku pun begitu…”Kita sama-sama terluka. Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu…” Ucapku tercekat, “Aku tak pernah berhenti mencintaimu… “Namun ingatlah, kita masing-masing telah mempunyai pasangan dan tidak bisa meninggalkan mereka,” “lanjutku kemudian.

“Apakah kau tidak tahu betapa menderitanya aku melalui malam-malam bersama orang yang tidak aku sukai? “memperhatikannya, dan melahirkan anak untuknya. Kenapa aku tidak melahirkan anak untukmu? Kenapa? Semua itu begitu menyakitkan,” katanya disela isak tangis. Aku berusaha memeluknya erat. Kami saling berpelukan dengan sedikit tangis sedih darinya.

Ia memejamkan mata. Wajahnya menyeringai kesakitan, bibirnya bergetar. Perlahan dari sudut matanya kulihat butiran bening yang kemudian membasahi bulu-bulu matanya. Aku tertegun. Betapa ia pun merasakan sakit yang sama sepertiku.

Demikian akhirnya malam pun berakhir, berlalu dalam kepedihan. Keindahan sekejap di malam itu tak mungkin lagi aku miliki. Dengan tegar namun hampa, kubuka gorden kamar, kubuka jendela. Kubiarkan matahari menerobos langsung menerpa kulitku. Dan sepertinya bukan hanya matahari yang akan menerpaku, tapi akulah yang akan menyambut dan menantangnya dengan segala ketegaran yang kumiliki.

Kutatap hari dengan penuh kehampaan. Kubiarkan rasa di hatiku hancur berkeping-keping hingga aku berharap tak ada lagi rasa dalam ragaku. Biarlah rasa ini beku, senja menyelimuti hidupku. Karena bagiku, bersinar atau redupnya rasa tak akan menjawab peliknya permasalahan hidupku.

“Kapan seminarnya berakhir, Ayah? Cepat pulang ya, Ardi kangen, jangan lupa beli ole-olenya Yah…,”rengek si bungsu dalam telepon genggamku. Anak bungsuku menanyakan bingkisan ole-ole yang aku janjikan. Aku tertegun, mataku menatap tajam, menerobos mentari siang yang kian terik. Kini aku harus kembali melangkahkan kaki, menapaki lorong – lorong sepih kehidupan tanpa kehadiran cinta sejatiku. Entah sampai kapan…wallahuallam.

THE AND

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post