Kenti Sundari

Saya lahir di Tawangmangu Kabupaten karanganyar Porpinsi Jawa Tengah. Saya mengajar di SMP di Jakarta Barat, mulai 1 November 2000. Sebelumnya saya mengajar di...

Selengkapnya
Navigasi Web

SAYA BANGGA BERBAHASA DAERAH, KARENA MEMPERKAYA BUDAYA NASIONAL(Tantangan-3)

Saya selalu iri melihat teman-teman yang berasal dari daerah lain(bukan Jawa) berbicara dengan sesame warga daerahnya menggunakan bahasa daerahnya. Jika berada dalam perkumpulan atau ketemu sama-sama menunggu bis di halte Kebon Jeruk mereka tetap menggunakannya. Sedangkan kebanyakan orang-orang dari daerah saya jarang menggunakannya jika berada di daerah lain, bahkan Ketika saya pulang ke Tawangmangu, Karanganyar, Solo atau semarang, banyak anak-anak kecil ketika berbicara dengan teman atau tetangganya menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal menurut say aini penting, toh Bahasa daerah kan juga merupakan kekayaan budaya nasional, kenapa tidak dilestarikan. Kalau dari kecil mereka menggunakan Bahasa Indonesia, bukan tidak mungkin ketika mereka dewasa tidak lagi mengenal bahasa ibunya sendiri. Bahkan karena fanatiknya, saya mengajari anak untuk memanggil saya ibu, bukan yang lain.

Sebagai keturunan Jawa, saya ingin anak-anak saya tidak kehilangan kehilangan bahasa ibunya, tentu saja Bahasa Jawa. Karena itu saya melatihkan anak-anak agar dapat berbicara, paling tidak mengerti ketika ada orang yang berbahasa Jawa. Singkat cerita, ketika anak pertama saya akan kuliah, saya berusaha memilihkan tempat kuliah di Solo, yang penting Perguruan Tinggi Negeri. Tapi ternyata pilihan yang diterima di Universitas Negeri Jakarta, saya tidak menyesal karena masih dapat sekolah negeri. Yang lucunya, ketika tes wawancara, ditanya orang mana, dia menjawab orang Jawa. Kemudian kakak kelasnya bertanya apakah bisa bicara Bahasa Jawa, dia menjawab hanya mengerti tapi untuk mengucapkannya masih susah. Kebetulan tinggal di rumah budenya yang dekat ke kampus, di sana juga sehari-hari bude dan tetangga-tetangganya lebih sering berbicara Bahasa Jawa, jadi anak saya sedikit demi sedikit menjadi bisa mengucapkan jawaban yang singkat-singkat seperti inggih, mboten, dahar dan sebagainya.

Juni yang lalu anak saya menikah dengan orang keturunan Jawa juga, sekarang saya sering mendengar dia sudah bisa menyahut kalau saya bicara Bahasa Jawa, meskipun dengan Bahasa “Ngoko” atau Bahasa kasar. Untuk kromo inggil belum bisa sama sekali. Bahkan karena bahasanya “ngoko” menantu saya selalu bicara Bahasa Indonesia ke saya, mungkin karena merasa rishi, tapi setidaknya dia bisa tidak seperti anak saya. Memang kebiasaan sehari-hari Bahasa Jawa “Ngoko” jadi tidak terbiasa Bahasa “kromo Inggil”, tapi tidak masalah, intinya komunikasi kami tetap lancer meski dialeknya juga berbeda, karena menantu saya menggunakan Bahasa Jawa “Ngapak”

Anak kedua kuliah di Semarang, begitu tiga bulan pulang dari kos menjawab pertanyaan saya yang menggunakan Bahasa Jawa dia langsung bisa. Saya malah yang kaget, nahkan tetangga di desa yang ketemu di Jakarta juga ikut kaget kok bicaranya sekarang Bahasa Jawa. Ternyata dia mudah beradaptasi karena memang lingkungan di tempat kos kebanyakan menggunakan Bahasa Jawa sehari-harinya. Belum lama ini dia tinggal di Tawangmangu karena membantu menjaga “Mbah kakungnya” yang sakit. Jadi makin terbiasa menggunakan Bahasa Jawa ini. Bahkan dia heran, kenapa sudar-saudara yang tinggal dekat Mbah malah berbicaranya Bahasa Indonesia, kenapa bukan Bahasa Jawa. Apa tidak bangga dengan bahasanya sendiri, katanya.

Anak saya ketiga atau bungsu lain lagi, waktu teman-teman di sekolahnya menyebut mama ke ibunya, dia mengatakan aku tidak punya mama, punyanya ibu. Dia meminta saya untuk sehari-hari Bahasa Jawa dalam berbicara dengan semua anggota keluarga, supaya dia bisa mengikutinya. Sekarang dia kuliah di Yogyakarta, otomatis harus belajar Bahasa Jawa sedikit demi sedikit agar bisa lancar. Saya sangat kaget ketika ketemu dia sudah lancar berbicara Bahasa Jawa dengan dialek campuran Tangerang-Jakarta-Solo. Setelah saya tanya,”kok kamu sudah pintar Bahasa Jawa?”. Ternyata dia mendapat teman baru di desa saya, maksudnya teman laki-laki yang ternyata adalah teman waktu TK, karena sempat setengah tahun dulu di sana. Yang membuat saya tertawa, orangtuanya mengatakan kalau tidak bisa Bahasa Jawa, tidak jadi ya(tidak boleh jadi menantunya). Wah, benar-benar akan pintar nih Bahasa jawa. Kebanggaan etnis memang harus dipertahankan agar jangan hilang tergerus globalisasi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

10 Feb
Balas

salam sukses...

10 Feb
Balas

Keren, mengalir saja ceritanya, salam sehat selalu bu Ken

10 Feb
Balas

salam literasi

10 Feb
Balas



search

New Post