khairiyati

Teruslah menulis....mana tahu di antara tulisan kita bisa mengispirasi dan memotivasi orang lain... ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Lelaki di Bibir Pantai

Lelaki di Bibir Pantai

#61

Lembayung senja mulai memperlihatkan dirinya, sebelum gelap menelannya dalam dekapan malam. Aku masih berdiri disini menapak di bibir pantai yang selalu menghempaskan gemuruhnya, menghempaskan kenanganku bersamamu, meleburkan gemuruh di dadaku dengan terjangan ombaknya. Dari kejauhan terdengar panggilan bersahutan, membawa larutku dalam keindahan suaranya.

Sudah teramat lama aku tidak menenggelamkan diri disini, membiarkan jiwa dan raga menyatu dalam kekhusyu’an bermahabbah kepada-Nya. Ragu menyelinap di relung hati membuat langkahku sejenak terhenti, masih pantaskah tubuh yang berbalut kealpaan dan kebohongan ini berdiri disini? Kenapa suara ini tidak mampu menghipnotisku dari dulu. Sehingga tidak selama ini aku terpenjara di dalam keterpurukan ini.

Tetesan air keran yang membasahi anggota wudhu, memberikan kesejukan dan kedamaian yang terasa menjalar ke seluruh ragaku, rasanya ingin berlama-lama membiarkan air membersihkan tubuh kotor ini.

Tampak seorang bapak berdiri di barisan imam bersiap untuk memimpin shalat, dan seorang anak kecil berdiri di belakangnya. Ia menolehkan mukanya begitu mendengar suara langkah kaki memasuki mushalla. Ketika tubuhku sudah berada persis di belakangnya bapak tersebut langsung memintaku untuk mengumandangkan iqamah. Aku tergagap menerima permintaan yang tidak terduga ini. Seingatku terakhir kali mengumandangkan azan dan iqamah puluhan tahun yang lalu, sewaktu masih menjadi santri TPA. Setelah itu ilmu dan kepandaianpun menghilang sejalan dengan kehilanganku mencari arah perjalanan hidupku.

“Ayo..Nak?” suara bapak itu membangunkan alam bawah sadarku, membuyarkan lamunanku. Perlahan aku beranikan diri melantunkan seruan untuk memulai shalat dengan terbata-bata, dengan lidah yang terasa kelu. Shalat maghrib berjamaah malam ini terasa nikmat ditambah hembusan angin laut masuk lewat jendela mushala yang belum lagi ada kacanya.

Berjalan menyusuri tepi pantai terlihat beberapa orang masih menikmati deburan ombak, mencium bau laut yang sedikit amis sambil menikmati jajanan yang tersedia di sepanjang jalan. Senja ini mengajarkan gelap malam tidak bisa ditolak, tapi gelap bukanlah suatu keabadian karena esok hari mentari akan bersinar lagi.

Selamat tinggal masa lalu, kepedihan hidup pergilah menjauh.

Payakumbuh, 01-03-2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah keren un

01 Mar
Balas

Makasih rin....

02 Mar

Top banget... Salam literasi

01 Mar
Balas

Makasih ri....Salam literasi

02 Mar



search

New Post