Khatijah, S.Pd

Khatijah adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMPN 1 Tapen Bondowoso Jawa Timur Menulis adalah hal yang menjadi hoby Kegiatan menulis yang pal

Selengkapnya
Navigasi Web

SELENDANG MERAH JAMBU

SELENDANG MERAH JAMBU

Oleh Khatijah, S.Pd

Guru SMPN 1 Tapen Bondowoso Jawa Timur

#TantanganGurusiana

Tantangan Hari Ke-45

Matahari mulai menyapa dengan sinarnya yang indah. Daun-daunan yang tampak menghijau hanya diam tak bergerak. Kiranya angin masih enggan untuk bertegur sapa dengan mereka. Burung-burung kecil di dahan pohon asam jawa yang tumbuh di pinggir jalan itu, berloncatan kesana kemari seolah-olah mereka bersuka ria menyambut datangnya pagi. Dian yang duduk sendirian di halte, memandang hiruk pikiuk kendaraan yang lewat di depan matanya. Sudah hampir tiga pulih menit orang yang ditunggu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor besar berhenti di hadapannya. Pengendaranya masih menggunakan helm yang menutupi seluruh bagian atas sehingga tak bisa dikenali siapa orangnya. Dian pura-pura tidak tahu. Ia hanya membuka-buka hp-nya saja. Padahal tidak ada yang perlu dilihat atau dibaca. Itu dilakukan hanya sekadar trik untuk menghilangkan kejenuhan karena telah lama menunggu.

Tiba-tiba laki-laki itu membuka helmya. Ia turun dari sepedanya dan menghampiri Dian.

“Assalamualaikum, lagi menunggu siapa, Dik?” Tanyanya.

“Waalaikumssalam,” jawab Dian gugup. Ia tercengang setelah tahu bahwa orang yang berhenti di depannya itu adalah kakak kelasnya ketika ia masih di SMA dulu.

“Nunggu Anggun, Kak,” jawab Dian.

‘Memangnya mau ke mana? Tanyanya lagi.

“Ke Nindya. Ia sedang sakit, ” jawab Dian.

“Semoga cepat sembuh ya,” lanjut laki-laki itu.

“Terima kasih doanya, Kak,” jawab Dian. Selesai mengucapkan kata-kata itu, laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya. Dian hanya mengangguk. Dian jadi menyesal mengapa ia terkesan cuek. Padahal begitu baiknya sikap Indra yang berhenti dan turun dari sepedanya hanya untuk menyapa dirinya. Sebenarnya Dian tidak bermaksud cuek. Tetapi ia benar-benar terkejut, karena tidak disangka-sangka orang yang dulu pernah ada di hatinya itu muncul dengan tiba-tiba. Ia canggung bukan kepalang. Semua yang seharusnya bisa dikatakan, seperti menanyakan kabarnya, menanyakan kegiatannya apa, bahkan menanyakan mau ke mana saja tidak dilakukannya. Semua kata-kata itu seperti tidak tersedia di pikirannya. Ada penyesalan di hatinya. Ia hanya bengong menyaksikan Indra menstater motornya.

“Lama ya nunggunya?” tanya Anggun merasa bersalah. Dian tersentak. Ia baru sadar kalau Anggun yang ditunggu-tunggu sudah ada di depan matanya.

“Iya lah, hampir saja aku putus asa,” kata Dian agak ketus.

“Sorry, tadi saat mau berangkat tiba-tiba ada tamu,” kata Anggun.

“Oke, gak masalah, untung tadi ada Kak Indra,” kata Dian.

“Hah, Kak Indra, kakak kelas kita waktu SMA itu,?”tanya Anggun terkejut.

“Yoi,” jawab Dian sambil berusaha membonceng motor Anggun. Mendengar penjelasan Dian tentang Indra, Anggun menjadi gundah. Ia tak segera menstater motornya. Ia jadi teringat akan selendang yang diberikan kepadanya dulu.

“Heii, ayo,” Dian mengingatkan Anggun agar segera menjalankan motornya. Anggun terkejut dan terputuslah lamunannya. Mereka berdua pun berangkat menuju rumah Nindya yang lagi sakit. Jarak rumah Nindya dengan tempat itu, lumayan jauh. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sedikit pun. Mereka mengikuti perasaan masing-masing. Dian menjadi gagal fokus, pikirannya kembali saat-saat masih SMA. Demikian juga Anggun juga kepikiran akan selendang itu.

“Lho, sudah kelewat,” kata Dian, “Di sana rumah Nindya,” Dian sambil menunjuk ke arah belakang.

“Oh, iya,” Anggun menyahut.

Anggun segera putar balik. Hanya beberapa meter sudah sampai di jalan depan rumah Nindya. Nindya sepertinya sudah tahu kedatangan kedua temannya itu, hingga sudah menjemput di halaman.

“Orang sakit, kok malah jalan-jalan,” kata Dian mengomentari Nindya.

“Sudah sembuh,kok,” jawab Nindya.

“Alhamdulillah, kalau sudah sembuh,” ucap Anggun tak bersemangat.

Hati Nindya berbunga-bunga karena kedua temannya sudah memberikan perhatian begitu besar dengan datang menjenguknya. Nindya sudah tiga hari pulang dari rumah sakit, karena ia dirawat di sana. Walaupun belum seratus persen sembuh tapi ia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, ia sudah bisa berjalan –jalan di sekeliling rumahnya sendiri. Hanya saja Nindyia menangkap seperti ada gelagat yang tidak enak. Dian dan Anggun hanya banyak diam. Tidak seperti hari-hari biasanya.

“Ada salam dari Kak Indra, doanya semoga kau cepat sembuh, Nin,” kata Dian tiba-tiba memecah kesunyian.

“Kak Indra..?” Nindya bertanya sambil mengernyitkan dahi.

“Iya, Kak Indra kakak kelas waktu SMA,” kata Dian.

Mengingat Indra, Nindya jadi berkeringat dingin. Rasa berdosa itu menghantui dirinya. Ia jadi ingat tentang selendang yang dititipkan kepadanya. Selendang itu pasti masih ada di tangan Anggun. Padahal Indra menginginkan selendang itu diberikan kepada Dian. Tapi Nindi yang saat itu tidak suka kepada Dian, membuat hatinya menjadi iri. Iri atas kebahagian Dian. Dian yang pendiam dan tidak neko-neko itu justru menjadi pilihan Indra. Timbullah niat tidak baik dari Nindya saat itu.

“Nggun, ada titipan dari Kak Indra, “ kata Nindya saat itu.

“Titipan apa?’ tanya Anggun.

“Ini, “ kata Nindya sambil memberikan selendang cantik. Hati Anggun senang sekali menerima pemberian Indra. Orang yang selama ini sering menjadi topik pembicaraan gadis-gadis seusianya. Nindya puas melihat hati Anggun menjadi berbunga. Matanya yang bagus bersinar indah, menandakan bahwa ia sedang berbahagia.

Matahari sudah condong ke barat saat Anggun dan Dian pamit pulang kepada Nindya. Pertemuan mereka bertiga hari itu membuat Nindya semakin kelihatan sembuh dari sakitnya. Tetapi beban di hatinya tak bisa hilang dari pikirannya. Ia membuat dua orang sahabatnya berlabuh dalam perasaan yang tak semestinya. Barangkali sampai saat itu Anggun masih menyimpan rasa itu kepada Indra. Sedangkan Indra bersikap biasa-biasa saja. Anggun dianggapnya sebagai teman biasa, adik kelas yang ia kenal baik, tak lebih dari itu. Begitu kata hati Nindya yang selalu bermain kala kedua teman baiknya itu meninggalkan rumahnya.

Demikian juga dengan Dian dan Indra sampai saat ini mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Nindya.

BERSAMBUNG

Bondowoso, 28 Februari 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Siip, Bu... Bikin penasaran utk yg part 2...=-

23 Mar
Balas

Ya Bu..terima kasih hadirnya.

07 Apr



search

New Post