Khoirun Nisak

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
AYAH AKU INGIN PULANG BERSAMAMU

AYAH AKU INGIN PULANG BERSAMAMU

Sosok mungil tak berdosa itu, seakan ingin menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang dialami. Apakah ia hendak mempertanyakan pada sang Khaliq tentang sesuatu yang sudah menimpanya selama ini. Sehingga membuatnya tidak bisa berkumpul dengan seseorang yang amat dicintainya.

Anak ini, sebutlah Dika namanya. Dia harus mengalami pedihnya hidup tanpa kasih sayang seorang Ibu. Diusianya yang menginjak 10 tahun, Ibunya harus berpulang ke Rahmatullah, karena penyakit tumor payudara yang dideritanya.Sepeninggal Ibunya inilah kehidupan seakan tak berpihak kepadanya. Berharap sebuah perhatian kecil di dapatnya, justru caci maki dan penolakan tanpa henti, dari seseorang yang semestinya memberikannya kasih sayang pengganti Ibu.

Iyaaa, seorang ibu tiri. Genap setahun sepeninggal ibunda tercinta, Ayahnya menikah lagi, dengan seorang perempuan dari tetangga sebelah kampungnya. Alih-alih mendapat ganti ibunya, dia justru mendapatkan kepedihan tiada henti. “Ibu tiriku tidak menghendakiku.” Itulah kalimat yang sempat terucap dari bibir mungilnya. Saat saya menghampirinya, yang selalu nampak lesu dan tidak bergairah. Dia suka menyendiri dan termenung. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman-temannya ketika waktu istirahat tiba.

Namun, beberapa kali dia menorehkan rapor merah pada pertemanannya. Sikapnya begitu kasar, saat memperlakukan temannya. Gampang memukul apabila tidak berkenan, mencaci maki temannya, mengancam, bahkan menantang temannya berkelahi. Ini beberapa kali terjadi.

Beberapa guru menganggapnya sebagai pribadi yang memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Namun, ketika melihat sorot mata yang penuh kepedihan itu, saya merasakan ada sesuatu yang salah di sini. Perilaku kasarnya itu, pasti beralasan. Saat berbincang-bincang, kalimat-kalimat yang dilontarkannya selalu sopan. Dengan menggunakan karma inggil malah kalau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Di setiap kalimatnya, saya merasakan ada kepedihan mendalam. Dia menceritakan kisah hidupnya tanpa memandang ke arah saya. Ketika saya perhatikan, ternyata dia meneteskan airmata.

Dika mencoba menceritakan, bagaimana sebenarnya dia ingin tinggal bersama Ayah kandungnya yang telah menikah lagi. Namun, ibu tirinya tidak menghendakinya. Ayahnya tinggal di rumah ibu tirinya. Dan dengan tanpa berat hati, Ayah Dika membiarkannya dititipkan bersama buliknya, adik dari ibu kandungnya. Hal inilah yang cukup menyakitkan perasaannya. Seakan merasa terbuang, dia pun melakukan semacam protes melalui perilaku gak menyimpangnya itu.

Pernah saya berkomunikasi dengan buliknya, sebutlah Anita namanya. Beliau mengatakan, “ Dulu, ketika ada ibunya perilakunya tidak seperti ini. Dia rajin shalat, mengaji, dan belajar. Sekarang, mengajaknya mengaji pun susahnya minta ampun. Apalagi mengerjakan shalat.” That’s it. Dulu…sudah kuduga. Inilah masalahnya, hanya sebuah kehilangan akan kasih sayang dan perhatian ibunya. Berharap bisa mendapatkannya dari sosok ayah pun tidak didapatkannya.

Kupahami betul bagaimana yang dia rasakan saat ini. Dititipkan di sebuah yayasan atau panti asuhan pun, dia berontak dan bikin ulah. Akhirnya terpaksa dikeluarkan. Di sekolah ini pun, dia sering berulah. Kepala Sekolah hampir saya mengetok palunya untuk memberikan surat keputusan ‘pemecatan siswa secara tidak hormat’ tetapi saya mencoba mencegahnya, dan memohon kepada Kepala Sekolah untuk mempertimbangkan kembali. Alhamdulillah, Kepala Sekolah pun pasrah.

Dunia anak adalah dunia bermain, bagaimana mungkin sebagai orang dewasa, lingkungan harus memaksanya menerima bahwa dia tidak dikehendaki. Ayahnya, secara tidak langsung sudah memutuskan hubungannya. Lalu kepada siapa lagi dia harus mengadu tentang kegelisahannya.

“ Saya ingin pulang bersama Ayah, tapi perempuan itu tidak boleh.” Perempuan itu, dia menyebut ibu tirinya. “ Dika, apakah Dika sayang pada almarhumah Ibu?” tanyaku padanya. “Iya.” Dika menjawabnya sambil menunduk dengan mata berkaca-kaca. Ketika kuhadapkan mukanya kepadaku dia menghindar, seakan tidak ingin diketahui bahwa dia ingin menangis. “ Menangislah, nak. Jangan pernah ditahan kalau sampean ingin menangis.” Saya mendekatinya dan memeluknya, dia pun menangis sepuasnya dengan bahu pinjaman dari saya. Suasana semacam ini, hampir saja membuat saya larut. Namun, segera saya tersadar bahwa ada misi penting yang harus saya lakukan. Menyentuh hatinya.

“ Sadarkah sampean, bahwa semua orang menganggap sampean sebagai anak nakal?” Dia mengangguk. Saya pun melanjutkan “ Mungkin semua orang menganggap begitu, tapi tidak ibu. Bu Anis melihat sampean bukan anak nakal. Tapi begitu baik. Apalagi sayang pada almarhumah Ibu. Sampean pasti tidak ingin Ibunya menangis kan, kalau begitu buktikan kepada semua orang bahwa mereka salah. Sampean bukan anak nakal, sampean ingin ibunda tersenyum.” Saya lihat dia mulai tersenyum mendengar kalimat yang saya ucapkan. “ Berjanjilah kepada Bu Anis, bahwa sampean tidak akan membuat ibunda menangis.” saya mengulurkan tangan, dan dia pun mengulurkan tangannya dan menjabat tangan saya. Oke. Bagus. Ibu pegang janji sampean.

Selebihnya, saya pun tetap mengamati Dika. Karena itu janji saya kepada kepala sekolah. Kalau mbleset ooooh mamiiii. Saya perhatikan, dia mulai ceria dan mau bergaul dengan temannya yang lain tanpa perilaku kasarnya. Tidak kudengar lagi kasus perkelahian yang melibatkan Dika. Alhamdulillah, semoga saja kalimat pendek yang saya ucapkan ada manfaatnya untuk Dika.

Pembelajaran berharga yang saya dapati dari seorang Dika. Keutuhan keluarga menjadi hal paling utama, untuk tumbuh kembang seorang anak. Seringkali orangtua sebagai orang yang dianggap dewasa, justru lebih egois dan kekanak-kanakan.

Menikah adalah ibadah, tetapi jika pasangan baru tidak bisa menerima buah hati hasil pernikahan sebelumnya, layakkah dia dipilih menjadi pasangan selanjutnya. Kalimat Dika “ Saya ingin pulang bersama Ayah.” Cukup membuat hati teriris. Mengapa keinginannya yang begitu sederhana tidak bisa diwujudkan oleh seorang Ayah. Karena keegoisan semata.

Semoga Dika tetap menjadi pribadi kebanggaan ibunda. Semoga saya mampu mengambil hikmah dari peristiwa ini. Semoga tidak ada lagi Ayah yang tidak mau mengajak serta anaknya pulang. Semoga tidak ada lgi ibu tiri yang kejam layaknya dongeng di masa lalu. Kini Dika telah pergi dari sini, dan menggapai citanya yang lain. Cerita ini terjadi 2 tahun yang lalu. Doa saya teruntuk Dika, semoga Allah mempermudah segala langkahmu.

Sumber gambar : http://3.bp.blogspot.com

Gedangan, 12 April 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post