Kiki Razyka

Mendedikasikan diri untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada tulisan adalah janji yang harus dibayar sepanjang hayat ini....

Selengkapnya
Navigasi Web
Cerita Emak

Cerita Emak

Setiap akhir bulan, Emak merasa menua tiba-tiba. Kerutan di dahi bertambah. Selera makan menghilang dan air mata yang gampang menetes. Emak sadar, selembar uang bewarna biru menjadi pengisi dompet satu-satunya lah penyebabnya.

Keluar masuk kamar. Menggeledah tiap sudut laci meja. Mencari lembaran yang terselip tanpa sengaja penambah semangat. Namun hanya recehan yang bergemerincing ia temukan.

Emak menyusun tiap receh yang ia temukan. Pecahan berangka 2 dan dua buah angka nol di belakangnya di susun bertingkat 5. Yang berangka 1, ia singkirkan. Bukan tak butuh, namun itu buat cadangan ongkos si bungsu ke sekolah besok.

"Satu, dua, tiga .... " Emak menghitung tumpukan yang berhasil di susun. Lima ribu tujuh ratus, nanggung sekali, batin emak. Akhirnya tiga keping ditambahkan lagi ketumpukan.

"Lima puluh enam ribu," Emak menyumpalkan uang yang ada ke dalam dompet. "Cabe, bawang, telur dan minyak dah habis. Beras... Hmm, masih cukuplah." Emak terlihat serius. Persediaan di dapur mesti dihitung seksama. Sayur ... Masih ada daun ubi yang bisa dipotes di belakang rumah, Emak terus mengira-ngira sambil meraih keranjang belanja.

"Uuaa ... Eooou .... " Si Belang dan Pussy menghalangi langkah kaki emak, seolah tahu hendak ditinggal.

"Sabar ya, Sayang." Elusan tangan emak membuat si Belang senang. Tingkah Belang dan Pussy yang kemudian berebut perhatian membuat senyum emak sedikit merekah, mengendurkan urat-urat syaraf yang tegang sedari tadi.

"Doakan ya, Sayang ... Semoga kali ini bisa beli ikan buat kalian." Sedih campur ragu nada suara Emak. Ikan sedang mahal-mahalnya. Kata orang, karena gerhana bulan kemarin, laut berombak sehingga nelayan tak berani berlayar. "Bismillah .... " Emak menegarkan langkah, mencoba berprasangka baik kepada Sang Maha Kaya.

'Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.' (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab).

Pasar selalu ramai. Emak mengambil tempat di depan penjual cabe. "Berapa cabe seons, Nang?" Inang, Emak menyapa penjual yang bersuku Karo itu dengan sapaan hormat yang khusus ditujukan untuk para wanita dari suku tersebut.

"Sembilan ribu aja, anakku. Sudah agak turun dikit. Kau ambil seperempat aja. Biar agak murah." Inang yang berusia lanjut itu menjawab.

"Wuih, Nang ... dah akhir bulan ini. Tak terbeli lagi nanti yang lain." Emak berkata sejujurnya.

"Eh, kalau mau kau yang itu." Inang menunjuk ke arah tumpukan cabe di sudut. "Itu cabe kemaren. Seperempat dua belas ribu saja. Tapi angkat ya. Jangan kau pilih-pilih."

Melihat sekilas, cabe merah yang ditunjuk Inang masih bagus. Hanya sedikit layu dan mengering. Emak mengangguk cepat, "Mau lah. Seperempat ya Nang."

Emak pun mengangsurkan lembaran biru satu-satunya. "Nang, kasi tiga ribu bawang merah ya, biar pas lima belas." Plastik cabe merah yang bercampur beberapa buah bawang pun berpindah kedalam keranjang.

"Nggak beli tempe, Nak?"

Terkaget Emak dari rasa senang karena mendapat cabe lumayan murah. Seorang Ibu yang sudah berumur, duduk rendah di bangku kayu kecil. Sebuah keranjang bambu besar teronggok di depannya. Berisi batangan tempe besar-besar.

"Piro, Bu?" Emak berjongkok demi menghormati Ibu penjual. Tak sopan rasanya berbicara sambil berdiri pada lansia yang sedang duduk di bawah.

"Ini tinggal lima lagi. Wes, ambil semua saja. Sepuluh ewu." Jawaban yang diterima membuat mata emak membulat dan cepat mengiyakan. Ibu penjual pun membungkuskan kelima batang tempe untuk Emak. Ini harga yang luar biasa murah.

Tiga puluh ribu lagi, Emak membatin. Seribu sebagai pengisi dompet. Orang dulu berkata pamali membiarkan dompet belanja kosong melompong.

Deretan ikan segar berganti diteliti emak kemudian. "Tak ada ikan ketang?" tanya Emak.

"Kosong, kak." si Penjual Ikan masih menimbang ikan yang dipilih pembeli di sebelah emak.

Raut wajah Emak berubah kecewa. Ikan ketang adalah ikan termurah yang Emak tahu, untuk makan Belang dan Pussy di rumah. Ikan tongkol, gembung atau caru pasti harganya di atas dua puluh.

"Ikan campur, nggak mau kak? Buat kucing bisalah, ni." Abang penjual mengambil bungkusan plastik besar dari bawah mejanya. Penjual langganan ini tahu kalo Emak pasti mencari ikan ketang untuk piaraannya. Sudah biasa.

"Ini ikan bagus, cuma pecah-pecah. Maklum lah kalo dah di es tertimpa-timpa."

"Harganya?" Emak melongok isi plastik. Ada ikan dencis, tongkol, ikan merah dan lainnya. Bercampur. Tapi tak ada bau busuk. Baunya masih segar. Kalo mahal, emak takut duit belanja tak cukup. Ia masih harus membeli minyak dan telur.

"Ambil semua saja, Kak. Tiga kilo lebih. Kukasi sepuluh ribu." Jantung Emak serasa hendak loncat kegirangan. Sepuluh ribu! Bahkan ikan ketang saja biasa dibeli emak dengan harga lima ribu rupiah perkilonya.

Emak langsung sigap mengambil selembar uang nominal sepuluh ribu dan menyerahkannya.

"Mau dilapis plastiknya, Kak?"

"Nggak usah, saya bawa keranjang. Terima kasih ya, bang. Semoga jualannya laris." Doa Emak tulus.

"Amin ... Makasih, Kak," balas si Penjual lalu sibuk melayani pembeli lainnya.

Keranjang emak sudah terasa berat. Jadi Emak memutuskan pulang dengan menumpang ojek. Celingukan emak berdiri di depan pasar. Mencari tukang ojek langganan.

"Woyy ... Mak ita!"

"Eh, Bu Dewi. Belanja juga?" Emak sedikit kaget ketika tiba-tiba Bu Dewi dan sepeda motor maticnya berhenti di hadapan.

"Iya. Pulang sama, yuk!"

Emak setuju dan dengan semangat ikut naik di boncengan. Pasar tak terlalu jauh dari perumahan mereka. Hanya perlu kurang dari sepuluh menit bila naik sepeda motor.

"Eh, turunkan saya di depan kedai si Ana, ya." Emak berseru agar Bu Dewi bisa mendengarnya. Kedai Ana terletak tak jauh dari rumah keduanya.

"Tapi gak kutunggu ya, Mak Ita. Karena ini mio nya mau dipake bapak anak-anak kerja." balas Bu Dewi.

"Oke ...."

***

Telur dan minyak tak muat lagi dimasukkan ke dalam keranjang. Sehingga dua tangan Emak penuh menjinjing belanja hari ini.

Beli telur dan minyak, habis lima belas ribu. Masih ada sisa enam ribu lagi. Ya Allah ... dada Emak penuh rasa haru. Hari ini, entah bagaimana semua kebutuhannya tercukupi. Bahkan berlebih. Banyak sekali orang baik yang membantunya. Para penjual di pasar tadi, bahkan Bu Dewi yang memberinya tumpangan, seperti malaikat penolongnya. Beban di hatinya serasa terangkat.

"Alhamdulillah ... Alhamdulillah .... " lirih suara Emak bergumam. Pelupuk matanya mulai terasa penuh. Bila saja tak ingat malu dilihat orang, pastilah cucuran air matanya turun deras. Allah telah mengirimkan pertolongannya kepada Emak. Entah doa Emak tadi malam, ataukah doa para kucing yang dipelihara emak yang diijabah. Tapi sungguh, Allah SWT adalah sebaik-baik penolong ....

“Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal. (Ali Imran/3:160)

__________________________________

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post