Kiki Razyka

Mendedikasikan diri untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada tulisan adalah janji yang harus dibayar sepanjang hayat ini....

Selengkapnya
Navigasi Web
Di Balik Sebuah Tenunan

Di Balik Sebuah Tenunan

Terbuai angin dan terlilit kegiatan yang berulang sejak beberapa jam yang lalu, Ami terkantuk-kantuk dan hampir menjatuhkan kepalanya ke depan. Namun suara hiruk pikuk kemudian menghampiri, dan seiring kuap panjangnya, Ami menjadi segar kembali. Beberapa orang asing, putih dan tinggi, berdiri hanya berjarak beberapa langkah darinya. Menyimak pembicaraan mereka, Ami tak bisa menahan diri, terkikik menahan tawa karena bahasa dari orang-orang itu, terdengar lucu di telinganya. Kak Dewi yang berada di samping tidak jauh darinya, memberi kode dengan gerakan bibirnya agar Ami menjaga sikap.

Namun Ami bukanlah gadis yang menurut begitu saja. Di antara gadis-gadis sebayanya--sekitar usia sepuluh hingga dua belas tahun--yang ikut belajar menenun di halaman rumah Ina, ia adalah yang paling tidak bisa diam.

Seperti yang terjadi saat ini.

Penasaran melihat sosok yang berbicara dengan bahasa asing yang aneh, bukan bahasa inggris seperti yang sudah sering didengarnya, gadis muda itu memberanikan diri menoleh. Sedikit sulit karena tubuhnya yang mungil tertahan batang jajak yang kokoh, tetapi ia berhasil mengintip sedikit sebelum pelototan dari Ina Dangker membuatnya kembali ke posisinya semula--menghadap dinding yang terbuat dari anyaman bambu.

Pura-pura sibuk dengan benang, Ami berusaha terlihat tidak terusik meski beberapa orang asing itu kini telah berada di sampingnya dan mulai memotret. Sesekali Ami mengulas senyum, berharap terlihat cantik dalam foto. Senyum Ami semakin lebar saat seorang turis pria yang berambut keriting dan pirang mengacungkan jempol pada Ami. Entah apa yang pria itu katakan, tetapi kemudian semakin ramai turis yang ikut berkumpul di sekitarnya. Sadar telah menjadi pusat perhatian, Ami semakin berakting seakan-akan ia seorang penenun yang terampil. Berkali-kali gadis itu begitu asyik menggerakkan berire dan mengganti benang.

"Ami!"

Sebuah sentakan yang tiba-tiba, membuat Ami menghentikan gerakan tangannya. Saat itulah ia baru tersadar apa yang telah terjadi. Sekelilingnya telah kembali senyap, tanpa decak, tanpa sorot mata kekaguman dan kilatan lampu yang berasal dari kamera dan ponsel.

Ami mengikuti arah pandangan Ina Dangker. Helaian benang tenunan pada gedogan yang ia gunakan terlihat kacau, warna-warnanya tidak tersusun sesuai pola dan beberapa helai benang juga terlihat kusut.

Ina Dangker memelototinya. Ami menundukkan wajah dalam-dalam. Bukan hanya amarah Ina yang berada dalam pikirannya tetapi juga keharusan mengulang kembali tenunannya. Itu berarti ia harus kembali duduk berjam-jam lamanya, berselonjor dengan diapit bilah bambu dan kayu.

"Ina. Ada yang mau saya bicarakan." Pak Amin tiba-tiba datang, entah dari mana, seperti seorang penyelamat.

Amarah Ina tidak akan terlalu meledak di hadapan pengurus koperasi Desa Sukarara--Desa sebelah yang hanya berjarak satu jam--yang sesekali juga datang ke desa mereka itu.

Ami mengetahui hal itu berdasarkan hasil pengamatannya sendiri. Beberapa kali ia melihat, tetua-tetua yang biasanya galak dan cerewet saat mengajari gadis desa ini menenun, berubah menjadi sopan dan irit bicara di hadapan Pak Amin.

Ami berharap, Pak Amin akan mengajak Ina Dongker pergi ke kantor atau ke mana saja. Dengan begitu, Ami bisa melepaskan diri dari kungkungan batang jajak yang membuat punggungnya sakit. Namun harapan Ami tidak terkabul. Pak Amin dan Ina tidak beranjak dari tempatnya hingga Ami bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Ina. Rombongan turis tadi datang dari Polandia. Mereka tertarik untuk memesan kain tenun kita dalam jumlah banyak."

Penjelasan Pak Amin membuat Ami mengangguk-angguk. Jadi, mereka dari Polandia? Ami membatin. Pantas saja bahasa mereka terdengar aneh. Tidak seperti bahasa dari orang Amerika dan Inggris yang beberapa kali mengunjungi desa.

"Benarkah? Ini bagus sekali. Sudah beberapa bulan, tidak banyak turis yang berkunjung." Suara Ina Dangker terdengar gembira.

"Masalahnya, apakah kita bisa memenuhi target mereka Ina? Kita cuma punya waktu sebulan. Koperasi membutuhkan sekitar lima puluh lembar kain lagi. Apakah Ina bisa membantu mengumpulkan para pengrajin?"

Ami sedikit terkejut. Ia tidak pernah mendengar Pak Amin berkata dengan nada memohon seperti itu. Biasanya, para penenun lah yang mengajukan permohonan agar Pak Amin bersedia mengadakan acara atau kegiatan, terutamanya agar orang-orang datang berkunjung dan membeli hasil tenunan.

Suasana hening beberapa saat. Ami mulai bosan dan berniat untuk melarikan diri dari Ina ketika tiba-tiba saja Ina menyebut nama Kak Dewi. Tidak hanya Kak Dewi, tetapi Ami juga ikut menoleh.

"Dewi, nanti sore coba kumpulkan teman-temanmu yang sudah mahir. Beberapa hari ini kita semua akan bekerja lembur."

"Tapi Ina …."

Ami bisa melihat Kak Dewi seperti orang yang kebingungan. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi. Ami jadi teringat saat dulu ia ingin menolak diajari Ina Dongker, tetapi tidak berani melawan perintah Bapak.

"Ina … dua hari lagi kami ada ujian akhir." Kak Dewi menggigit bibirnya.

"Jadi, kalian tidak bisa membantu?" Ina menghela napas. "Hanya tersisa belasan penenun di dusun kita. Dibandingkan dengan desa lain, selain desa Sukarara, penenun desa kita adalah yang paling terampil. Bila kita sudah dimintai bantuan, tetapi kita menolak … bisakah kau bayangkan akibatnya nanti?"

"Ina. Sudahlah, tidak apa-apa. Mungkin pesanan ini datang tidak pada waktu yang tepat. Biarlah kita tolak saja." Pak Amin menengahi.

Ami diam, tetapi matanya melihat ke arah Ina dan Kak Dewi yang saling bertatapan. Ami penasaran tentang apa yang mereka pikirkan.

"Perempuan, pada akhirnya hanya akan menikah dan di rumah saja mengurus keluarga. Tetapi, di desa kita ini, perempuan juga menjadi tempat bergantung hidup banyak orang. Dengan menenun, kita bisa mengundang turis asing yang berasal dari belahan bumi yang lain untuk datang berkunjung. Kita bisa membuat mereka membayar untuk hotel, mobil, jasa tur dan lainnya. Bukan hanya penenun saja. Bayangkan berapa orang yang telah terbantu karena pengorbanan kita." Ina Dongker bicara nyaris tanpa jeda, membuat Ami terpana.

"Ina. Sungguh tidak apa-apa. Sekolah juga perlu untuk mereka. Apalagi ini ujian akhir." Pak Amin seperti berusaha membela Kak Dewi yang kesulitan bicara--setidaknya itu yang Ami pikirkan.

"Ina tidak memaksamu Dewi. Siapa Ina yang bisa mengatur masa depan kalian. Tetapi tolong jangan egois. Desa ini memerlukan kalian. Kami yang sudah tua-tua ini tidak bisa berbuat banyak." Ina beranjak dari tempat duduknya, diikuti oleh Pak Amin.

Sesaat setelah sosok Ina menghilang dari pandangan, Ami segera melepaskan diri dari bilah bambu yang sedari tadi mengekangnya. Ia menggerak-gerakkan pinggang dan kakinya yang kaku dan pegal.

Sementara Ami menikmati kebebasannya, Kak Dewi masih terdiam di tempat. Ami yang kembali merasa penasaran, beringsut mendekatinya. "Kak, lebih baik bolos sekolah saja. Kan enak bisa libur, tidak usah ikut ujian," ujar Ami sambil memainkan pengiring.

"Apakah kau lebih senang berada di dalam kungkungan batang jajak daripada ikut ujian dan meneruskan sekolah, Ami?" Kak Dewi balik bertanya pada Ami.

Ami tidak menjawab. Ia hanya terdiam sambil memperhatikan tangan terampil Kak Dewi memutuskan sisa benang dari kain yang ia tenun. Sebuah hasil tenunan yang rapi terbentang bersamaan dengan pertanyaan Kak Dewi yang berulang di telinganya. []

Medan, September 2023

Catatan kaki:

Ina : Ibu.

Batang Jajak : Penahan serta penyambung alat tenun yang melekat dengan punggung penenun.

Berire: Kayu panjang pipih dengan ujung lancip pembentuk motif tenun.

Pengiring : Alat penggulung benang

Gedogan : Alat tenun tradisional

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap ulasannya keren

01 Oct
Balas

Terima kasih dukungannya Bu

02 Oct



search

New Post