Kiki Razyka

Mendedikasikan diri untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada tulisan adalah janji yang harus dibayar sepanjang hayat ini....

Selengkapnya
Navigasi Web
Keinginan Radit

Keinginan Radit

“Yatim … eh, eh , eh, yatim … eeh, yatim!”

“Haha … haha ….”

Untuk kesekian kalinya telinga Radit menegak. Meskipun ia berusaha tidak terusik dengan pura-pura serius menekuni buku yang terbuka lebar di atas meja, tetap saja perubahan pada raut wajahnya terlihat jelas tatkala celotehan tidak sengaja yang disusul tawa itu terdengar.

Radit mengenal dengan baik pemilik suara-suara itu. Tanpa menoleh, ia tahu siapa saja yang tengah bercanda dengan kata yang sensitif itu. Entah apa yang merasuki Iwan, teman sekelasnya yang memang latah itu hingga ia selalu menyebut kata yatim setiap kali Bahrum dan gengnya menjahilinya. Apakah memang Bahrum yang menjejalkan kata-kata itu di alam bawah sadar Iwan atau memang berasal dari Iwan sendiri. Radit tidak ingin mencari tahu. Yang jelas, tawa Bahrum terdengar puas setiap kali ia berhasil membuat Iwan yang gayanya agak gemulai itu mengatakannya. Kembali tanpa menoleh, Radit tahu, saat ini Iwan pasti tengah menatapnya dengan sorot mata bersalah.

Untuk apa protes? Untuk apa marah? Tidak ada gunanya. Sejak statusnya sebagai anak yatim terungkap, semuanya tidak lagi melihat dan memperlakukannya dengan cara yang sama. Iba dan meremehkan … keduanya sama menyakitkannya bagi Radit.

“Kalian kenapa, sih? Ribut terus!”

Kali ini suara Santi yang membahana. Namun bukannya diam, Bahrum makin terkekeh seolah senang telah berhasil membuat Santi yang kesayangan guru itu terpancing emosinya.

Beginilah kalau ada jam pelajaran yang gurunya mangkir mengajar. Kelas yang terletak paling belakang, bersebelahan langsung dengan toilet anak laki-laki itu pasti akan seketika ribut. Jauh dari lokasi ‘ngetem’ guru piket ditambah lagi mayoritas siswanya yang senang karena tidak perlu belajar, lebih memilih tidak melapor daripada kebagian guru pengganti yang biasanya hanya menyuruh mereka mencatat berlembar-lembar halaman demi membuat mereka tetap diam, membuat keributan di kelas itu tidak terendus oleh pihak sekolah.

Santi mengentakkan kakinya kesal melihat Bahrum meleletkan lidah padanya.

“Wee ada yang kesinggung, nih. Belain gebetan, ya?”

Ejekan Bahrum disambut ledakan tawa dari siswa yang lain, disusul kejaran Santi dengan acungan kepalan tinjunya yang kecil. Bahrum berlari menghindar dengan seringai yang masih terpasang di wajahnya. Akan tetapi ia kemudian meringis ketika tubuhnya yang bongsor berkali-kali menabrak meja dan kursi sehingga susunan meja dan kursi di kelas itu menjadi berantakan.

Radit menutup bukunya dan menyimpannya ke dalam tas dengan kasar. Tanpa menghiraukan huru hara yang terjadi, ia mencangklongkan tas ranselnya di bahu. Mendengkus kesal, ia melangkah keluar dari kelas.

“Radit, mau ke mana?” Terdengar suara Iwan.

“Pulang. Kalian gak dengar suara bel?” ketus Radit.

Keributan pun berganti, dari perkelahian menjadi kehebohan mengemasi buku dan alat tulis yang berserakan. Semua berlomba cepat, tidak sabar untuk segera meninggalkan kelas.

***

Memasuki pekarangan rumah, Radit bisa merasa sedikit lebih aman dari sengatan matahari. Halaman rumahnya memang cukup sejuk berkat rindangnya pohon-pohon buah yang ditanam oleh almarhum ayahnya. Mangga, pisang dan jambu air, ketiganya tumbuh subur. Radit selalu menjaganya dengan baik sesuai dengan pesan ayahnya di saat masih hidup.

“Menanam pohon, ataupun hanya menabur benih tanaman, lalu setelah ia tumbuh, dimakan oleh manusia, burung atau hewan lainnya, maka itu akan menjadi sedekah bagi kita.” Begitulah perkataan ayahnya–yang kemudian Radit ketahui merupakan kutipan dari salah satu Hadis Rasulullah–terus melekat erat di benaknya hingga kini ia menjadi sosok remaja berusia empat belas tahun.

Setelah ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, Radit lah yang menggantikannya. Meski masih muda, Radit berusaha sebaik mungkin. Ia yang dekat dan selalu mengikuti ayahnya ke mana-mana semasa hidup, lewat pengamatannya ia juga jadi tahu bagaimana cara merawat tanaman. Mulai dari menyiram, memupuknya baik itu dengan sisa bakaran sampah maupun dengan pupuk kimia, menggemburkan tanah hingga memotongi dahan dengan tujuan agar tanaman bisa tumbuh dengan baik, semua dikerjakan Radit dengan senang hati.

Radit menghentikan langkahnya. Angin berembus hingga menimbulkan suara gemerisik dari dedaunan dan ranting yang bertabrakan. Sejuk dan damai. Hati Radit yang sempat gundah karena kejadian di kelasnya tadi, menjadi sedikit terhibur. Radit seperti bisa merasakan kehadiran ayahnya menenangkannya. Seperti dahulu.

Kenapa orang baik cepat sekali meninggal, ya? Batin Radit. Matanya berkaca-kaca. Kenapa ayah Bahrum yang katanya seorang preman itu masih hidup hingga sekarang. Bahkan pernah datang ke sekolah untuk mengamuk setelah salah satu guru mencubit paha Bahrum karena terus saja membantah dan enggan mengerjakan tugas. Sebenarnya Radit tidak ingin mengeluh. Ia juga tidak ingin mendoakan hal yang jelek sebab ayahnya pernah melarang hal itu. Namun ini rasanya sungguh tidak adil.

Radit juga ingin merasakan pembelaan. Tidak seperti Bahrum yang dibela saat melakukan kesalahan, tetapi setidaknya, ada yang menghentikan kejahilan teman-teman padanya. Radit mengira-ngira, bila ayahnya masih hidup, apakah ayahnya akan datang ke sekolah untuk meminta guru menghukum Bahrum dan gengnya itu?

Radit mendesah. Ia mengusap wajahnya. Tidak perlu berandai-andai. Ayah sudah meninggal dan tidak mungkin hidup kembali. Radit merasa hatinya tertusuk. Ia beranjak, kembali melanjutkan langkah yang hanya tinggal beberapa kali ayunan lagi menuju rumah yang kosong karena ibunya harus bekerja menggantikan peran ayah sebagai tulang punggung keluarga.

***

Radit membuka tudung saji di atas meja makan. Tidak ada lauk. Berarti ibunya tidak sempat memasak tadi sebelum berangkat bekerja. Radit sedikit kecewa. Tadinya ia mengharapkan paling tidak ada telur dadar dan sambal tersaji di depannya. Dahulu, saat ayahnya masih hidup dan ibu tidak harus bekerja, setiap kali pulang sekolah dan membuka tudung saji, maka lauk pauk yang menggugah selera akan memuaskan matanya. Radit meletakkan kembali tudung saji lalu menuju ke dapur. Tidak lama kemudian, sebuah wajan kecil telah nangkring di atas kompor yang menyala. Dan dalam hitungan menit, nasi hangat yang ia ambil dari penanak nasi, telur mata sapi beraroma gurih serta satu putaran kecil kecap manis di atasnya telah mengisi penuh perut Radit.

“Alhamdulillah.” Radit mengelus perutnya yang kenyang. Nasi yang berasal dari beras yang ia dapatkan dari sumbangan para guru di sekolah pada 1 Muharam–lima hari yang lalu–itu pulen dan wangi. Berbeda dengan nasi yang mereka makan sehari-hari.

Saat itu, teman-temannya seketika heboh melihat Radit membawa bungkusan sembako termasuk beras kemasan lima kilogram dengan merek ternama tercetak besar di plastik kemasannya setelah dipanggil oleh Pak Bambang, guru agama mereka. Sejak saat itu pula teman sekelas Radit pun mengetahui bahwa itu adalah bantuan yang berasal dari sumbangan para guru untuk menyantuni anak-anak yatim piatu, salah satunya adalah Radit.

Radit merasa ironis. Ia tidak sepenuhnya bergembira atas bantuan yang menjadi awal mula ketidaknyamanannya di kelas. Namun bantuan dari para dermawan itu pula yang telah mengenyangkan perutnya dan pasti juga membantu mengurangi beban di pundak ibunya.

“Tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Radit teringat perkataan Pak Bambang dalam ceramah singkatnya sebelum bantuan sembako dibagikan. Apakah sikap Bahrum dan yang lainnya akan berubah bila ayat tersebut dibacakan di hadapan mereka?

Radit merenung, mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah. Ia dan ibunya memang dalam situasi yang membutuhkan bantuan. Namun ia tidak ingin dihina. Ia juga tidak ingin dikasihani. Apakah Bahrum dan yang lainnya bisa mengerti? Medan, Oktober 2023

Mr

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post