Kiki Razyka

Mendedikasikan diri untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada tulisan adalah janji yang harus dibayar sepanjang hayat ini....

Selengkapnya
Navigasi Web
Rangkul Kasih Perempuan Tanpa Rahim, Bagian 1

Rangkul Kasih Perempuan Tanpa Rahim, Bagian 1

Andini menghentikan langkah dan terdiam sejenak di teras rumahnya, di depan pagar yang masih tertutup. Sesaat, ia membiarkan dirinya terhipnotis oleh suasana malam yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Angin malam berembus pelan membawa aroma dedaunan. Tanpa perlu berpikir, Andini mengembangkan senyum. Lebar. Seakan tidak ingin membiarkan udara yang terasa segar itu tersia-sia begitu saja, Andini menarik napas dalam-dalam, mengisi penuh paru-parunya.

Ini adalah Ramadan pertama untuknya di tempat ini. Sebuah desa di sebuah kecamatan yang terletak di pinggiran kota. Desa ini bukan desa terpencil, karena meskipun terletak di pinggiran dan berbatasan dengan kabupaten tetangganya, desa ini merupakan bagian dari salah satu kota yang cukup besar di Indonesia. Namun meskipun begitu, desa ini seperti dunia yang terpisah dari dunia yang dikenal Andini yang merupakan kelahiran asli kota.

Pertama kali ia datang ke desa ini, Andini berkali-kali harus mengecek ulang posisi GPS-nya karena kesulitan menemukan arah setelah keluar dari jalan raya. Ia yang membawa mobil–kenang-kenangan yang dimohonkan mantan suaminya untuk ia pakai–akhirnya menyerah. Meninggalkan kendaraan roda empat itu di pinggir jalan raya dan memilih menaiki ojek untuk menuju rumah Kepala Desa. Itu karena jalan di desa ini sulit dilalui oleh mobil sedan berpostur rendah meskipun itu adalah sebuah mobil dengan merek ternama.

Andini ingat, dulu Mas Beni menghabiskan uang setidaknya lima ratus juta untuk membelinya meskipun itu adalah sebuah mobil second hand. Itu adalah salah satu faktor yang membuat Andini sebenarnya enggan menerima mobil tersebut. Kendaraan itu terlalu mewah untuknya. Dengan harga sebesar itu, Andini tahu ia akan kesulitan membayar pajak tahunannya. Belum lagi surat kepemilikan mobil tersebut masih atas nama Mas Beni. Dalam pandangan orang lain, ia mungkin disebut beruntung telah mendapat bagian yang cukup besar dalam pembagian harta gono gini. Akan tetapi bagi Andini, mobil tersebut adalah belenggu yang ingin ia putuskan. Berpisah dengan baik-baik … bukan berarti perpisahan itu tidak menyakitkan. Dan Andini tidak ingin terus terhubung dengan hal-hal itu.

Siapa sangka, penempatan Andini sebagai guru P3K di desa menjadi sebuah jalan keluar. Kondisi jalan desa menjadi sebuah alasan yang masuk akal bagi Andini untuk kemudian memulangkan mobil tersebut kepada Mas Beni. Andini merasa lega. Ia kini bisa menegakkan kepalanya di hadapan mertuanya dan istri Mas Beni yang tidak membiarkannya bicara berdua saja dengan Mas Beni.

Angin malam yang lebih keras dari sebelumnya, menerpa wajah Andini, menyadarkannya dari lamunan. Andini mendongak. Angin barusan terasa dingin dan lembap. Apakah akan turun hujan?

Andini tak menemukan bulan di langit yang gelap. Namun taburan bintang seakan memberi pertanda dengan kerlipannya, malam ini tidak akan hujan, jadi pergilah, tunaikanlah ibadahmu dengan tenang.

Gang kecil di depan rumah Andini juga mulai ramai. Dua tiga remaja, berjalan menuju arah yang sama. Beberapa remaja putri telah mengenakan mukena mereka dan beberapa yang lain berjalan dengan mendekap perlengkapan salat di dada mereka.

“Bu Dini! Assalamu’alaikum!” Seorang remaja laki-laki yang bertubuh kurus menyebut nama Andini sebelum mengucapkan salam. Ia dan seorang temannya mendekat ke arah Andini.

“Wa’alaikumsalam. Oh, Halim?” Andini baru bisa mengenali anak yang berkulit agak gelap itu setelah jarak antara mereka hanya beberapa langkah. Halim adalah salah satu siswa kelas 8 yang ia didik.

Halim mengangguk sambil cengengesan. Sementara temannya terlihat mengusilinya karena wajah Halim pasti tak terlihat jelas saat malam. Namun Halim tak menanggapi gurauan temannya dengan kekesalan atau kemarahan, ia malah tertawa sambil garuk-garuk kepala. Andini mengembangkan senyum melihat kepolosan keduanya. Anak-anak ini, tumbuh dengan minim pengaruh gadget dan medsos karena sinyal yang memang kurang lancar di desa ini. Belum lagi ponsel adalah termasuk salah satu barang mahal bagi mereka yang rata-rata bekerja sebagai petani kecil. Namun hal itu mendorong anak-anak ini jadi lebih sering menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar bersama dan memperkuat hubungan pertemanan mereka. Begitu pula dengan kepercayaan. Sedikit ejekan antar mereka tidak dimaksudkan sebagai bentuk bullying melainkan hanya candaan belaka.

Namun Andini tahu, bahwa sebagai pendidik ia berkewajiban untuk mengoreksinya, agar anak-anak mengerti. Bagaimana bila nanti mereka keluar desa dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih sensitif? Candaan mereka akan menjadi sebuah luka di hati yang lainnya.

“Rizki, tidak baik bercanda mengenai fisik temanmu. Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Andini mengutip ayat ke empat dari surah At-Tin. Sebuah ayat yang menjadi kekuatan bagi Andini.

“Iya, Bu. Maaf.” Rizki menunduk.

“Jangan diulangi lagi ya, Nak.” Andini memperlembut nada suaranya agar Rizki tidak berkecil hati dan jadi lebih bisa menerima nasihatnya. “Kalian mau Tarawih?” tanya Andini sekalian mengalihkan pembicaraan. Andini memang tidak suka menyudutkan anak. Ia berprinsip memperbaiki sesuatu apalagi kebiasaan, sikap maupun karakter, tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru apalagi dengan sikap menghakimi. Ia ingin, anak-anak tidak memandangnya hanya sebagai pendidik melainkan juga sebagai teman, sebagai orang dewasa yang nyaman untuk diajak bicara.

Halim dan Rizki serentak mengangguk. “Iya, Bu. Apalagi ini tarawih pertama. Biasanya ada ustad dari kota ngasih ceramah.” Rizki menjelaskan kebiasaan desanya tanpa diminta.

“Wah, benarkah?” Andini jadi bersemangat.

“Ibu mau Tarawih juga, kan? Yuk sama-sama, Bu!” ajak Halim.

“Ayuuklah.” Andini menggeser pintu pagar sehingga ia bisa melewatinya. Ia lalu kembali menutup dan menguncinya. Di desa ini, ia tinggal sendirian, menyewa sebuah rumah kecil. Dan sebagaimana rumah-rumah lain di desa ini, jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sedikit berjauhan. Andini tidak ingin memberi celah bagi orang lain melakukan kejahatan. Bukankah kejahatan juga ada karena adanya kesempatan?

“Lain kali biar kami jemput Ibu. Jadi biar kami kawal Ibu ke masjid,” cetus Halim lagi.

“Iya, Bu. Bahaya kan kalau Ibu jalan sendirian gelap-gelap begini,” timpal Rizki.

“Bahaya?” Andini menatap tak mengerti pada kedua remaja yang ada di sisi kirinya itu.

“Iyalah, Bu. Ibu kan … cantik. Gimana kalau diculik orang.” Suara Halim terdengar malu-malu.

Andini tertawa kecil sembari geleng-geleng kepala. Kedua remaja ini ada-ada saja.

Tanpa terasa, mereka tiba di halaman masjid. Tidak terlalu jauh sebenarnya dari tempat tinggal Andini. Namun dengan penerangan yang minim dan harus melewati lahan jagung, Andini mengakui bahwa ditemani oleh Rizki dan Halim sangat membantunya. Andini pasti akan merasa was-was bila ia jalan sendirian.

“Assalamu’alaikum Bu Dini.” Sebuah suara berat muncul dari arah belakang.

Andini sontak berbalik. Ia tersenyum sambil membalas salam Kepala Desa yang entah sejak kapan sudah ada di belakangnya. Kepala desa tak sendirian. Ia bersama seorang wanita bertubuh gemuk yang menggamitnya erat. Wanita itu adalah istri Kepala desa yang entah kenapa tidak pernah ramah kepadanya sejak mereka pertama bertemu. Andini hanya menghela napas panjang melihat Kepala desa terlihat hampir terjungkal mengikuti langkah kaki istrinya yang dipercepat tiba-tiba.

Namun Andini tidak sempat berlama-lama memikirkan hal yang kurang menyenangkan itu. Sebuah ojek berhenti tepat di depannya dengan membawa seorang penumpang yang tampak tidak asing di mata Andini.

Refleks, Andini mundur beberapa langkah.

–Bersambung–

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post