Kusmiyati

Guru Bahasa Inggris SMP NEGERI 1 Banyubiru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Mendung di Hati Desi
Hari ke-23

Mendung di Hati Desi

#TantanganGurusiana

Tantangan Menulis Hari ke-23

**Mendung di Hati Desi**(part 1)

Hati Desi sangat senang sore ini. Untuk pertama kali dia akan ikut kakak-kakaknya sholat di masjid Desa. Biasanya Desi, yang baru kelas 1 SD itu, sholat di rumah karena kakaknya tidak mau repot mengajak dia yang tidak bisa diam.

Disiapkannya mukena kecilnya yang hanya satu-satunya itu beserta sajadah merah marunnya. Dia sudah menunggu 2 kakaknya yang masih bersiap-siap di kamar. Ayahnya sudah berjalan duluan menuju ke masjid.

“Allohu Akbar Allohu Akbar, Allohu Akbar Allohu Akbar, Asyhadu ala Illa ha Illalloh....”

Adzan magrib sudah berkumandang, Desi beserta 2 kakaknya berjalan bersama menuju masjid. Sampai di masjid ruang untuk jamaah wanita sudah hampir penuh. Desi menggelar sajadah di shaft terakhir, berjejer dengan 2 kakaknya. Muadzin sudah melantunkan iqamah. Jamaah berdiri merapatkan shaft bersiap untuk sholat magrib. Seorang imam memimpin jamaah sholat magrib tapi Desi kecil tak bisa melihat karena terhalang kain gorden pembatas. Sholat magrib hampir usai, Desi sedang khusyuk menghafal doa tahiyat akhir ketika tiba-tiba ada suara berat dari ruang jamaah laki-laki.

“ahggggg”

Dan tiba-tiba tanpa menyelesaikan sholatnya, 2 kakak Desi melepas mukena dan mengambil sajadh lalu menarik tangan Desi untuk mengikuti mereka keluar masjid. Desi kelihatan bingung, dia hanya menuruti mbak Jana dan mbak Lia, 2 kakaknya yang setengah berlari pulang ke rumah. Desi bahkan tak sempat melepas mukenah atasnya. Dia tak tahu apa yang terjadi. Dia hanya terus berpikir, “sholat magribnya belum selesai, apakah dia harus mengulang dari awal lagi?”

Sesampainya di rumah, 2 kakaknya masuk kamar dan mengulangi sholat magrib mereka sambil terisak-isak. Desi mengikuti gerakan sholat mereka. Tapi dia tetap tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Lalu didengarnya suara beberapa orang ramai di depan rumahnya.

“Bu Muhdi, Bu Muhdi, Assalamu’alaikum.”

“Waalaikumsalam” Desi mendengar suara Ibunya membalas salam dari kamar. Ibu sudah selesai sholat rupanya, batin Desi. Bu Muhdi tergopoh-gopoh keluar membukakan pintu. Begitu dilihat 2 orang tetangga menggandeng tangan Pak Muhdi, ibu Desi langsung tahu apa yang baru saja terjadi.

“Matur nuwun nggih Pak Edo, Pak Hari, sudah mengantar Bapak pulang” kata Bu muhdi sambil menggandeng suaminya masuk rumah. Pak Edi dan Pak Hari tersenyum lalu berpamitan.

“Bapak kenapa Bu?’ tanya Desi kepada ibunya. Dilihatnya kening Bapaknya yang sedikit berdarah. Bapak kelihatan bingung. Beliau Cuma duduk diam di kursi. Ibu Desi juga diam tak menjawab pertanyaan Desi yang membuatnya semakin penasaran. Ibu lalu masuk ke dalam. Beliau menyiapkan makan malam. Mbak Jana dan Mbak Lia belum keluar dari kamar. Desi akhirnya ikut diam. Dia mencoba menghubung-hubungkan peristiwa petang itu dengan beberapa peristiwa yang akhir-akhir ini sering terjadi. Tapi umurnya yang baru 7 tahun membuatnya tetap belum bisa mengerti. Desi melihat Bapaknya berjalan gontai masuk kamar.

Pagi harinya Desi berangkat sekolah seperti biasa. Mbak Jana dan Mbak Lia sudah berangkat lebih pagi. Mbak Jana sekolah di SMK dan Mbak Lia di SMP. Karena sekolah mereka jauh maka mereka berangkat lebih dulu. Sedagkan Desi yang masih SD berangkat sendiri karena sekolahnya dekat. Seperti biasa Desi berangkat bareng 2 temannya yang rumahnya berdekatan. Tiap pagi mereka, Ninik dan Heni, pasti mampir dulu ke rumah Desi. Kadang mereka diajak sarapan di rumah Desi karena Ibu Desi punya warung kecil di depan rumah yang tiap pagi juga berjualan aneka makanan dari bubur ayam, nasi kuning, lauk, dan makanan ringan. Siang sampai malam warung itu tetap buka tapi hanya menjual kebutuhan sehari-hari. Warungnya memang tidak besar tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pak Muhdi. Pak Muhdi sendiri sudah tidak bekerja sejak 2 tahun terakhir. Desi tidak tahu kenapa Bapaknya tidak lagi bekerja. Yang dia tahu ketika dia belum sekolah Bapaknya pernah jatuh ketika kerja. Dulunya Pak Muhdi bekerja di sebuah kantor sebagai tukang kebun. Sejak jatuh dan opname Pak Muhdi pensiun dini dan mendapat sedikit uang pensiun. Tanpa kerja keras ibunya yang punya warung, mungkin ekonomi keluarga Desi terseok-seok.

“Ibu, Desi berangkat sekolah dulu ya”, Pamit Desi pada ibunya ketika si Ninik dan Heni sudah nongol di depan warung ibunya.

“Ya, hati-hati kalo jalan, tuh ambil uang saku di laci”, Bu Muhdi menunjuk ke laci meja tempat uang dagangan sambil terus menggoreng mendoan yang belum mateng.

Desi membuka laci lalu mengambil selembar coklat dan berlari keluar.

“Assalamualaikum, Bu” serempak dia dan 2 temannya mengucap salam pada Bu Muhdi yang masih sibuk melayani pembeli sambil menggoreng.

Pak Muhdi tidak kelihatan di depan warung pagi itu. Selepas sholat subuh tadi beliau terus berada di kamarnya. Pagi itu Pak Muhdi tidak sholat subuh berjamaah di Masjid.

Sepulang sekolah Desi main ke rumah tetangganya. Dia sibuk bermain boneka bersama si Ira anak tetangga sebelah. Ira sudah kelas 4 SD tapi masih suka main dengannya. Sembari bermain, Ira bertanya kepada Desi, “Des, Bapakmu sakit ya?”

“Ah enggak” jawab Desi sambil terus memainkan boneka kelinci di tangannya.

Pluk...pluk...pluk, dia menggerak-gerakkan boneka itu seperti kelinci yang sedang melompat-lompat.

“Iya, sakit. Kemarin pas sholat di masjid kan jatuh.” Ira masih menyambung pembicaraan.

“Apa iya? Aku gak tau. Kemarin sebelum selesai sholat aku diajak pulang sama Mbak Jana dan Mbak Lia. Kok Mbak Ira tau kalau Bapak Desi sakit?” Tanya Desi sambil serius menatap Ira.

“Mbak kamu tuh malu punya Bapak yang sakit kayak gitu makanya cepet-cepet pulang pas Bapakmu jatuh” Ira menimpali dengan wajah yang serius pula.

“Emang Bapakku sakit apa mbak? Dan kenapa kakak-kakakku malu?” Desi semakin penasaran.

“Ah tanya sendiri ke Mbak Jana dan Mbak Lia saja. Aku takut nanti kena marah ibuku karena ngomongin soal penyakit bapakmu. Kata Ibuku gak baik ngomongin itu”, sahut Ira.

Desi Cuma diam, dia mencoba memahami perkataan Ira. Tapi dia tetap saja bingung.

Sepulangnya ke rumah Desi mencari-cari kakaknya. Tapi karena belum jam 2 kedua kakaknya belum pulang sekolah. Desi kemudian mencari ibunya di dapur. Bu Muhdi tampak sedang asyik menyiapkan dagangan untuk besok pagi. Beliau sedang mengulek bumbu-bumbu yang akan digunakan untuk memasak besok. Tangannya sigap meracik berbagai rempah di atas sebuah cobek besar kemudian menggilasnya dengan ulegan batu besar. Cepat sekali bumbu-bumbu itu menjadi bumbu ulek halus. Kemudian bumbu halus tadi dikeruk menggunakan spatula dan disimpan di mangkuk kecil. Begitu terus bergantian hingga ada 5 jenis bumbu halus yang berbeda tersaji. Kemudian disimpan semua ke dalam kulkas kecil untuk digunakan besok pagi.

“Bu, apa benar Bapak sakit?” Desi bertanya sambil duduk di depan ibunya yang asyik mengupas wortel.

Bu Muhdi melihat Desi sekilas, lalu tetap melanjutkan pekerjaannya.

“Siapa yang bilang begitu?”, tanya ibunya.

“Mbak Ira, katanya kemarin pas di masjid itu Bapak jatuh, benar gak bu?” Desi bertanya lagi.

“Ah kamu masih kecil, belum tau apa-apa, yang penting kamu sekolah belajar yang pinter biar besok bisa sukses dan membantu ibu kalau ibu sudah tua”, Bu Muhdi menjawab dengan datar.

“Nggih bu,” Desi tak mau ngeyel dia berlalu dari hadapan ibunya.

Desi lalu berjalan menuju kamar Bapaknya. Hanya suara radio yang terdengar dari kamar itu. Desi tidak berani mengganggu Bapaknya. Diambilnya majalah lalu rebahan di kursi sambil membaca buku. Dia berharap Mbak Jana dan Mbak Lia segera pulang. Dia ingin bertanya perihal kejadian di masjid semalam. Aih, lama betul waktu berlalu. Tak sabar dia melihat ke arah jam dinding di ruang tamu kecil itu. Lama-lama matanya tak bisa melihat angka-angka di jam itu dengan jelas. Dia tertidur di kursi.

“Assalamu’alaikum”, suara Jana membuat Desi terkejut dan terbangun dari tidur siangnya.

“Wa’alaikumsalam, eh mbak Jana dah pulang, capek Desi nungguin dari tadi tau”, suara Desi langsung menyambut Jana yang sedang melepas sepatunya di depan pintu rumah.

“Emang kenapa kamu nungguin mbak?” tanya Jana sambil berlalu masuk ke rumah.

“Desi mau tanya sesuatu”, jawab Desi sambil mengikuti Jana.

“Tanya apaan sih Des, mbak Jana capek, laper nih”

“Ya udah Mbak Jana makan dulu sana, Desi tungguin deh,” Desi terus membuntuti Jana yang berjalan ke dapur.

Desi memperhatikan Jana yang tanpa melepas seragam langsung cuci tangan dan mengambil makan di meja dapur. Tampaknya dia benar-benar lapar.

“Kok Mbak Jana gak pulang bareng Mbak Lia?” tanya Desi.

“Kan sekolah kita emang gak bareng, kalau pas kebetulan ketemu di angkot ya bisa bareng, kalau pas enggak ketemu ya begini, sendiri-sendiri, kamu mau tanya apa sih? Dari tadi ngikutin mbak terus”, Jana makan sambil melihat wajah adik bungsunya itu.

“Tadi Desi main ke rumah mbak Ira, katanya kemarin Bapak jatuh pas sholat di masjid, katanya juga mbak Jana sama Mbak Lia tuh malu dengan penyakit Bapak makanya kemarin ngajak Desi pulang padahal belum selesai sholatnya, benar gitu mbak? Emang Bapak sakit apa sih mbak?” tanya Desi dengan nada polos pada Jana.

Jana yang sedang asyik makan tiba-tiba menaruh sendoknya, dia menatap wajah adik kecilnya, kemudian menghela nafas pelan. Dia bingung mau ngomong apa kepada Desi. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Desi yang mungkin belum paham kondisi Bapaknya sejak 2 tahun yang lalu.

“Ah, kamu masih kecil Des, nggak bakal ngerti juga kalau mbak jelasin” jawaban itu yang akhirnya keluar dari mulut Jana. Dia meneruskan makan lagi.

“Lha emang Bapak sakit apa tho Mbak?” Desi masih penasaran.

“Sttt, udah sana tidur atau main lagi, ntar kamu juga bakal tau sendiri”, Jana menjawab dengan suara pelan sambil menaruh jarinya di depan mulut tanda Desi gak boleh keras-keras bicara.

Desi terlihat cemberut, dia mau protes lagi tapi Jana sudah menaruh jari tangannya ke atas bibir tanda Desi tidak boleh bicara lagi. Desi pun berangsut pergi. Dia semakin penasaran apa penyakit bapaknya.

Sudah hampir satu bulan sejak kejadian di masjid itu, Desi sudah tidak begitu perhatian lagi tentang apa yang terjadi. Biasa, anak kecil lebih suka sibuk bermain daripada memikirkan hal-hal yang belum tentu dia paham. Tapi sore itu ketika tiga anak gadis Pak Muhdi sedang asyik menonton televisi di ruang tengah, tiba-tiba dari ruang tamu terdengar suara yang sama dengan suara yang Desi dengar di masjid sebulan yang lalu.

“Arggggg”, diikuti suara seperti kursi terjatuh, gedubrag.

Bu Muhdi yang sedang ada di dapur segera berlari ke depan tanpa berkata apapun. Beliau langsung menutup pintu rumah rapat-rapat. Jana dan Lia segera mematikan TV dan masuk kamar sambil terlihat menangis. Desi tampak bingung, dia hampir melangkah ke ruang depan tapi segera diseret oleh Jana untuk masuk ke kamar. Bu Muhdi masih berada di ruang depan. 10 menit berlalu, Bu Muhdi sudah masuk kembali ke dapur. Desi bersama 2 kakaknya masih di kamar. Desi tidak berani bertanya apapun karena melihat Jana dan Lia hanya menangis sesunggukan sambil mendekap bantal. Desi keluar kamar. Dibukanya pintu kamar pelan-pelan. Sebelum keluar dia tengok kanan kiri. Dia mencari ibunya di dapur. Bu Muhdi sudah sibuk menguleg bumbu-bumbu lagi. Tapi Desi melihat ibunya mengusap airmata yang menetes di pipinya. Dia juga tak berani bertanya apapun kepada ibunya. Desi melangkah ke ruang depan. Dilihatnya ayahnya rebahan di kursi. Meja kursi tampak berantakan. Beberapa majalah yang ada di meja juga berserakan. Pintu rumah masih tertutup. Desi kembali masuk ke kamar. Di dalam benaknya penuh tanya. “Ada apa ini? Apa yang barusan terjadi? Suara yang sama itu asalnya darimana?”

Esok harinya Desi bersiap sekolah. Kedua kakaknya sudah berangkat. Ibunya sedang sibuk di warung yang dipenuhi pembeli. Bapaknya tampak sudah rapi seperti mau pergi. Desi melihat pipi kanan bapaknya yang sedikit tergores. Tapi karena selama ini bapaknya memang pendiam, Desi tak biasa berkomunikasi dengan bapaknya. Sejak pensiun 2 tahun yang lalu Bapaknya menjadi lebih diam dan tak banyak bicara. Kegiatannya dari hari ke hari hanya membersihkan halaman depan dan mendengarkan radio. Dan hanya 1 jenis acara yang didengarkan yaitu wayang kulit.

Desi mengambil sarapan lalu makan di kursi yang ada di warung. Dia melihat dagangan ibunya tidak sebanyak biasanya. Dan pagi itu tinggal sedikit tersisa. Ibunya sudah membereskan semua sisa dagangan lalu menoleh pada Desi yang sedang makan.

“Des, nanti kalo kamu pulang sekolah main dulu ke rumah Ria ya. Ibu mau ngantar Bapak ke Rumah Sakit jadi pulangnya mungkin siang. Kunci rumah ibu titipkan ke Bu Lekah. Kalau kamu mau masuk rumah ambil kunci disana tapi kalau mau main saja ya tidak apa-apa.” Bu Muhdi berpesan pada Desi sambil berberes warung.

“Ya, bu. Bapak sakit lagi Bu?” tanya Desi pada ibunya. Ibunya Cuma mengangguk.

“Ini uang sakumu dan ini bekal makan siang nanti” kata Bu Muhdi sembari menyerahkan uang dan bekal makan siang kepada Desi.

Desi menerima uang saku dan bekalnya kemudian mencium tangan ibunya dan berpamitan. Dia masuk ke dalam rumah sebentar untuk berpamitan pada Bapaknya.

(Bersambung)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus Bu jadi penasaran

07 Feb
Balas

Terimakasih sudah membaca tulisan saya, Bu.

08 Feb

Mantab Bu... Ditunggu labnjutan ceritanya..

06 Feb
Balas

Terima kasih sudah singgah di sini, Bu.

07 Feb



search

New Post