Lailatul Qodriah

Guru Sekolah Dasar yang mencintai hujan dan senja. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sahabat Sejati

Airmata membuka semua cerita yang selama ini menjadi beban hidupmu.

"Itulah aku, patah dan luruh."

Suaramu melemah seusai bercerita tanpa jeda.

Kutelisik wajah sendumu. Ah, usiamu kian senja. Karir makin cemerlang. Kehidupan bagai raja penuh kemewahan. Apa lagi?

"Hatiku hampa ..."

Setetes airmata bergulir di sudut matamu.

"Hampa? Bukankah ada dia yang setia mendampingi sepanjang rentang usia? Bukankah engkau dilayani bak raja? Duhai, bahkan aku kagum dengan karirmu yang melesat bak meteor, dan engkau bilang hampa?"

Jemarimu mengetuk-ngetuk meja. Tak nyaman mendengar tanyaku.

"Memang ada dia disampingku, ada seribu pelayan menjadi khadimatku. Namun di sini ... di hati ini. Aku tak menemukan bahagia."

Kuraih telapak tangan kukuh itu. Menggenggamnya dengan hangat.

"Belajarlah bersyukur."

Matamu nanar menatapku.

"Kehampaanku jelas terpapar ketika dokter memvonisku tak akan mempunyai keturunan. Aku tak akan bisa membuahi wanita manapun."

Sesak rasanya menyaksikanmu menangis tanpa suara.

"Dan dia tak mempermasalahkan, bukan?"

Pertanyaanku dijawab olehmu dengan menggelengkan kepala.

"Tak sekalimatpun ia pernah berkata menyesal karena tak memiliki anak. Tapi aku? Ah, seandainya engkau jadi aku, bisakah engkau menepuk dada sebagai lelaki ketika kemandulan itu nyata ada pada dirimu?"

Ah engkau, lelaki bermata tajam itu berkeluh kesah penuh amarah dalam tenang.

"Engkau lupa rupanya. Ketika Tuhan menciptakan sesuatu pastilah ciptaan-Nya sudah pada takaran yang pas. Tidak kurang dan tidak lebih."

Kutatap hangat mata yang telah menulusuri hatiku berbelas tahun.

"Tak akan sempurna manusia hidup di dunia. Itu sudah fitrah. Karena sesungguhnya Tuhanlah Yang Maha Sempurna. Dengarlah, satu yang kupesankan padamu, banyaklah bersyukur dan ikhlas atas Ketetapan-Nya."

Sejurus wajahmu terpekur. Sekilas kulirik binar matamu. Ah, masih tetap sama. Penuh rasa.

"Termasuk mengikhlaskan bahwa engkau tak akan dapat kumiliki. Segigih apapun aku memisahkan ikatan pernikahanmu dan kekasihmu itu!"

Suaramu terdengar putus asa. Aku tersenyum kecil sebelum menjawab.

"Pada keadaan itu, tahukah engkau bahwa aku belajar ikhlas kalau kita tak berjodoh?"

Ya, tak akan pernah kulupa padamu, wahai lelaki pertama yang mengajarkanku tentang rasa rindu dan cinta. Kekasih yang tak pernah dapat kumiliki.

Kujabat tanganmu erat. Tangan itu membalas tak kalah hangat.

"Tetaplah menjadi sahabatku karena akulah yang paling mengerti dirimu."

Kalimat terakhirku membuat matamu kian menerawang jauh.

Senja menapak diantara bayang lembayung. Membawaku pergi dari hadapan lelaki yang masih mengharap cintaku diantara puing-puing retak hati.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih aprsiasinya bu Rita Indarwati. Salam literasi

17 Nov
Balas

Terimakasih aprsiasinya bu Rini Yuliati. Terkadang cinta memang begitu. Salam literasi

17 Nov
Balas

Terimakasih ibu Budi wasasih. Salam kenal jua.

25 Nov
Balas

Sangat menyentuh, sukses selalu. Salam literasi.

16 Nov
Balas

Seperti itulah fatamorgana cinta....salam literasi dan salam kenal...

16 Nov
Balas

Menyentuh hati... Salam kenal, Bu... Sukses sllu

23 Nov
Balas



search

New Post