Lailla NQ

Seorang pengajar di SD N 1 Kranji Purwokerto. Senang berteman dan belajar banyak hal. Sedang berproses mematangkan kemampuan menulis di gurusiana. Berbagi manfa...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tutup Botol Yang Seram Hari ke-80

Seperti biasa, setiap jam pulang, depan sekolahku sangat ramai. Jalanan macet. Lalu lalang kendaraan beradu dengan padatnya pedagang yang memakan bahu jalan. Siswa berhamburan keluar, orang tua datang dan pergi menjemput anak kesayangan.

“Loh, Mas Farel, kenapa kamu, Mas?, kok belum pulang?” tanyaku.

Kudapati ia mondar – mandir sambil menangis di depan pagar sekolah.

“Kamu belum dijemput?”

Ia hanya menggeleng.

“Yasudah, biar ibu telpon ibumu, ya?”

Tangisnya tambah kencang.

“Loh, kenapa?, biar kamu cepat pulang.”

Kali ini semakin kencang.

“Jangan, Buuuu!” Bulir air mata itu semakin deras. Aku tak bisa hanya diam.

Aku dekati Farel. Tubuhnya yang kecil cukup kurengkuh dengan kedua tanganku.

Ia masih kelas tiga, anaknya pintar. Selalu berani setiap aku suruh maju di depan kelas.

“Sayang, dengar ibu, ya. Kasih tahu ibu, kenapa kamu menangis?”

Ia menunduk. Seperti ragu ingin menjawab atau memilih diam.

“Aku takut, Buu.”

“Takut?”

“Iya. Saya takut pulang”

“Memangnya kenapa?”

“Aku takut Ibuku marah”

“Loh, memangnya kenapa ibumu marah?”

“Tutup botolku hilang, Bu”

Tangisnya pecah lagi, menatapku seolah ingin menjelaskan bahwa ia benar-benar takut.

“Oalah, Cuma tutup botol, to, Mas” aku tersenyum, hanya tutup saja, batinku. Kukira apa.

“Soalnya itu tutup botol Tupperware, Bu. Ibuku pasti marah. Aku tidak mau dimarahi lagi”

Gubrakkk. Mendengar jawaban itu aku terhela. So Sad.

Aku ajak Farel kembali masuk ke sekolah, mereka ulang adegan jalan kakinya sejak dari ruang kelas. Terakhir dia masih sempat minum saat ia berkemas. Aku meminta farel untuk mengingat-ingat di mana saja tadi ia berhenti, barangkali saja saat dia berjalan , ia sempat melihat sampah dan memungutnya. Saat memungut itulah tutup botolnya terjatuh.

“Coba kamu ingat-ingat lagi, Mas” sambil terus mataku ikut mencari-cari.

“Saya nggak kemana-mana, Bu.”

Hampir saja ikut putus asa, kasihannya dia jika sampai tutup ini tidak ditemukan. Aku harus menyelamatkan harinya.

“Bu!, ini tutup botolnya, Buu!, ketemu! Sudah ketemu, Bu!

Raut wajahnya mendadak sumringah. Ia langsung menyeka air matanya. Dengan sisa senggukan yang masih bisa kulihat.

“Alhamdulillah. Yuk, sekarang Ibu antar kamu pulang. Ibumu pasti sudah menunggu.”

Aku meminta Farel menunggu di depan pintu ruang guru. Sementara aku mengemasi perlengkapan mengajarku yang masih berserakan.

“Ayo, Nak. Kita pulang.”

“Baik, Bu”

Senang aku melihat Farel sudah bisa tersenyum. Ia tak banyak bicara lagi. Kubiarkan saja dia menikmati happy ending petualangannya tadi.

“Rumah kamu yang pagar hitam itu, kan?”

“Iya, Bu, yang itu.”

Kami sudah sampai. Aku antar farel sampai ke depan rumah. Tidak ada yang aku kataan dengan ibunya selain berpamitan dan mengatakan farel terlambat karena masih ada tugas tambahan. Aku berbohong, sesuai permintaan Farel.

“Saya pamit dulu, Buk.”

“Oiya, Bu Lala, terima kasih.”

Siang semakin terik, aku melaju dengan sedikit buru-buru. Sejujurnya saat mengantar Farel tadi, ada perasaan salah yang luar biasa dalam diriku. Tempo hari aku melakukan hal yang sama pada Fatih, anakku.

Saat dia tak sengaja memecahkan keramik kesayanganku. Aku marah besar. Sebelum aku sempat memarahi Fatih. Fatih sudah pergi tanpa berpamitan. Masih beruntung ia mau pulang setelah ayahnya menjemput.

“Ibu harusnya jangan marah seperti itu, kasihan Fatih ketakutan” suamiku mengingatkan.

Tiba-tiba aku terbayang pecahan-pecahan keramik itu. Sekarang di pikiranku terlihat seperti pecahan hati fatih anakku. Yang setiap kepingnya berisi rasa takut. Takut pada ibunya sendiri.

Sampai rumah aku langsung mencari Fatih, di ruang tamu tidak ada. Di kamarnya juga tidak ada.

“Dor!, Haaaa, Ibu kaget, ya?” Fatih mengagetkanku.

Ku peluk tubuhnya, ku dekap erat-erat tanpa kata-kata. Hanya hatiku yang dipenuhi rasa bersalah dan permintaan maaf yang tak henti-henti.

“Ibu sayang Fatih, nanti kita jalan, ya?”

“Iya, Bu. Mau-mau.”

Kulihat banyak malaikat kecil hari ini. Memberiku banyak pesan kebaikan. Mestinya memberi tempat ternyaman pada mereka semua. Barang kesayangan masih bisa dicari dan dibeli. Tapi hilangnya rasa nyaman dan rasa takut pada ibu sendiri, di manakah akan dicari pengganti?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap tulisannya, Bun. Ada pesan moral untuk para ibu. Jangan karena rusak barang jadi merusak hati dan perasaan anak. Karena hal ini akan tertanam dan tersimpan di hati anak hingga besar nanti.

08 Jun
Balas

Alhamdulilah, terima kasihhh supportnya bundaaa...

09 Jun

Bagus sekali tulisannya Bu..kita para Ibu mungkin sering melakukan keteledoran ini..Jadi ingat kisah imam Masjidil haram. Sumpah serapahnya karena marah diisi do'a hingga anaknya dewasa mendapati do'a ibunya dengan menjadi imam di Masjidil haram

08 Jun
Balas

Masya Allah, Bu Guswita...pasti kisah itu indah sekaliiii....saya harus lebih banyak membacaa

09 Jun

Bu Lala ... Haru saya bacanya . Tulisan ini enak dibaca. Mengalir indah , ringan tapi Mak jleb . Saya suka .. saya suka ..

08 Jun
Balas

Terima kasih apresiasinya, bundaaa...

09 Jun



search

New Post