Lasmiyati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bagaimana Nama Kita Nanti

Keinginan untuk dapat menjalani sesuatu yang menjadi keyakinan, ternyata lebih berat tantangannya. Apalagi kalau kita selalu membuka mata kita dan melihat sekeliling kita. Begitu banyak pengaruh dan arus yang membawa kita pada kondisi yang sebenarnya kita tahu bahwa itu salah. Namun kesalahan itu sendiri sudah menjadi sebuah tatanan yang disepakati bersama sebagai sebuah hukum sosial. Bila kita mengabaikannya, maka bersiaplah kita menyandang status sebagai orang yang menyalahi kelaziman dan kewajaran di masyarakat. Sebagai imbasnya, tunggu sanksi sosial yang akan dijatuhkan pada kita, baik berupa sanksi moril karena kita akan dicap sebagai orang yang tak lazim atau sanksi materil yang harus ditanggung karena kebutuhan kita pada keberadaan sistem tidak dilayani.

Sudah bukan RAHASIA lagi. Di sistem masyarakat kita berlaku simbiosis mutualisme dan selalu membentuk garis lurus. Setiap meminta sesuatu, tanda tangan atau surat misalnya, harus ada imbalan yang diselipkan, untuk kelancaran katanya. Slogan yang ditempel hanya hiasan, visi misi yang dibuat hanya pajangan. Penyuluhan yang diadakan hanya panggung sandiwara. Sulit dibedakan antara sedang berakting atau beraksi. Tujuan bersama yang hendak dicapai cukup dirumuskan dengan tahu sama tahu. Yang tak mau tahu, jangan harap bisa berjalan mulus untuk mencapai tujuan.

Lalu bagaimana nasib mereka yang memiliki keyakinan, mempelajari sistem sesuai yang tersurat dengan tersirat, menyadari tugas adalah kewajiban, mengetahui bahwa setiap jalan ada denah dan rambu-rambunya, dan setiap perbuatan ada akibatnya? Akankah mereka tersisih dan menyingkir? Cukup kuatkah mereka menghadapi sistim yang ada dalam sistem? Harus pesimiskah? Apakah petuah leluhur ”becik ketitik ala ketara” tak berlaku lagi di zaman modern ini?

Untuk memjawab semuanya, pepatah berikut kiranya tak akan lekang dimakan masa “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Semua tinggal kita mau meninggalkan nama yang bagaimana nanti, terserah kita. Satu yang pasti, semua yang kita tanam akan kita petik hasilnya. Satu biji bila tumbuh tak akan hanya menghasilkan satu biji pula. Bila kita menanam padi, kadang yang tumbuh rumput. Tapi jangan harap kita menanam rumput akan tumbuh padi.

Oleh karenanya, sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang sempurna kita diberi akal dan nafsu untuk kita gunakan. Dalam menggunakan keduanya manusia harus memiliki keyakinan yang akan membawanya kepada kemuliaan ataukah justru menjerumuskannya pada kehancuran namanya.

Semoga kita selalu berada dalam keyakinan yang menuntun kita dalam jalan terang, dan nama kita nantinya tetap bersinar baik di mata manusia maupun di mata Tuhan YME.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju, bagaimanapun nama kita mesti terukir indah di hati bukan di papan nama

20 Oct
Balas

Manusia msti meninggalkan nama, nama dalam tulisan bukan nama dalam batu nisan. Barakallah

20 Oct
Balas

Subhanallah..paparan yang sarat makna...

20 Oct
Balas



search

New Post