Lili Arliza

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Dilema jabat tangan

Dilema jabat tangan

DILEMA JABAT TANGAN #LA

Kalau kemarin banyak berseliweran tagar 2019 ganti ini ganti itu, aku sudah terlebih dahulu bikin tagar ganti. Ganti apa ya? Ganti performance. Tapi bukan di tahun 2019, melainkan di tahun 2018. Hehe. -----

Berkisah 20 tahun yang lalu... Begitu menamatkan bangku SMA, aku merantau ke ibu kota provinsi untuk melanjutkan studi S1. Gadis kampung yang berambut panjang tergerai merasa aneh melihat banyak perempuan berjilbab panjang dan berbaju longgar tersebar di mana-mana. Hahaha, seperti debu saja ya bertebaran di sana sini. Saat itu, berbagai pertanyaan merasuk dalam pikiranku. Apakah mereka tidak kepanasan? Apakah tidak mengganggu gerakan mereka? Apakah lelaki ada yang suka? Sepertinya aku belum paham. Walau aku gadis desa yang tidak berhijab, tapi sholat lima waktu dan sholat sunah serta puasa tidak pernah absen aku lakukan. Namun, entah mengapa saat itu hijab masih dipandang aneh di kampung kami karena kebanyakan perempuan belum berhijab tidak seperti saat ini. Pemahaman agama juga masih kurang. Teknologi masih belum canggih. Ceramah agama hanya sebatas di mesjid atau di musholla. Orangtuaku mengajari kami sholat, mengaji dan berbuat baik kepada sesama. Namun, untuk urusan hijab sepertinya tidak menjadi perhatian utama. Yang penting berpakaian sopan dan rapi. Saat itu jilbab hanya identik dengan wanita sholeha dan taat dengan ilmu agama yang cukup tinggi. Tapi, entahlah. Aku tidak mengerti. ------

Hampir seminggu menginap di rumah saudara, akhirnya aku mendapatkan tempat kost yang direkom oleh kakak tingkat abang kandungku. Rumah bulatan yang terdiri dari 17 kamar dan bertingkat dua yang biasa disebut dengan istilah pondokan. Sebelum masuk, aku sudah diberitahu oleh pengurus rumah akan aturan-aturan di sana. Ternyata kost-an ini adalah kost-an binaan mesjid. Dari 34 penghuninya, hanya 4 orang di antara kami yang belum mengenakan jilbab. Rata-rata kost-an di sekitar kampus memang mewajibkan penghuninya berjilbab, akan tetapi kost yang kutumpangi tidak mewajibkan berjilbab tetapi harus berpakaian rapi dan sopan. Dua tahun berlalu aku masih santai saja di kost, meski ada gap tapi tidak terlalu pengaruh bagiku. Bukan sekali atau dua kali aku dan teman-teman yang belum berjilbab disindir-sindir bahkan dipaksa untuk berjilbab. Tapi, semakin dipaksa semakin hatiku mengeras. Namun harus aku acungi jempol, pembiasaan islami di kost ini sangat luar biasa bagusnya. Kakak tingkat dari berbagai kampus dengan jilbab yang lebar terkadang memberi tausiah kepada kami, namun ada juga kakak tingkat yang masih membedakan suku, mereka hanya mau bergaul dengan penghuni kost yang berasal dari kota atau suku yang sama. But, it's not my business. Aku tetap menjadi mahasiswa yang baik di kampus dan penghuni yang mengikuti aturan di kost. ------

Tidak jarang, aku merasa heran dengan cara perempuan berjilbab lebar yang biasa disebut akhwat itu dalam berinteraksi. Menjemur pakaian di luar saja mereka pakai jilbab. Ada orangtua teman yang berkunjung mereka langsung menyambar jilbab. Bila ada teman kuliah mereka yang lelaki datang karena suatu keperluan, cara bertemu mereka juga aneh bin ajaib. Yang satu (akhwat) di dalam rumah, nempel di gorden jendela. Yang satunya lagi (ikhwan) berdiri di depan pintu. Jadinya mereka berbicara dibatasi dinding pemisah, hahaha. Ah, tidak ada sopannya dalam menyambut tamu. Begitu pikirku dahulu. Selanjutnya, bila yang ikhwannya datang bersama teman-teman yang lain, akhwat dari kost kami akan keluar dan berdiri di depan pintu. Mereka bicara tapi tidak ada kontak mata yang terjadi. Lagi-lagi aku merasa mereka aneh. Hobiku bersama kawan-kawan saat itu ya memata-matai mereka. Memperhatikan gerak-gerik mereka. Kami merasa lucu ada orang yang saling berbicara tapi tidak saling melihat, ah ada-ada saja. Setelah selesai bicara, nanti mereka akan saling menangkupkan kedua tangan di depan dada dan saling mengucapkan salam kemudian berlalu. Interaksi yang lucu. Aku jadi ingin ketawa, hahahaha. -----

Waktu berlalu...zaman semakin canggih. Internet sudah mudah di akses. Sosmed menguasai jagat raya. Rumah ibadah semakin gencar mengundang para da'i. Pengajian semakin marak di masyarakat awam. Youtube makin banyak menyajikan ceramah agama mulai dari da'i kelas bawah sampai kelas atas. Ceramah ustad yang lagi viral juga bisa dengan mudah kita tonton asal ada quota, ahah! Pengetahuan agama berangsur-angsur terserap dengan rapi oleh masyarakat. Tidak peduli tua atau muda. Jilbab sekarang menjadi kebutuhan banyak orang, mulai dari bayi sampai lansia, hehehe. Bagi yang betul-betul menyadari itu adalah kewajiban, maka sekali dipakai pantang untuk dibuka kecuali di hadapan mahram. Tapi, bagi yang ikut-ikutan, mungkin berjilbab hanya sebatas tren atau coba-coba. Namun, aku sudah memutuskan untuk berhijab setahun setelah wisuda. Murni dari hati kecilku sendiri. Dan sungguh, aku menyesal karena merasa terlambat. -----

Lingkungan tempat aku bekerja perlahan ikut berubah. Yang dulunya suka mengghibah sudah mulai bicara yang berfaedah. Yang dahulunya suka sok hebat, sekarang sudah mulai taat dan banyak yang taubat. Yang dahulunya berjilbab asal jilbab, sekarang sudah banyak yang benar-benar berjilbab sesuai syariat. Semua itu tidak lepas dari syiar agama yang meluas dan pengajian rutin yang diikuti.

Tiba suatu hari, hatiku seakan terketuk untuk mengenakan jilbab panjang. Keinginan itu semakin menjadi-jadi, tapi aku tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Ada rasa takut, malu karena pribadiku masih jauh dari kata taat atau sholehah. Aku masih sering emosional, masih suka becanda ngalor-ngidul rasanya tidak pantas menggunakan jilbab panjang takutnya nanti malu-maluin dan menjadi gunjingan orang lain pula. Namun, keinginan itu semakin menggila. Akhirnya kusampaikan kepada suami.

"Pah...mamah rasanya pengen kali pake jilbab syari. Boleh nggak, Pah?"

Suami menoleh ke arahku. Dadaku berdebar, takut suami tidak setuju. Karena jika sudah berjilbab panjang otomatis aku tidak terlihat seksi lagi. Kemarin sih, aku memang berjilbab. Menurutku asal kepala tertutup kerudung, meski bagian dada dan lekuk yang lain tetap masih terlihat it's okay. Ternyata aku salah. Sesungguhnya walau berjilbab tapi sejatinya masih telanjang. Astaghfirullah...aku jadi teringat firman Allah: "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.Al Ahzab[33]:59). Dan sesungguhnya, bagi perempuan baligh menutup aurat itu bukanlah pilihan akan tetapi kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Allah. Menutup aurat di sini jelas ada aturannya. Walau sholatnya bolong atau prilakunya krasak-krusuk, namun hijab adalah suatu keharusan. Jadi, tidak ada istilah "hijabkan dulu hatinya baru hijabkan auratnya." Astaghfirullah...

Suami tersenyum dan berkata, "Alhamdulillah...Papah senang dengarnya."

Akupun terharu, "Tapi nanti mamah nggak seksi lagi dong, Pah. Kalau ketemu sama teman-teman Papah gimana?"

Aku bertanya demikian karena yakin setiap suami pasti ingin istrinya terlihat cantik menawan terutama di hadapan banyak orang, karena di sana ada suatu kebanggaan yang sulit dijelaskan. Dalam pikiranku, jika sudah berhijab panjang sudah pasti semuanya tertutup, bagian yang indah semuanya akan tersembunyi. Namun jawaban suami justru semakin memantapkan hatiku.

"Ya baguslah, berarti ada angsuran yang baik," jawab suami masih dengan senyumannya yang menawan.

"Modalin ya, Pah?" Aku menunduk malu.

"Oke. Ayo berangkat." Suami menarik lenganku dan kami segera berburu gamis dan jilbab syari. Dan ternyata, hari itu kantong suamiku robek besar demi mengubah penampilanku, hahaha. ------

Setelah masalah penampilan, ternyata ada satu hal lagi yang menggelitik di hatiku. Ingatanku melayang waktu ngekost zaman kuliah dahulu. Masalah berjabat tangan. Sebagian besar akhwat di kost tidak mau berjabat tangan dengan pria bukan mahram. Sekarang baru aku betul-betul menyadari apa yang mereka lakukan itu memang sesuai dengan perintah agama. Dan entah mengapa, aku ingin sekali mengelak berjabat tangan dengan yang bukan mahram, walau ada rasa tidak enak di sudut hatiku. Karena ilmu agamaku masih secuil, akupun berkonsultasi dengan seorang rekan kerjaku yang pemahaman agamanya cukup baik. Mereka suami istri adalah ustad dan ustazah yang selalu mengisi pengajian. Jam terbang mereka juga sudah cukup tinggi. Dari sahabat inilah aku banyak mendapat ilmu. Setelah aku memutuskan untuk tidak berjabat tangan dengan yang bukan mahram, persoalan tidak menjadi selesai. Dalam keluarga kami yang awam soal agama, sikapku dianggap aneh, kurang sopan dan terlihat risih dengan jilbab yang kukenakan di dalam rumah. Padahal saat itu ada abang ipar, adik ipar dan sepupu laki-laki. Sungguh, aku merasa sangat bingung saat itu. Tapi, aku berusaha untuk tetap menjaga. Aku tidak mau juga dianggap sombong atau apa, namun aku menangkap rasa tidak nyaman dari beberapa anggota keluarga besar saat aku mengenakan jilbab di dalam rumah dan menghindar jabat tangan dengan beberapa di antara mereka. Namun perlahan mereka mulai memahami. Ini semua kulakukan bukan karena aku sok alim atau sok taat, semua ini hanya keinginan kecilku untuk menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan oleh agama dan usaha kecilku untuk meringankan beban suami di akhirat kelak karena sungguh aku menyayanginya karena Allah semata.

*End

*Trims admin sudah approve 🙂

*"Hidup itu berproses. Tidak mengapa jika engkau belum mampu menjadi pribadi yang sempurna, tapi yang terpenting adalah bagaimana engkau berproses menjadi pribadi yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Karena sejatinya, kesempurnaan itu hanyalah milik Ilahi Rabbi, Allah SWT.

Teruslah berproses ke arah yang lebih baik. Itu lebih mulia daripada engkau hanya menjadi pengamat dan penghujat tapi tak mampu untuk berbuat. Lenyapkan rasa malu atau takut dibully, segeralah berproses ke arah yang lebih baik. Selagi masih ada waktu, maka tak ada kata untuk terlambat." #self reminder.

Nb: Berikut penjelasan mahrom untuk laki-laki. Ketika laki-laki bersentuhan kulit dengannya tidak membatalkan wudhu dan juga tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut : حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم واخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الاخ وبنات الاخت Disebutkan oleh Allah SWT di dalam Al Qur an, ada tujuh mahrom bagi laki-laki yang mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki tersebut (hubungan darah) yaitu: 1. Ibu. Laki-laki bersentuhan kulit dengan ibu kita tidak membatalkan wudhu. 2. Albint (anak perempuan) 3. Alukht (saudara perempuan), kakak atau adik perempuan 4. Al’ammah (bibi atau saudara perempuan dari bapak) 5. Alkholah (bibi atau saudara perempuan dari ibu) 6. Bintul akh (anak perempuan dari saudara laki laki atau keponakan) 7. Bintul ukht (anak perempuan dari saudara perempuan atau keponakan).

Bagi perempuan, mahromnya kebalikannya, maka mahromnya perempuan adalah sebagai berikut: 1. Bapaknya 2. Anak laki-lakinya 3. Saudara laki-lakinya 4. Saudara laki-laki bapaknya (pamannya) 5. Saudara laki-laki ibunya (pamannya) 6. Ibnul akh (anak laki dari saudara laki-lakinya atau keponakan laki-laki) 7. Ibnul ukht (anak laki dari saudara perempuannya atau keponakan laki-laki).

*silakan krisannya, terimakasih 🙂

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post