Lili Arliza

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jangan Pernah Kau Duakan

Jangan Pernah Kau Duakan

Jangan Pernah Kau Duakan

(Tantangan Hari Ke-12)

#Tantangan Gurusiana

#LA

🌹🌼🌹🌼 Jika Allah berkehendak, tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini, dan dalam setiap kesulitan selalu ada kemudahan .... Yakinlah, Allah itu Maha Bijaksana dan akan memberikan apa yang kau minta tepat pada waktunya ..... 🌼🌹🌼🌹🌼

"Mak, Emak .... kapan ya kami bisa makan enak setiap hari seperti Caca dan Ria?" Aku yang waktu itu masih duduk di kelas 3 SD memandang lugu wajah Emak.

"InsyaAllah ada masanya, Nda," kata Emak sembari mengelus lembut rambutku.

Aku mengangguk dan terus mengamati sepupuku yang sedang makan ayam goreng dengan lahapnya.

Waktu itu kami sedang bertandang ke rumah Makcik Rosidah, adik Emak. Saat itu, kedua anak perempuannya yang kelas 1 SD dan TK Nol Besar sedang makan di ruang makan rumah mereka yang mewah.

Makcik Rosidah datang membawakan dua gelas teh manis hangat dan kue kering di dalam toples.

"Makanlah kuenya, Nanda." Makcik Rosidah tersenyum ke arahku.

Aku mengangguk dan tanpa menunggu respon dari Emak, aku langsung mencelup kue kering ke dalam teh manis dan menyuapkannya ke dalam mulut. Emak hanya melirik sejenak, kemudian larut dalam obrolan dengan adiknya.

---------- Emak delapan bersaudara. Tiga perempuan, lima laki-laki. Emak anak yang nomor tiga, sementara Makcik Rosidah anak nomor empat. Makcik Rosidah adalah adik Emak yang satu-satunya bekerja di kantor pemerintahan daerah yang membidangi kas daerah. Penghasilan bulanannya cukup besar, suaminya juga seorang pegawai dengan jabatan yang cukup tinggi. Sementara adik beradik Emak yang lainnya hanyalah pekerja serabutan asal cukup makan. Kehidupan keluarga Makcik Rosidah nampak sempurna di mataku. Anak-anaknya selalu berpenampilan layaknya anak orang berada. Gelang, kalung, anting dan cincin emas selalu menghiasi keempat puterinya. Pakaian mereka juga bagus-bagus, macam pakaian artis cilik jaman dulu. Sedangkan aku, hanya pakai anting kecil yang sudah hampir penuh dengan cuping telingaku yang tebal, dan pakaian yang kupakai juga sebagian besar hasil lungsuran dari kedua kakakku. Makcik Rosidah juga selalu membelikan anak-anaknya snack yang mahal-mahal, di mana aku sendiri tidak pernah memakannya. Melihat coklat silver queen yang lezat itu, aku hanya bisa menelan ludah. Kapanlah ya aku bisa makan coklat mahal dan enak macam itu?

Anak Makcik Rosidah yang paling besar sudah duduk di kelas II SMA, yang nomor dua jaraknya cukup jauh, duduk di kelas 4 SD. Anak nomor tiga kelas 1 SD dan yang nomor empat masih TK Nol Besar. Yang tiga terakhir ini selalu menjadi perhatianku, mungkin karena hampir sebaya. Aku sering menghayal berada di posisi mereka. Alangkah sedapnya. Mau apa, semua ada.

Makcik Rosidah sangat memanjakan keempat puterinya. Setiap tahun, acara ulangtahun anak-anaknya dirayakan dengan meriah. Aku hanya bisa ikut menyaksikan Emak membantu masak di dapur rumah Makcik Rosidah. Aku malu masuk ke ruangan karena bajuku tak sebagus baju anak yang lainnya.

Adik-beradik Emak yang lain cukup segan dengan Makcik Rosidah, karena walaupun orang berada Makcik Rosidah orangnya ramah, dia juga tak pernah lokek (pelit). Makcik selalu membantu adik-beradiknya yang kesusahan. Sehingga, kalau ada acara di rumah Makcik Rosidah, semua adik beradik Emak ikut turun gunung membantu. Pasti bukan membantu dengan menyumbangkan dana, tentulah dengan tulang empat kerat yang mereka punya.

Sementara, Ayahku hanyalah seorang pegawai rendahan yang mempunyai tekad kuat untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ayah pernah bilang, kami tidak boleh seperti Ayah dan Emak. Ayah hanya tamatan SMP, sedangkan Emak cuma tamat SD. Jadi kami harus sekolah paling tidak harus tamat SMA, dan Ayah selalu mengingatkan kami untuk tidak pernah meninggalkan sholat semacam apapun kondisinya. Ayah dan Emak termasuk orang yang taat dalam beribadah. Sholat tahajud dan dhuha tak pernah tinggal mereka kerjakan.

Alhamdulillah, kami berenam beradik dikaruniai Allah otak yang lumayan encer, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Abang kandungku yang nomor dua malah mendapat beasiswa dari salah satu perusahaan minyak di kampungku dan mendapat nilai tertinggi saat ujian akhir sekolah di tingkat kabupaten. Selanjutnya, meski terkais-kais dalam mencari rezeki, memanfaatkan waktu luang untuk berjualan kerupuk, es manis dan makanan ringan lainnya, Ayah dan Emak tetap memaksa Abang untuk melanjutkan kuliah di ibu kota provinsi. Padahal saat itu, abang sulung kami juga sudah kuliah di tingkat II. Banyak suara sumbang dari tetangga kiri kanan dengan keputusan Ayah dan Emak, tapi kedua orangtuaku tidak menghiraukan omongan mereka.

--------- Aku yang tomboy dengan rambut potong pendek sebatas telinga, berbadan bulat dan berkulit hitam selalu menjadi bahan olokan kawan-kawan. Kawan sepermainanku kebanyakan laki-laki. Aku bermain guli (kelereng), bermain bola gebok ( bola kasti yang dilempar ke badan lawan), panjat sana panjat sini, main salto-saltoan di semak-semak (jaman dulu masih aman, kejahatan masih sangat minim), main lompat harimau dan semua permainan lelaki kusukai. Namun, dengan begitu pelajaran di sekolahku tak pernah mengecewakan. Aku selalu rangking satu di kelas. Aku selalu tidak bisa membayangkan perjuangan Ayah dan Emak dalam menyekolahkan kami. Tiga abangku semua kuliah di ibukota. Ayah sering mewanti-wanti mereka untuk berhemat. Sedangkan kami bertiga cewek di bawahnya hanya bisa ikut mendoakan untuk kesuksesan abang-abang kami.

Waktu terus berjalan, aku mulai beranjak remaja. Perasaan malu sudah memenuhi ruang hati sehingga aku tak sudi lagi bermain dengan lelaki. Aku mulai banyak menghabiskan waktu di rumah. Belajar dan menyelesaikan pekerjaan Emak di dapur. Aku sering membantu Emak membungkus kerupuk, membuat es mambo dan kue kering lainnya untuk dititipkan di kantin-kantin sekolah atau kedai-kedai kecil dekat rumah kami.

Melihat prestasiku dalam belajar, membuat orangtuaku bersemangat untuk menyekolahkanku lebih tinggi. Waktu itu, kedua kakakku sudah menamatkan bangku SMA. Mereka tidak bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya disebabkan ketiga abang kami belum menyelesaikan studinya. Kami berenam beradik ini memang jarak usianya dekat-dekat, macam susun paku kalau orangtua-tua jaman dulu bilang. Hanya jarakku dengan kakak yang nomor lima yang agak jauh. Saat Kak Liana kelas 1 SMP, aku masih duduk di kelas 3 SD.

Masih kuingat, kedua kakak di atasku menaruh harapan besar pada adik bungsunya ini. Karena mereka melihat otakku yang lumayan cerdas, mereka sepakat untuk mendukung aku kuliah setamat SMA nanti.

Dua tahun berikutnya, abang sulungku yang sudah menyelesaikan S-1, mendapat pekerjaan sebagai tenaga honorer di salah satu kantor pelayanan masyarakat di kampung kami. Abang membantu biaya kuliah adiknya yang belum selesai. Begitulah, sampai kedua kakakkupun ada yang ikut kursus menjahit dan kursus komputer di kampung halaman kami dengan bantuan abang-abang dan uang hasil jerih payah orangtuaku siang malam mengucur keringat.

Suatu hari, saat aku duduk di kelas 1 SMA mengambil rapor dan rangking 1, Kak Nani, kakak nomor empat bilang padaku, "Nanda, kamu harus betul-betul belajar giat, ya. Kakak yakin kamu bisa mengangkat derajat keluarga kita. Kamu harus kuliah begitu tamat SMA nanti."

Aku tersenyum agak kecut. Aku mikir, uang dari mana lagi untuk kuliah? Ketiga abangku masih honor dan membantu kursus kakak. Sedang melihat Ayah dan Emak aku tak tega pula mau menyusahkan mereka.

"Dulu, kakak ingin betul kuliah. Tapi, otak kakak macam tak mampu. Tambah lagi, abang belum selesai. Kasian juga dengan Ayah dan Emak sibuk banting tulang. Jadilah, kakak tak usah melanjut kuliah. Cukup tamat SMA jadilah. Lagi pula, perempuan kalau sudah punya wajah yang cantik ... itu sudah setengah kaya. Semoga saja dapat jodoh orang baik dan berada." Kakak ketawa kecil dengan kalimat terakhirnya. Saat itu usia Kak Nani memasuki 21 tahun. Ia sibuk kursus sambil mengambil order jahitan.

Akupun ikutan tertawa. 'Tinggi betullah hayalan Kakak ni,' batinku.

--------- Abang kedua, Bang Rayhan karena kecerdasannya dan keaktifannya mengikuti informasi, begitu selesai kuliah langsung mendapat beasiswa untuk kuliah ke luar negeri, tepatnya di UKM Malaysia. Kabar menggembirakan sekaligus menyedihkan. Gembira, karena ada beasiswa yang siap memback-up, sedihnya di karenakan beasiswa akan cair jika sudah kuliah satu semester. Uang dari mana untuk mendapatkannya? Tapi Ayah dan Emak tak hilang akal. Saat bertatap muka dengan Bang Rayhan, Ayah langsung bicara.

"Lanjut, Rayhan. Ayah akan berusaha supaya kamu tetap bisa menyambung S-2, Ayah akan jual motor Ayah untuk biaya awal kamu di sana."

Bang Rayhan terdiam. Tak lama kemudian ia menggeleng.

"Jangan, Yah. Tak tertelan nasi sama Rayhan kalau sampai Ayah menjual motor. Tak apalah, Yah. Rayhan batal saja. Biar Rayhan cari kerja di sini sambil bantu-bantu Ayah."

"Jangan! Ayah masih sanggup. Ayah tahu betul macam mana kamu. Ayah yakin kamu tak akan mengecewakan Ayah. Lanjut, Rayhan. Ayah akan usahakan," kata Ayah dengan suara tegas.

Melihat semangat Ayah, Bang Rayhanpun tak kuasa untuk menolak.

Ternyata, diam-diam Ayah mencari pinjaman ke sana kemari. Emak juga meminjam sama Makcik Rosidah, namun Makcik Rosidah tak dapat meminjamkan sejumlah uang yang Emak inginkan. Makcik Rosidah hanya sanggup memberikan seperempatnya saja. Karena belum cukup, Ayah memberanikan diri meminjam kepada besannya. Mertua Abang sulung kami yang kebetulan orang berada. Abang sulung kami sudah menikah dua tahun setelah dia honor. Sehingga tidak bisa full membantu adik-adiknya karena ada tanggungjawab yang mesti ia laksanakan pada anak dan istrinya. Akan tetapi, perhatiannya pada kami tetap sama seperti masih bujangan. Tambah lagi, kakak iparku sangat baik. Kakak ipar tak pernah membatasi ruang untuk suaminya menjalin komunikasi dengan keluarga kami.

Syukur Alhamdulillah, besan Ayah sangat baik. Dia memberi pinjaman sehingga Bang Rayhan bisa berangkat ke Malaysia dan kuliah di sana.

--------- Bersambung .... Thanks admin sudah approve πŸ™πŸ½πŸŒΉπŸŒΌ

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makasi, Bunda. Barakallah....

28 Jan
Balas

Good ceritanya Bun

28 Jan
Balas



search

New Post