Lili Arliza

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Suami Cuek

Suami Cuek

#LA

221019. MERANTI.

Satriawan Aryasatya, namaku. Orang-orang memanggilku Satria. Usiaku mendekati kepala empat. Penampilanku keren, begitu kata mereka. Dengan tinggi 182cm, berkulit bersih dengan bibir pink, beralis mata hitam tebal dengan frame kaca mata bermerk semakin membuat penampilanku mempesona, begitu lagi kata mereka. Sementara bagiku, semua itu biasa saja. Penampilanku bisa begini, selain memang dari lahirnya begitu_tak lepas pula dari peran Melitha, istriku. Dia mengurusku dengan sangat baik.

Melitha, seorang perempuan biasa yang membuatku jatuh cinta luar biasa. Aku termasuk tipe lelaki pemalu di masa sekolah hingga duduk di bangku kuliah. Aku tidak pernah punya pacar. Bukan tidak pernah naksir pada perempuan, tapi entah kenapa rasa tidak percaya diri lebih membuatku diam dan menyembunyikan perasaanku. Aku memang dididik keras oleh kedua orangtua untuk lebih memprioritaskan pelajaran ketimbang pacaran. Hasilnya, aku sering menjadi bintang kelas sewaktu di sekolah dan mahasiswa cerdas kesayangan para dosen. Ah, sebenarnya dengan modal itu mudah saja bagiku untuk menarik perhatian para kembang sekolah atau kampus. Tapi sekali lagi, aku tidak punya keberanian. Sampai akhirnya di semester akhir kuliah aku bertemu dengan gadis polos dari kota lain yang kuliah di kampus sebelah. Kehadirannya membuat aku tak lena tidur dan tak kenyang makan. Tubuhnya mungil, tingginya kutaksir sekitar 153 cm. Penampilannya sangat feminim dengan rambut lurus dihiasi hidung mancung dan mata sedikit sipit. Kulitnya cerah, dan dia pemalu. Lima bulan mempelajari gerak-geriknya, dan memperhatikan tatapan matanya yang curi-curi pandang saat tak sengaja berpapasan, akhirnya aku memberanikan diri untuk berkenalan. Ah, entahlah, keberanian itu kuanggap suatu anugerah terindah dari Allah yang pada akhirnya menjadikan gadis itu sebagai jodohku. Setamat kuliah, aku bekerja selama 4 tahun dan segera melamarnya. Sudah aturan dari bapakku, untuk bekerja terlebih dahulu baru boleh menikah agar bisa memberi makan anak gadis orang yang dulunya hidup berkecukupan dengan orangtuanya. Setelah merasa cukup, akupun segera menjumpai calon mertua waktu itu. Melitha, dia perempuan setia dan sangat menghormatiku sebagai suaminya.

Tapi belakangan sikapnya rada aneh. Sejak aku pulang dari salah satu kota di Pulau Jawa untuk mengikuti training rutin yang dilaksanakan oleh perusahaan tempat aku bekerja, dia suka tiba-tiba cemberut, dan kadang-kadang suka mencari gara-gara untuk mengusik kesabaranku. Entah apa yang terjadi pada istriku itu.

Hari-hari berikutnya, aku pulang dari kantor disambut dengan wajah masam dan ketus. Saat kutanyai, ia hanya bilang nggak ada apa-apa. Oh, _my God...what's wrong with me_ ?

_______

"Sayang...malam ini kita makan di luar yuk?" Aku membelai rambut panjangnya begitu ia membuka mukena setelah kami sholat magrib berjamaah di kamar. Setelah menjemput anak-anak dari belajar tahfiz sore tadi, mereka sengaja kutitipkan di rumah orangtuaku, kebetulan tadi Opa Omanya menelepon sudah rindu berat sama keempat cucunya. Kesempatan ini harus kumanfaatkan sebaik mungkin. Aku harus tahu apa masalah yang membuat separuh nyawaku ini ibarat benangsari tertiup angin. Tak bisa kurengkuh dalam dekapku. Dia begitu dingin dan cuek.

"Tumben," jawabnya ketus.

Aku menarik nafas perlahan. "Mas salah apa sih, Sayang?"

"Mas itu cuek, cool. Litha nggak suka," jawabnya dengan nada suara yang entah mengapa jadi serak seperti menahan tangis. Ya Allah, sebegitu sedihnya istriku. Tapi aku masih belum mengerti arah jawabannya itu.

"Mas memang seperti ini, apa adanya seperti waktu kita pacaran dahulu." Aku mencoba mengingatkannya.

"Tapi, seharusnya Mas berubah. Sudah anak empat, tapi sama Litha masih saja cuek tak ketulungan."

"Cuek gimana sih, Sayang? Kalo cuek, mana mungkin bisa punya empat anak sekarang, bahkan Mas rencananya mau genapin biar selusin." Aku berusaha bergurau dan meraih bahunya, tapi ia mengelak dan duduk di tepi ranjang.

Aku mendekati.

"Waktu Mas ikut training, tak satupun WA Litha Mas balas. Kayaknya Mas senang jauh dari Litha. Apalagi fasilitas dari perusahaan yang serba mewah, membuat Mas lupa." Ia menunduk.

Astaga. Kejadian 2 minggu yang lalu juga dia bahas. Aku pikir sudah selesai. Eladalaaahhh...perempuan ini memang ahli sejarah, bisa memutar setiap peristiwa kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Aku tersenyum tipis.

"Sayaaang...bukankah masalahnya sudah selesai?"

"Tapi Litha masih kesal. Apalagi tadi, sewaktu Mas di kantor. Litha kirim WA, balasnya pakai lama. Kayak nggak penting saja Litha Mas buat."

"Aduh, Sayaaang...sensitif kalilah istri Mas ini. Lagi mau lampu merah, ya?" godaku.

Istriku mencebik. Saat ia mau beranjak ke meja rias, aku langsung menarik tangannya hingga ia terjatuh di pangkuanku. Rambut panjangnya menutupi sebagian wajahku, harum aromanya tentu saja membangkitkan hasrat kelelakianku, karena dia istriku. Ia memiringkan posisi tubuhnya dan menatapku dengan nafas tak beraturan. Aku balas menatapnya lembut. Ah sudahlah, rencana makan di luar malam ini harus gatot diganti dengan kencan istimewa di ranjang kami. Yang jelas, aku tidak memperkosanya, kami melakukan dengan rasa cinta dan suka sama suka. Astaga, aku bicara apa ini? Hmmm... Tepok jidat jadinya. _________

Suasana mulai mencair. Setelah membersihkan diri, kami melaksanakan sholat isya berdua dan berencana menjemput anak-anak di rumah Oma Opanya. Kudekati istriku yang sedang berdandan di depan cermin. Aku sengaja membungkukkan sedikit badan dan mendekatkan daguku di bahunya sembari memandang pantulan wajah Melitha di cermin. Tampak istriku seperti salah tingkah. Ah, mungkin karena kejadian barusan, hehehe.

"Kamu cantik, Sayang," bisikku di telinganya.

Wajahnya bersemu merah, tanpa menoleh, ia bangkit dari kursinya dan segera meraih jilbab syar'i warna senada dengan gamisnya.

"Gombal," katanya sembari tertawa renyah dan merapat ke dadaku, melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. "Litha sayang kali sama Mas..." lanjutnya.

Aku membelai dan mengecup pucuk kepalanya, "Ya, Mas tahu itu. Mas juga sayang Litha," ucapku.

Kami saling bertatapan sejenak dan saling mengukir senyum.

"Ayolah, Mas. Anak-anak pasti sudah menunggu," suara manjanya mulai terdengar lagi.

Akupun meraih lengannya dan segera keluar, meghidupkan mesin mobil dan membelah jalan menjemput buah hati tercinta.

_____

Pukul 2.00 dini hari, seperti biasanya, aku akan membangunkan Melitha untuk melaksanakan sholat tahajud. Tapi, malam ini aku sengaja menunda membangunkannya. Aku baru menyadari kalau dalam sebulan ini, aku tidak ada memegang HP Melitha. Yang kutahu, saat waktu senggangnya, Melitha terlihat sibuk dengan HP pintar tersebut. Istriku ini memang hobi menulis. Kurasa, dia mungkin menulis sesuatu atau cerita di HP -nya. Iseng kuraih HP yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Halah! Lowbat pula. Aku terpaksa mencari charger dan mencolok pengecas sambil duduk di sova pojok kamar. Iseng kubuka-buka aplikasinya. Sepertinya malam ini aku jadi mata-mata untuk istriku. Maafkan Mas-mu yang ganteng plus keren ini ya, Sayang. Pede itu memang perlu. Titik!

Beberapa aplikasi sudah kubuka, tidak ada yang mencurigakan. Saat ini jemariku berada pada tanda telepon warna putih dilingkar putih dengan basic color hijau. Ah, apalagi kalau bukan WhatsApp. Aku mengusap layar yang tertera fotoku "My Hubby", terlihat WA terakhir yang dikirim Melitha tadi siang saat aku berada di kantor.

* Assalamualaykum, Mas. Sudah jam istirahat? Bekalnya sudah dimakan?I love you, Mas, * ada emot lope lope di ujung kalimat.

Aku cek, di waktu. Aku membalasnya satu jam setelah itu. Ternyata, hal itu membuat Melitha merasa diabaikan. Padahal saat itu pekerjaanku sedang menumpuk di atas meja.

Selanjutnya aku membaca chat Melitha dengan teman-teman sekantornya dan beberapa grup keluarga. Isi chatnya biasa saja. Hmmm....misi gagal. Ups, belum. Ternyata, ada satu nama di layar yang membuat aku penasaran. Bukan nama orang, bukan pula nama hewan atau tumbuhan. Nama di layar adalah *Bismillah, Ide Menulis.* Lah, kayaknya itu nama grup WA, tapi anggotanya cuma Melitha sendiri. Aku semakin penasaran. Kucoba scroll ke atas, isinya semua tentang cerita. Ada yang dicopast link-nya. Ada pula yang memang ditulis sendiri oleh Melitha, lengkap dengan tempat dan waktunya.

Ya salaaam, setelah kubaca dan kutelusuri satu persatu, tulisan yang dicopast istriku kebanyakan menceritakan tentang PELAKOR, tentang suami yang tidak setia, tentang rumah tangga yang berantakan karena suami yang main hati dengan perempuan lain setelah sang istri berkorban dan berjuang bersama dari titik nol. Tentang suami yang khilaf setelah naik kariernya. Wadduh, aku menarik nafas dalam-dalam dan menggeleng-geleng. Hmmm....inilah penyebab istriku badmood. Ia terbawa suasana dan menyamaratakan seorang suami. Agak cuek, dipikir ada perempuan lain. Malam hari, naik ke tempat tidur langsung ngorok dipikir sudah tidak selera lagi pada dirinya. Cara pikir perempuan itu rumit. Sementara lelaki just simple. Kalau lagi sibuk dengan pekerjaan, ya tidak melayani WA atau telepon. Entar, kalau sudah kelar, pasti akan langsung menghubungi. Ini untuk kasus yang tidak emergency . Kalau ngantuk, ya tidur. Tapi, bagi Melitha, aku terkesan ignorant, cuek. Hmmm...

Yang bikin geli hati, Melitha menulis cerita saat aku berada di Jogja. * Sudah 3 hari Mas Satria berada di Jogja, nginap di hotel bintang 5. Sendiri pula lagi. Diantar jemput pakai mobil dari perusahaan. Gelisah hati ini. Cuma bisa ngobrol pas coffe break dan malam hari. Kadang-kadang, malam dihubungi sudah nggak direspon. Subuh-subuh sekali, Mas Satria menghubungi dan bilang kalau tadi malam ketiduran, karena capek seharian training. Ah, kesalnya Mas Satria itu nggak bisa ngeluarin kata-kata permohonan maaf. Bilang kek, maaf ya Sayang, tadi malam Mas ketiduran. Kenapa, sih, laki-laki itu susah kali minta maaf. Gengsi? Huft.*

Sampai di sini, aku tertawa kecil. Hal sepele begitu saja jadi masalah. Kulanjut baca tulisannya. Kali ini, aku membaca dengan dada sedikit bergemuruh.

*Mas...kamu tahu nggak, Litha sayang kali sama kamu. Litha takut kehilangan kamu. Litha yakin, di luar sana banyak perempuan-perempuan cantik dengan gaya yang fashionable. Di kantormu juga, pasti banyak yang begitu. Sudah lumrah, bahwa lelaki itu suka yang indah-indah. Sementara, Litha... performance Litha saat ini, setelah kita memutuskan untuk hijrah, tampilan Litha lebih sederhana dan tidak terlihat menggoda. Sungguh, Litha takut, Mas. Litha takut kamu tergoda dengan perempuan di luar sana. Apalagi penampilanmu yang banyak orang bilang, bahkan teman sekantor Litha juga bilang...Sungguh menarik. Tak jarang mereka menggoda Litha dengan kalimat-kalimat yang membuat nyali ini ciut... Litha hanya bisa menitipkanmu pada Allah, agar senantiasa menjaga hati dan kesetiaanmu untuk Litha dan anak-anak kita. Kamu tahu nggak, Mas...dalam setiap detik....setiap helaan nafas ini...hanya penuh dengan doa-doa untukmu dan anak-anak...doa segala kebaikan untuk kalian...dan tak jarang Litha lupa berdoa untuk diri Litha sendiri.

Tahu nggak, Mas...saat kamu pulang 2 minggu yang lalu, Litha benar-benar merasa rindu karena sudah seminggu tidak bertemu. Litha mempersiapkan diri untuk menyambutmu. Kamu nggak lihat ya, sewaktu di bandara kerinduan ini menggebu dengan terus menggapit lengan kekarmu. Tapi waktu itu, kamu terlihat risih. Entah itu perasaan Litha saja, atau memang kamunya yang nggak rindu. Setiba di rumah, kita makan bersama. Kamu melepas rindu dengan anak-anakmu. Tapi, sewaktu masuk kamar kamu malah sudah ngorok di atas tempat tidur. KETERLALUAN kamu, Mas. Setanpun menghasut dengan pikiran liar membayangkan entah apa yang sudah kamu lakukan di sana. Astaghfirullah...Astaghfirullah...hiks hiks hiks....*

Aku meraih botol mineral dan meneguk habis isinya. Entah kenapa, kamar yang dingin ini menjadi terasa panas di hatiku. Apaan sih, berprasangka buruk pada suami itu dosa lho. Kulanjut baca lagi tulisannya.

* Maaf ya, Mas...di salah satu komunitas menulis yang ada di sosmed, Litha sering menemukan tulisan tentang pelakor. Mungkin memang fenomena jaman now suami orang lebih menarik ketimbang bujangan. Atau memang kiamat sudah makin dekat. Tak tahulah. Tapi yang jelas, setiap membaca tulisan begitu, Litha merasa miris...apalagi dengan sikap cuekmu itu, Mas. Sering telat balas WA, sering ngorok padahal belum ngapa-ngapain...merasa diabaikan sekali diri ini. Merasa tidak menarik lagi bagimu. Tapi, Mas...bacaan itu banyak juga hikmahnya. Tergantung dari sudut mana menilainya..tapi, ya itu tadi...mohon maaf istrimu baperan dan akibatnya badmood ke kamu..* Curhatnya pada WhatsApp selesai.

Aku menatap bingung ke arah tubuh seksi dan menggiurkan perempuan di balik selimut tebal di atas sepray bewarna hijau muda berumbai-rumbai. Bagaimana mungkin dia bisa berprasangka buruk padaku, suaminya? Kuakui kekuranganku, aku tidak bisa merangkai kata indah untuk ku persembahkan padanya lewat media atau saat berhadapan langsung. Aku bukan tipe penggombal. Aku orangnya to the point, lebih banyak pembuktian lewat tindakan daripada hanya sekedar ucapan mesra. Ternyata aku salah, itu saja tidak cukup. Seorang istri rupanya masih butuh pujian dan kata-kata mesra dari suaminya. Bagaimana ini? Sebenarnya, sebelum ini sudah beberapa kali aku mencoba, tapi aku gagal. Malah kata-kata yang tersusun, amburadul dan jelas sekali dibuat-buat. Sejak itu, aku tak kuasa lagi untuk mencoba. Ah, aku jadi teringat Alfaruq, Si Playboy Cap Camvus, begitu gelar teman- teman kuliah pada dirinya, pernah berbisik padaku. 'Satria, kamu harus banyak belajar dariku dalam meruntuhkan hati seorang wanita. Kamu tidak perlu modal banyak, cukup kamu puji dan berikan sekuntum bunga. Itu saja sudah membuat sebagian dari mereka merasa terbang melayang di udara. Sebagian dari mereka memang suka digombalin, hahahaha.'

Hmmm....apa aku harus menggombal istriku sendiri? Entahlah. Aku menarik colokan dan meletakkan HP Melitha pada posisi awal. Kemudian naik ke atas ranjang, membelai kedua pipi Melitha dan membangunkannya untuk sholat tahajud bareng.

_____

Hari ini, rabu siang pukul 11.45 menit. Aku berinisiatif menghubungi Melitha lewat aplikasi WhatsApp. Aplikasi ini memang memungkinkan untuk mengekspresikan perasaan dengan variasi emoticon yang tersedia. Biasanya, aku lebih senang menelepon langsung atau videocall. Tapi kali ini biarlah, aku berusaha menyenangkan hati istriku dengan mengiriminya pesan singkat. Selama ini memang Melitha yang aktif mengirimi aku pesan singkat di hampir setiap waktu. Dan hampir setiap kali pula, aku telat bahkan lupa membalas pesan tersebut. Hah, memang aku menjengkelkan! Hehehe.

*Assalamualaykum, Sayang...sudah waktu istirahat? * emot love kusertakan. Hanya butuh waktu sepersekian detik, langsung centang biru dan dapat balasan. Aku saja kaget, wah secepat itu ia membalas.

*Walaykumussalam wr wb. Sudah, Mas. Mas sudah makan? * Istriku ini memang sangat perhatian.

* Belum. Kita makan di luar aja yuk, Sayang. Mas jemput sekarang. Mas kangen. * emot 2 love kukirim lagi.

* Tapi, kitakan bawa bekal, Mas.*

*Nggak apa-apa. Nanti bekalnya buat makan malam aja. Wait me, ok. *

Tanpa menunggu, aku langsung keluar dari kantor dan menuju tempat kerja istriku. Wah, begitu sampai di depan gerbang, ternyata dia sudah menunggu dengan senyum terkembang. Aku turun, istriku mengulurkan tangan dan mencium tanganku takzim.

"Mas, nggak sibuk hari ini?" tanya Melita begitu duduk di sampingku.

"Kan jam istirahat. Mau makan di mana kita, Sayang?"

"Terserah Mas saja." Ia melirikku dengan senyum mesra. Ah senangnya hatiku melihat senyum itu merekah kembali.

Aku mengusap-usap kepalanya dan tersenyum lembut. Mobil kuarahkan ke Mall Living World. Di sana kami memilih menu makanan korea dan jus buah beserta air mineral. Aku merasa seperti menjalani masa pacaran belasan tahun yang lalu bersama wanita di hadapanku ini. Sesekali kutatap wajahnya, ia nampak menunduk seperti malu-malu. Ah, lucu rasanya. Tapi memang kondisi seperti ini sesekali perlu untuk mempererat rasa, kencan berdua saja dengan istri demi membangkitkan semangat dan rasa percaya dirinya bahwa hanya dia satu-satunya wanita yang ada di hati ini selain ibu kandung tentunya.

Kami saling mencicipi makanan yang ada sembari bercerita ringan sampai selesai. Selanjutnya kami mencari musholla dan melaksanakan sholat zuhur. Seterusnya aku mengantar kembali Melitha ke kantor tempat ia bekerja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Aku juga harus kembali ke kantor. Untuk urusan anak, aku dan Melitha gantian antar jemput. Yang kecil duduk di TK B, biasanya sepulang sekolah langsung kuantar ke rumah mamaku.

_____

Setelah membersamai anak-anak di malam hari dan bercanda tawa dengan mereka, aku dan Melitha mengantarkan mereka untuk istirahat di kamarnya masing-masing. Anak sulungku perempuan duduk di kelas 1 SMP tidur berdua dengan adik bungsu lelaki. Yang nomor dua dan nomor 3 perempuan tidur di kamar yang sama. Bahagianya aku melihat anak-anak tumbuh sehat dan ceria. Alhamdulillah ya Allah, atas harta tak ternilai yang Engkau titipkan padaku dan istriku. Melitha sebagai istri yang bekerja di luar rumah, senantiasa melibatkan diri dengan ekstra dalam pengasuhan anak-anak kami. Hanya waktu anak-anak masih balita kami menggunakan jasa ART yang kami titipkan di rumahorangtuaku untuk membantu menjaga anak kami. Alhamdulillah, Allah memberiku orangtua yang sangat menyayangi cucunya. Mamaku ibarat pengawas ART yang menjagai anak kami.

Setelah mematikan penerangan dan menghidupkan lampu tidur di kamar anak-anak, kami segera masuk ke kamar utama. Melitha mengganti gamisnya dengan lingerie pink membuat ia sungguh mempesona. Aku mendekatinya dan meraihnya ke dalam pelukan. Ia menyandarkan kepalanya di dadaku.

"Mas, terimakasih ya, untuk makan siangnya tadi."

"Iya, Sayang. Kamu senang?"

"Senang sekali."

"Hmmm....boleh Mas bertanya?"

"Boleh. Mas mau nanya apa?" Ia mengangkat wajahnya dan menatap bola mataku.

Aku balas menatapnya.

"Sayangkan hobi membaca dan menulis. Kalau Mas boleh tahu, cerita apa yang Sayang sukai?"

"Hmmm...." dia menjauhkan tubuhnya dan menyandarkan punggung di sandaran ranjang. Terlihat salah tingkah.

Aku tertawa kecil dan mengubek-ubek rambutnya.

"Mas mengobok-obok HP Litha, ya?" Ia mulai curiga.

"Nggak boleh, ya? Maaflah. Lagian Mas tanyain apa salah Mas, katanya nggak ada apa-apa. Tapi Mas dicuekin setiap hari."

Melitha memonyongkan bibir seksinya. Ih, gemes aku jadinya. Kutarik lagi ia ke dalam pelukanku.

"Saran Mas. Bacaan itu yang membuat Litha bersemangat, bukan malah lemah dan berprasangka buruk sama Mas. Kalo bacaannya bikin sedih, baperan mending di skip saja. Masih banyak bacaan yang bisa membuat Litha makin sayang dan percaya sama Mas, bisa bikin Litha jadi semakin dekat sama Allah dan banyak hal positif lainnya. Ini, setiap membaca cerita begituan, Mas kena getahnya. Memangnya di luar sana tidak ada lagi suami yang setia?" Aku membelai-belai rambut kelamnya.

"Laki-laki itu kebanyakannya sama, Mas. Kadang di depan istri manisnya mengalahkan gula madu, tapi di belakang istrinya eh malah belagu. Kadang ngomong sama istri tegas-tegas saja, tapi sama perempuan lain lembut dan mesra." Ia cemberut.

Aku menarik nafas dalam-dalam. "Sayang...Mas tidak mau takabur. Tapi, Mas berusaha tetap menjaga hati ini untukmu. Hati kita Allah yang punya. Tugas kita hanya berdoa dan berusaha. Jangan berikan kesempatan atau celah untuk setan merayu. Percayalah. Mas sangat mencintaimu, Sayang. Mas sayang sekali padamu. Memang Mas bukan tipe lelaki yang pandai berkata-kata, tapi beginilah Mas."

Melitha menatap wajahku, ada air mata menetes di pipinya yang mulus. Terharu.

"Litha sayang sekali sama Mas. Litha sangat mencintaimu Mas. Litha takut kamu tidak tertarik lagi sama Litha, Mas. Litha takut kehilangan kamu, huhuhu..." tangisnya semakin keras.

Entah mengapa aku merasa istriku ini mengalami krisis percaya diri yang membuat ia berprasangka aku tidak tertarik lagi padanya.

"Sayang, kenapa kamu terus-terusan ngomong kalau Mas tidak tertarik lagi padamu?"

"Karena Litha tidak seksi lagi. Penampilan Litha biasa-biasa saja. Litha sering merasa cemburu sama kamu..."

"Aduh, Sayang. Pernikahan itu bukan hanya untuk nafsu semata. Bukan hanya masalah penampilan. Banyak ibadah yang bisa kita raih dalam hubungan ini. Lagian, memang Mas yang meminta kamu untuk berpenampilan seperti itu. Kamu tetap terlihat cantik dan seksi di mata Mas, apalagi dengan lingerie begini. Kamu segalanya buat Mas. Andai saja ada neraca yang bisa mengukur kadar cinta dan cemburu pada pasangan, pastilah rasa cinta dan cemburu Mas lebih besar dari rasa cinta dan cemburumu itu, Sayang..." ujarku tulus.

Melitha melepas pelukanku dan menatapku lekat-lekat. Aku merasa aneh melihat senyum tiba-tiba merekah lebar di bibir itu.

"Sejak kapan kamu pintar ngegombal kayak gini, Mas?"

Lah, ngegombal? Aku kan ngomong apa adanya, apa yang kurasa saja. Tapi, kok...

Melitha membenamkan tubuhnya dalam pelukanku, seakan memberi isyarat bahwa dia ingin segera memulai permainan malam ini dengan sepenuh jiwa. Apalagilah, sebagai laki-laki normal tentu saja aku membalasnya dengan serangan yang lebih garang. Ah, ternyata gombal itu bisa membuat gairah wanita bergelora. Yes, maybe.

*END.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post