Lilynd Madjid

Lilynd Madjid is me 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kita Berteman 'Kan Alien? (part 3)

Kita_Berteman_kan_Alien

Part_3

Hari berganti hari. Sudah dua minggu Roraz tinggal di rumah Afif. Ayah dan bunda tidak tega jika Roraz harus tinggal di panti sosial. Lebih baik Roraz di sini, kata mereka. Lagi pula, Roraz bisa menemani Afif yang sudah ditinggal lagi oleh abang dan kakak-kakaknya ke luar kota. Pak RT dan Pak RW menyetujui keputusan ayah dan bunda. Jadilah Roraz tinggal bersama keluarga Afif.

Tetapi sejauh ini belum ada informasi yang lebih banyak diketahui tentang Roraz. Anak itu masih saja tidak banyak bicara. Hanya saja sekarang sudah mulai mau makan. walaupun dari ekspresinya, Roraz seperti kurang suka dengan makanan yang ada di rumah Afif. Karena sudah mau makan, tubuh Roraz sudah terlihat lebih segar walau pun masih tetap pucat.

Afif juga sudah tidak terlalu takut lagi. Selama dua minggu ini, Afif benar-benar mengawasi Roraz walau hanya dari kejauhan. Tidak ada yang mencurigakan. Afif mulai berpikir bahwa saat pertama kali menemukan Roraz, mungkin ia hanya berhalusinasi saja saat melihat tangan Roraz berjumlah empat.

“Hmmm… tapi asyik juga ya, kalau kita punya empat tangan.” Gumam Afif sambil senyum-senyum sendiri. Saat itu dia sedang berjalan sendirian pulang dari sekolah. Teman-temannya yang searah sudah tiba lebih dulu di rumah mereka. Rumah Afif memang yang paling jauh di antara temannya yang lain. “Aku bisa begini, begini… chiaaattt!” Afif bergerak menirukan orang bersilat seperti yang pernah dia lihat di televisi, “Sambil tangan aku yang dua lagi begini… hap, hap, hap!” Afif memungut batu di dekatnya dan dengan cepat melempar batu tersebut!

BLETAKKKK!

GRRRRRRR…

GUK! GUK! GUK!

Seekor anjing menggeram marah dan melesat ke arah Afif setelah batu yang Afif lempar tadi mengenai punggungnya dengan keras. Afif tersentak kaget. Wajahnya berubah pucat melihat anjing bertampang galak itu berlari cepat ke arahnya.

“Bundaaaaaaa…. Toloooooooooooonggg!”

Afif berlari sekuat tenaga. Mulutnya terus berteriak meminta tolong. Tetapi jalanan begitu lengang. Tidak ada seorang pun terlihat di sana.

“Hooooiiii…. Orang-oraaaaaang! Tolooooooonggg!” teriak Afif kalang kabut. Anjing itu semakin mendekat. “Ayaaaahhhhh! Bundaaaaaa! Roraaaaazzzz!” Entah mengapa tiba-tiba saja Afif teringat pada Roraz yang dalam bayangan di kepalanya sedang duduk dengan nyaman di rumahnya yang tenang. Tidak seperti dirinya yang bagaikan telur di ujung tanduk dalam kejaran anjing galak.

Tiba-tiba secercah sinar biru menyilaukan melesat entah dari mana. Suara anjing yang tadi menggonggong dengan ributnya seketika hilang. Sekelilingnya menjadi sepi. Langkah Afif terhenti perlahan. Selain karena dia sudah tidak mampu lagi berlari, Afif juga ingin tahu apa yang terjadi dengan si anjing yang tadi ada di belakangnya.

Bukan main terkejutnya Afif melihat apa yang terjadi. Saking kagetnya dia sampai jatuh terjengkang ke belakang.

“Alamak! Kenapa itu si anjing galak?” katanya nyaris berteriak. Matanya memandang kaget ke arah anjing yang sekarang diam membeku di depannya. Ya, membeku. Benar-benar membeku tidak bergerak lagi.

“Kamu sudah aman sekarang.” Kata satu suara dari belakang. Afif yang baru saja mulai berdiri, kembali terduduk ke tanah saking kagetnya. Dia lebih terkejut lagi saat menoleh dan mendapatkan Roraz sudah berdiri di dekatnya..

“Kok kamu ada di sini?” Afif melotot, nafasnya masih tersengal-sengal karena berlari tadi. Ditambah lagi dengan kemunculan Roraz yang tiba-tiba.

“Aku? Errr… aku mendengar kamu minta tolong tadi.” Kata Roraz ragu.

“Memangnya tadi kamu ada di mana?” Afif mendelik memandang Roraz. Seingatnya tadi dia tidak melihat Roraz di sekitar sini.

“Di rumahmu. Memangnya di mana lagi?” sahut Roraz cepat. Tetapi wajahnya segera memucat saat dia melihat Afif menyipitkan mata sambil memandangnya dengan pandangan aneh.

“Kamu di rumah?” bisik Afif sambil mendekat. “Mana mungkin kamu bisa mendengar teriakanku dari sana?” Mata Afif tidak lepas dari mata Roraz yang terlihat salah tingkah. “Kamu…” Afif tidak meneruskan kalimatnya. Dia tertegun saat menatap pupil mata Roraz. Afif melihat ada yang aneh dengan pupil mata itu. Pupil mata Roraz tidak berbentuk lingkaran seperti pupil mata pada umumnya. Pupil mata Roraz menyerupai garis vertical seperti… pupil mata kucing.

Afif yang tadi maju mendekat segera menghentikan langkahnya. Teringat lagi pemandangan saat pertama kali dia menemukan Roraz di gudang rumahnya. Tubuh hijau Roraz dan tangannya yang berjumlah dua pasang. Afif bergidig.

“Kamu itu apa?” bisik Afif menatap tak berkedip ke arah Roraz. Roraz menatap tajam mata Afif. Dia maju selangkah, kemudian memejamkan matanya. Afif mundur dua langkah. Dilihatnya pelipis Roraz berdenyut-denyut. Kulitnya semakin memucat nyaris kehijauan. Beberapa titik keringat keluar di pori-pori kulitnya.

Tidak lama mata Roraz membuka. Dia menatap Afif tidak setajam tadi. Ada senyum di sudut bibirnya. Senyum samar yang baru kali ini Afif lihat.

“Memangnya menurutmu aku ini apa?” tanyanya.

“Kamu…, eh, bukan manusia ‘kan?”

“Kalau aku bukan manusia lalu apa?” senyum Roraz semakin lebar. Dia berjalan ke arah sebatang pohon besar yang berada tidak jauh dari sana lalu duduk di bawahnya.

Afif mengikuti Roraz. Rasa takutnya sudah hilang, berganti keingintahuan yang sangat besar. Ragu-ragu Afif duduk di sebelah Roraz. Masih ditatapnya Roraz. Diperhatikannya setiap inci tubuh Roraz.

“Mungkin…” kata Afif sambil menatap mata Roraz. “Kamu mahluk dari luar bumi… Alien?” Bisik Afif. Pupil mata Roraz membentuk satu garis lurus. Menatap Afif sejenak lalu membuang pandangannya ke hamparan sawah di depan mereka. Roraz menarik nafas dalam.

“Aku memang tidak dari sini…” gumamnya setelah lama berdiam diri. Suaranya serupa bisikan. Afif menahan nafas, menunggu kata-kata kembali keluar dari mulut Roraz.

Tetapi Roraz kembali terdiam. Wajahnya bersemu kehijauan. Air mata menetes dari sudut matanya. Dia menggumamkan kata-kata yang tidak Afif mengerti. Bunyinya serupa keluhan. Lalu lagi-lagi Roraz memejamkan matanya. “Aku sendirian di sini…” katanya bergetar. Begitu menyedihkan. Sampai-sampai Afif merasa ingin menangis juga.

“Kamu kan dengan kami sekarang.” Kata Afif. Dia sendiri bingung kenapa dia berbicara seperti itu. Tapi mulutnya terus berkata, “Ada aku, ayah, bunda, abang Ad…”

“Kamu?” Roraz menoleh cepat. “Bukannya kamu takut padaku?” katanya. Afif kehilangan kata-kata. Dia tergagap.

“aku..."

“Selama ini kamu selalu menghindar dariku, Afif.” Roraz tersenyum pahit. “Aku tahu, sejak awal kamu sudah tahu siapa aku.” Roraz menatap Afif.

“Aku..."

“Tapi aku berterimakasih padamu,” Roraz memotong kalimat Afif. “Aku berterimakasih karena kamu tidak menceritakan pada orang-orang. Pada saudara-saudaramu, pada ayahmu, bahkan tidak juga pada ibumu…”

“Eeuuu… aku…”

“Kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya ‘kan, Afif?” lagi-lagi Roraz memotong kalimat Afif.

Afif mengangguk cepat. Dia memang penasaran sekali dengan Roraz. Roraz tersenyum. Dia mengulurkan tangannya ke arah Afif. memberi isyarat agar Afif memegang tangannya. Afif menatap tangan itu. Beberapa kali tatapannya beralih ke wajah Roraz. Menatap mata Roraz yang kehijauan. Kemudian setelah menguatkan hati, Afif menggenggam tangan Roraz yang panas.

Afif berteriak kaget. Ia seperti tersengat listrik. Belum lagi habis kekagetannya, Afif kembali menjerit ngeri saat dia merasa seperti dihempaskan ke dalam sebuah pusaran yang berputar sangat cepat. Belum habis teriakannya, pusaran yang berputar itu berhenti secepat munculnya. Afif terhuyung ke depan. Dia merasa sangat mual.

“Roraz! Apa itu tad…” Afif tidak meneruskan kalimatnya. Mulutnya menganga. Matanya memandang ke depan, lalu ke kiri dan kanan. Kemudian Afif berputar sambil ribut berteriak. “Roraz, di mana ini?” Afif masih memandang ke sekelilingnya dengan ngeri. Ini bukan di tepi jalan tempatnya tadi duduk dengan Roraz. Ini di… hutan.

***** ***** *****

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post