Lilynd Madjid

Lilynd Madjid is me 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web
NIRWANA (SEBUAH KEHILANGAN 1)

NIRWANA (SEBUAH KEHILANGAN 1)

SATU

Suara-suara bising seperti ribuan tawon mendengung begitu dekat dengan telinganya. Semakin lama semakin keras saja dengungnya. Tubuh beku di hadapannya terlihat mengabur. Lalu apa ini? Gumpalan padat yang sejak tadi menyesakkan dadanya kini serasa menggerusnya kuat-kuat.

Ah! Kepalanya seperti terhantam. Begitu nyeri. Walau sekuat apa pun ia berusaha menahannya, nyeri itu tetap mengirisnya. Akhirnya ia pun menyerah. Pandangan yang tadi kian memburam kini menjadi gulita. Gelap seketika. Membuatnya sesak lalu tersungkur.

***

“Nama saya Jimmy, lahir di kota ini, 23 April 2004.”

“Tua, hei!”

“Hahahahahaha.”

“Bising kau, Way! Lanjutkan, Pak?”

Pak Indra mengangguk sambil menahan senyum. Dengan sekali deheman seisi kelas kembali tenang. Si Pemuda Jimmy kembali melanjutkan perkenalannya. Hari ini hari pertama masuk di awal tahun ajaran baru. Sudah kebiasaan Pak Indra meminta murid-murid untuk memperkenalkan diri mereka secara lengkap, termasuk menyebutkan hobi dan cita-cita.

Sebenarnya ini merupakan salah satu upayanya untuk dapat lebih memahami mereka. Dari uraian mereka selama perkenalan, mulai dari menjelaskan nama, nama kecil, anak ke berapa dari berapa bersaudara, cita-cita dan hobi mereka, ia bisa menarik sedikit gambaran tentang diri murid-muridnya. Sebagai guru, tentu saja informasi seperti itu dapat digunakan ke depannya, sebagai bahan untuk memotivasi mereka saat belajar.

“Selesai, Pak!” kata Jimmy.

“Baik, Jimmy , terimakasih. Jadi kamu anak bungsu dari tiga bersaudara? Hmm... mau jadi pemain sepak bola, ya? Tingkat apa kira-kira? Tingkat RT? RW? Kampung? Kecamatan? Kabupaten?”

“Jimmy itu cuma pemain tingkat RT saja dia, Pak! Hahahaa....”

“Bising, kalian! Tingkat dunia dong, Pak.”

“Tingkat dunia? Wow! Cita-cita yang bagus sekali. Tentu saja kamu harus bekerja keras untuk mencapainya, ya, Jimmy?”

“Ya, Pak. Kami ikut SSB setiap sore, Pak”

“Wuiiihh... ikut SSB, kawan!”

“Bising kalian ini. Kalian kalau iri sama aku bilanglah. Tidak usah bising terus. Ya, Pak ya?”

“Huuuuuu.....”

“Sudah, tenang. Anak-anakku. Bukankah bagus apa yang dilakukan Jimmy ini? Ia bercita-cita menjadi pemain sepak bola tingkat dunia, dan untuk itu dia bergabung di sekolah sepak bola setiap sorenya. Itu merupakan suatu usaha yang positif untuk mewujudkan cita-citanya,”

“Iya jugakah, Pak, Jimmy bisa jadi pemain tingkat dunia? Juara tingkat kampung pun dia tidak pernah.”

“Hei? Bukannya tidak pernah, tapi belum ada kesempatan. Coba kalau aku diberi kesempatan sudah sejak jaman dulu aku jadi juara...”

“Hahaha.... itu namanya tidak pernah juara, hei!”

“Ah, bising terus kalian ini. Lanjutkan yang lain saja, Pak.”

“Aih, merajuk, Kawan?”

“Sudah, sudah,” Pak Indra menenangkan. “Sekali lagi terimakasih Jimmy, sudah berbagi cerita. Bukanlah sesuatu yang salah jika kita memiliki cita-cita yang tinggi, bahkan yang dianggap mustahil oleh orang lain. Tetapi dengan syarat, kita mau bekerja keras untuk mewujudkannya dan jangan lupa berdoa memohon pada Tuhan untuk membantu memudahkan langkah kita dalam mewujudkan cita-cita itu.”

“Aamiiin!” seru anak-anak itu. Terdengar suara Jimmy yang paling keras di antara suara anak-anak di kelas 9B ini.

“Baiklah, selanjutnya Bapak minta …” Pak Indra melirik daftar nama siswa di tangannya. “Setelah Jimmy, bapak minta kepada Nirwana, untuk memperkenalkan diri.”

“Awan tidak sekolah, Pak!”

“Nirwana?”

“Iya, Pak. Nirwana itu kami panggil Awan. Memang begitu nama panggilannya. Dia tak sekolah hari ini, Pak.”

“Kenapa?”

“Gus, mengapa Awan tak sekolah? Kau ‘kan dekat rumah Awan?”

“Balik kampung, Pak. Mamak dia meninggal.”

“Innalillahi wa inna ilaiihi rojiun. Kapan, Gus?"

“Lusa semalam, Pak. Datang berita dari kampungnya, kalau mamak Awan meninggal.”

“Kasihan, Awan. Bapak dia sudah meninggal pula ‘kan?”

“Oya?”

“Iya, Pak. Sudah lama dah, Pak, abahnya Awan meninggal. Dia tinggal di rumah Omnya sekarang ini.”

“Kasihannya, kawan.”

Pak Indra termenung. Anak-anak kelas itu terdengar berbisik-bisik. Ia terdiam. Teringat pada sosok bertubuh kecil yang sedang dibicarakan kawan-kawannya itu. Memang ia belum pernah mengajarnya selama ini. Tapi sosok Nirwana sudah begitu sering ia lihat.

Guru-guru bahasa Indonesia yang pernah mengajar di kelas sebelumnya sering menyebut nama Nirwana sebagai siswa yang pandai menulis. Baik puisi, cerpen atau pun karangan nonfiksi. Karena cerita rekan-rekannya itulah, tanpa sadar Pak Indra jadi sering memperhatikan anak itu.

“Baiklah anak-anak, kita berdoa saja semoga orang tua Awan ditempatkan di tempat terbaik di sisiNya, dan kawan kalian Nirwana diberikan kesabaran dalam menerima ujian ini.”

“Amiiin...”

“Amin allahumma Amin. Selanjutnya kita teruskan lagi perkenalan kita, setelah Nirwana, bapak akan meminta....”

*** *** ***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih, Pak.

28 Nov
Balas

Mantab cerpennya bu..salam sukses selalu

28 Nov
Balas



search

New Post