Lilynd Madjid

Lilynd Madjid is me 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web
NIRWANA (SEBUAH KEHILANGAN 2)

NIRWANA (SEBUAH KEHILANGAN 2)

DUA

 

Nirwana tertunduk di depan gundukan tanah merah yang masih basah. Matanya juga basah, begitu pun juga hatinya. Bibir remaja lima belas tahun itu bergetar, seiring getaran yang teredam dalam dadanya.

“Mak ….”

Bahkan untuk menyebut namanya pun rasanya Nirwana tak sanggup. Air mata menderas di pipi. Sesungguhnya ia tak suka ini. Mengalirkan air mata membuatnya terlihat lemah. Namun yang pergi ini adalah Mamak. Ibu kandungnya. Wanita yang telah banyak berkorban untuk dirinya. Bagaimana ia tak menangis?

Ya, Mamak yang sudah berjuang membesarkan ia dan adik-adiknya selama ini. Bekerja keras, oh bukan, Mamak malah bekerja berat, sangat berat demi hidup keempat anaknya. Sendirian. Ia bahkan tak memikirkan dirinya sendiri.

Banyak lelaki datang ingin memperistri Mamak selepas Abah tiada lima tahun lalu. Mamak selalu menolak. Tak pernah ada dalam pikirannya untuk menikah lagi, itu yang dikatakan Mamak pada Nirwana, dulu.  

“Saat ini, hidup Mamak hanya untuk kalian, anak-anak yang Mamak punya,” kata Mamak suatu hari. “Mamak tak ingin menikah lagi. Untuk apa? Biar, cukup abah kalian saja yang menjadi suami Mamak seumur hidup, dan kami akan dipertemukan kembali di surga nanti.”

“Tenang di sana ya, Mak. Awan yakin, Mak sudah berkumpul dengan Abah di tempat yang indah di sisi Allah. Iya ‘kan, Mak?” isak Nirwana. “Awan, Awan janji, akan bertanggung jawab menjaga adik-adik, Mak. Bagaimana pun keadaannya. Awan janji, Mak. Awan berjanji pada Mak dan Abah.”

*** *** ***

 

“Awan, jadi macam mana rencana Awan ke depan? Apa Awan akan kembali lagi ke kota, ataukah tetap di sini?”

Nirwana terpekur mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya dia sendiri belum bisa memutuskan akan bagaimana. Jika ia kembali ke kota, bagaimana dengan ketiga adiknya? Si kembar Athala dan Attaya,  juga si bungsu Fatima. Siapa yang akan menemani mereka?

“Awan, Awan belum tahu lagi hendak macam mana, Pak Ngah.” Awan menatap wajah Pak Ngah Zain, kakak laki-laki almarhumah ibunya. Lelaki paruh baya itu menarik napas panjang. Ia menatap ke sekeliling, meminta pendapat sanak saudaranya yang ikut berkumpul malam itu.

“Kalau Acik pikir, ada baiknya kalau Awan tetap di sini. Adik-adikmu pasti ingin abangnya di sini, sebagai pengganti abah dan mamak kalian. Selain itu, juga agar kami, sanak saudara di sini bisa ikut menjaga kalian, Wan,” kata Cik Imah. Cik Imah ini salah satu sepupu Mamak. “Kalau kamu di kota sana, manalah kami bisa memperhatikan secara langsung. Iya tak?”

Pak Ngah dan beberapa orang lain mengangguk-angguk. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Cik Imah. 

“Tapi Kak Imah,” seseorang menyela, “Kakak ingat tak kalau Kak Siti pernah bilang, Awan harus menyelesaikan sekolah dia di kota, dan melanjutkan sekolahnya di sana.”

“Ah, iya, iya … aku ingat itu, Salmah. Nah, macam mana itu, Bang Zain?”

“Yah, kau tahu sendiri ‘kan Imah, bagaimana almarhum kakak kita itu. Dia memang punya cita-cita, menyekolahkan anak-anaknya tinggi-tinggi di kota. Itu makanya dia selalunya bekerja keras untuk anak-anak ini.”

“Sekarang bergantung pada keputusan Awan lagi, tak?”

“Ya, ya. Nah Awan, apa yang kamu inginkan? Hendak kembali ke sanakah? Atau tinggal di sini?” Pak Ngah Zain kembali bertanya pada Nirwana. 

“Sebenarnya Awan ingin di sini bersama adik-adik. Tapi … seperti yang tadi Cik Imah katakan, Mamak selalu berpesan pada Awan untuk menyelesaikan  sekolah Awan di kota, Pak Ngah. Menamatkan SMP, SMA, bahkan Mamak punya cita-cita, Awan kuliah.” 

Air mata menetes di sudut mata Nirwana saat mengucapkan kalimat terakhir. Saudara-saudaranya terdiam. Mereka mengenal almarhum Mamak dan cita-cita besarnya untuk Awan dan adik-adiknya.

“Ya, kalau Awan memang ingin menunaikan amanat almarhumah, kami keluarga di sini tentu akan mendukung,” kata Pak Ngah Zain.

“Tapi bagaimana dengan adik-adik?”

“Adik-adikmu itu, tak perlulah dipusingkan sangat. Biar mereka di sini bersama kami. Tak mungkin pula ketiga anak itu di bawa ke kota. Beratlah Om Joni menanggung kalian nanti.” Cik Imah menjawab, diiringi anggukan setuju saudara-saudara yang lain. 

“Nah, Awan. Begitu sajalah, ya? Tak apa Awan kembali ke Kota lagi. Tinggal dengan keluarga adik abah Awan itu. Sementara Athala, Attaya dan Fatima tetap di sini.”

Nirwana menunduk dalam. Berat sebenarnya. Dulu masih ada Mamak yang menjaga adik-adiknya. Sekarang, seharusnya dia yang menjaga dan mendampingi adik-adik. Akan tetapi, apa yang Cik Imah katakan pun benar. Tak mungkin ia dan adik-adiknya membebani Om Joni di kota. Setelah termenung cukup lama memikirkan keputusan yang akan diambilnya, akhirnya Nirwana mengangguk.

*** *** ***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post