LITA SULISTYANINGTYAS

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Berebut Nyawa Ibuku Dengan Malaikat

Berebut Nyawa Ibuku Dengan Malaikat

Sungguh hingga saat ini pun aku masih takut jika masuk kamar ibuku. Aku seperti kembali masuk ke peristiwa dua tahun lalu kepergian almarhumah ibuku. Saat aku berdiri di depan pintu kamar, aura kamar seperti menyedotku masuk. Aku seperti sedang menonton film yang bisa diputar ulang tanpa kusut. 

Sore itu hujan rintik membasihi jalan di bulan April minggu kedua. Aku biasa duduk di sisi kasur menemani ibuku yang baru pulang dari rumah sakit. Sudah puluhan tahun sakit gula bersemayam dalam tubuh ibuku. Dari badannya yang tinggi besar, sekarang kurus kecil dan sedikit membungkuk. Satu persatu penyakitnya merenggut organ pentingnya seperti mata yang mulai tak jelas penglihatannya, jantung yang mulai butuh perawatan khusus dan juga pendengaran yang nyaris total tak dapat mendengar akibatnya sering salah paham dengan lawan bicaranya. 

Puluhan tahun sudah penyakit itu bertahan di tubuhnya. Berkali pula ruang ICCU rumah sakit haji menjadi kamar kedua.  Puluhan butir obat dan puluhan juta dana tak berbilang sudah digunakan untuk menopang hidupnya. Ibuku terus bertahan dengan sakit yang makin hari makin tidak jelas kesembuhannya.  Kadang ke rumah sakit untuk rawat jalan saja hanya seperti orang curhat dengan dokter penyakit dalam yang usianya nyaris sama. Dokter yang sangat sabar dan bisa berbicara selayaknya sahabat lama. Dokter yang sepulang darinya bisa membuat ibuku tertidur lelap seperti tidak tidur berhari-hari. 

Siang itu ibu kami antar pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah kakak. Sebelumnya rumah kami bersihkan dulu karena lama tak ditempati. Seprei kamar ibu kami ganti dengan yang baru dan harum. Ibu senang bisa berada di rumahnya sendiri walaupun hanya sendiri jika siang hari. Tanam bunga dan seekor kucing oren gendut menjadi hiburannya sehari-hari. Tapi semua hari ini tanaman seperti layu, kucing gendutpun tak bersuara bersandar di kaki kanannya. Kemudian beranjak menuju muka seperti ingin menyampaikan sesuatu. Tak lama tetangga rumah satu persatu berdatangan. Ibu hanya hanya menatap tanpa bisa berkomunikasi. Aku saja yang rame menyapa. 

"Eyang ini ada tante Ratna, tante Ketut dan tante Asih." 

Ibu hanya menoleh sesaat, matanya tampak berbinar. Dia senang teman-temannya berkunjung. Ibu tidak berkata sepatahpun. Ibu biasa dipanggil dengan sebutan Eyang dikalangan tetangga. 

"Syukurlah Eyang sudah pulang. Nanti kita duduk ngobrol lagi depan rumah ya Yang." Tante Ratna berujar sambil menahan tangis. Tongkatnya digenggam erat, betapa sedih dia melihat ibuku yang sudah tak berdaya. Tante Ratna juga sudah sepuh, usianya hampir sama dengan ibuku. 

"Ibu, sekarang waktunya makan, hari sudah semakin siang."  Ibu menggelengkan kepala. Berapapun upaya yang aku lakukan memasukan makanan tetap saja di tolak. Sejak pulang dari rumah sakit ibu jarang makan. Tapi ada beberapa kejadian aneh menurutku sejak ibu tinggal di rumah kakak sepulang dari rumah sakit. Bahkan saat di rumah sakitpun ibu bertingkah aneh. 

"Tha liat itu. Kenapa dari tadi keranda itu mondar mandir di depan pintu kamar?" Aku sontak berdiri melihat ke arah pintu kamar inap. Tak ada apapun kulihat. Aku ingat betul kasur ibu adalah kasur ketiga dari pintu, persis di depan jendela, tapi kenapa ibu bisa melihat keluar pintu yang tertutup. 

"Ibu, tidurlah hari masih malam." Aku berusaha merebahkan ibuku yang sejak tadi hanya duduk di atas kasur. 

Keesokan harinya ibu diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Sepanjang jalan ibu hanya menatap ke jendela mobil. Sekali-kali ibu menoleh ke arahku. 

"Tha, itu siapa yang menyetir?" 

"Restu." Jawabku singkat. 

"Kenapa dia ga kerja? Liburkah?" Ibu bertanya lagi. 

"Izin, kan jemput ibu pulang dari rumah sakit." Aku bingung, sebenarnya ibu sudah diberi tahu kalau pulang akan dijemput sama anak bungsunya, tapi dia masih bertanya. Di rumah sakitpun dia tadi sudah ngobrol dengan adikku itu. 

Sepertinya fikiran ibuku kacau. Sesampainya di rumah kakak, ibu memanggilku. 

"Tha, itu siapa yang pake kerudung? Koq seperti ibu-ibu tua."

Astaghfirullah.. 

Ada apa dengab ibuku. Orang yang dimaksud oleh ibuku adalah mantunya yang selama ini menjaga dan merawatnya. Pertanyaan ibuku selanjutnya membuatku betul-betul membuatku terperanjat.

"Kalau itu yanga bapak-bapak siapa? Aku ga kenal. Aku ini di rumah siapa sih sebenarnya?" 

Astaghfirullah.. 

Ibu seperti linglung.

Orang itu adalahnya kakakku, anaknya sendiri, suami dari ibu yang tadi disebutnya ibu tua. Anak yang selalu mengantar dan menjemput jika ibu ingin ke rumahnya sendiri. 

Keanehan ternyata tidak berhenti disitu tetapi masih berlanjut. 

Malam hari ini, ibu tidur bersamaku. Berharap ibu segera pulih dari sakitnya. Ibu yang tertidur pulas tiba-tiba terbangun. Dengan gayanya yang tak biasa ibu memanggilku. 

"Tha, saya boleh minta air dingin? Boleh?" 

"Aku rasanya hauuussss sekali." 

Mengapa ibu meminta seperti menghiba seperti itu? 

"Aku boleh minta jeruknya?" 

Aku terheran heran, sore saja bubur ayam yang aku suapi ditampiknya, bahkan dia menghardikku. Tapi kenapa sekarang minta jeruk, bahkan jeruk itu habis dimakannya. 

Setelah makan jeruk, ibuku kembali tertidur pulas. Karena aku bertugas jaga hari ini dan menghindari kantuk yang berat, aku menghidupkan tivi di kamar. Acara tivi yang ku tonton adalah acara yang berkaitan dengan gangguan roh halus yang dipandu oleh Robby Purba. Dalam acara itu, sang bintang utama sedang berkomunikasi dengan roh yang mengganggu seorang peserta. Aku merasa tegang menyaksikan aksinya. Tiba-tiba... 

"Litha..!!!" 

Ibuku berteriak dan langsung terduduk.

"Ngapain kamu nonton itu, cepat matikan tivinya. Aku sedang didatangi oleh mereka..!!!

Aku tidak mengerti dengan ucapan ibuku tapi tivi cepat kumatikan. Kupanggil kakakku yang setengah berlari menuju kamarku karena terkejut dengan teriakan ibu. Ibu tampak menggigil ketakukan sambil menunjuk televisi. Aku dan kakak ipar segera pergi berwudhu, mengambil al quran dan kami sama-sama membacanya. Lambat laun ibu mulai tenang dan kembali tertidur.

Esok paginya aku membawa ibu pulang ke rumahnya. Kondisi ibu sudah mulai menurun. Ibu pernah berpesan jikapun harus meninggalkan dunia ini, ibu ingin berada di rumahnya sendiri. Entah seperti dituntun atau apa, kami mengantar ibu pulang ke rumah. Sesampainya di rumah ibu tampak sangay senang. Tidak banyak bicara, hanya terdiam. Setelah para tamu yang menjenguk pulang, ibu kembali tertidur. Siang ini lumayan aku bisa tidur sejenak, dengan ditemani si bungsu aku menjaga ibu di rumahnya. 

Sore menjelang ashar, aku basuh ibu dengan air hangat, baju diganti dengan yang baru. Sesekali ibu aku suapi bubur, tapi kali ini ibu sama sekali tak merespon. Hari kian sore dam suasana agak mendung. Pada saat adzan maghrib, aku melaksanakan solat, lalu aku ajak ibu untuk membaca al quran. Teringat ibu belum kugantikan  pakaian dalamnya. 

Aku mengambil pakain dalam dan saat itulah aku merasakan dingin di kaki, nafas ibu mulai tersengal-sengal tak menentuk. Sebentat menarik nafas panjang lalu dihelanya dengan kuat. Aku tersedar ibu tak lagi seperti biasanya, kudekati telinganya dan berusaha mentalkinnya. Aku kembali merapihkan popok yang belum selesai sambil terus mentalkinnya. Tapi apa daya nafas ibu kian tak menentu, akupun berupaya meraihnya seperti aku sedang berebut nyawa dengan sesuatu yang tak nampak tapi bisa dirasakan. 

Aku terus mentalkinnya kulihat ibu yang tergagap-gagap seperti hendak berbicara. Nafasnya yang terengah-engah sehingga tampak dadanya naik turun dengan cepat dan akupun tersadar ibu sedang menghadapi sekaratul maut. 

"Ibu sebentar. Ya Allah.. sebentar.  Ibuuuuu... laa illah ha illallah.. "

Terus aku ucapkan kata-kata itu laa illaha illallah..

"Ibuuuuuu.... Laa illaha illallah..

Aku terus berusaha menahannya seolah aku mampu menghentikan lepasnya ruh ibuku dari tubuhnya. Air mata tak terbendung. Aku menangis di telinga ibuku sambil terus mentalkinnya.

"Laa illaha illallah.."

Tapi apalah dayaku dibanding dengan malaikat yang bertugas mencabut nyawa ibuku pada saat itu. Aku menangisi kepergian ibuku, lalu aku meraih telepon menghubungi kakakku. Tak ada yang terucap hanya kata innalillahi wa innalillahi rojiuun..

Kakak langsung menyegerakan berkendara dan mendapati aku dan si bungsu tengah menangis.

Ya Allah berilah tempat terbaik bagi ibuku disisi Mu, ampuni segala dosanya, luaskanlah kuburnya, lindungilah dibuku dari siksa kubur dan siksa api neraka dan jadikanlah ibuku orang yang tergolong husnul khatimah.

Aamiin...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Aamiin ya robbal aalamiin

21 Jan
Balas

Amiin yra,artikel ibu..mengingatkanku pd almh.ibu mertuaku..trimakasih bu,..Al fateehah..utk alm/h ibu bpk kita

27 Jan
Balas

Bu Litaa hebat

21 Jan
Balas

MasyaAlloh. Ulasan yang penuh hikmah. Mari berbirrul walidain hingga saat-saat terakhir orang tua kita.

16 Jul
Balas



search

New Post