Ludiazzuhri

Guru di SDIT Al Fatih Cipayung Kota Depok Provinsi Jawa Barat. Seorang guru yang mulai kecanduan dengan dunia tulis menulis, ketika di amanahi sebagai PJ Litera...

Selengkapnya
Navigasi Web
Biola Yang Tak Lagi Bernada

Biola Yang Tak Lagi Bernada

Biola Yang Tak lagi Bernada

Oleh: Ludiazzuhri

Cerpen Persembahan untuk pak Budi

Rumah ini kini terasa sunyi. Kesunyiannya terlalu dalam menusuk hati. Suara Azzam, anaku yang kini berumur satu tahun dan mulai aktif berbicara, meskipun hanya beberapa suku kata, seringkali memecah lamunanku. Kutatap wajahnya yang tersenyum menggemaskan,"mama..mama..mama" ucapnya dengan senyum yang sangat girang. Seringkali air mata ini tak bisa dibendung ketika melihatnya. Dia yang tak mengerti apa - apa, harus menanggung kepedihan, dan tidak bisa merasakan kasih sayang dan kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Kejadian satu tahun yang lalu memang tidak mudah untuk bisa kulupakan. Walaupun sudah kucoba ikhlas, namun rasanya sungguh berat untuk mengikis semua kenangan bersamanya. Dia yang melamarku dengan keberanian hati, jiwa dan raga. Dengan penuh keyakinan dan kemantapan mengahadap ayah dan ibuku, memohon restu untuk meminangku menjadi pendamping hidupnya. Meskipun saat itu kondisi pekerjaan belum tetap. Seorang guru honorer. Namun melihatnya yang penuh dengan keyakinan untuk meminangku, membuatku yakin untuk menerima lamaranya. Perikahan kami cukup bahagia, terlebih di bulan ke enam kami diberi karunia yang diidam - idamkan oleh seluruh pasangan, aku hamil anak pertama. Semakin lengkap kebahagiaan kami. Suamiku begitu perhatian padaku dan bayi di perutku. Meskipun gaji guru honorer yang didapat tidaklah besar, namun tak pernah mengurangi rasa syukurku, karena memiliki suami sepertinya. Dia yang tidak pernah marah, menyayangiku sepenuh hati. Kemampuannya memainkan biola membuatnya sering mendapat panggilan untuk mengisi acara di event - event tertentu. Dan ini sangat membantu kami. Di saat honor dari sekolah belum keluar.

Sampai pada suatu hari aku mendapatkan suamiku pulang mengajar lebih cepat dari biasanya. “ Assalamu’alaikum…”. Terdengar suara suamiku mengetuk pintu depan. “ Wa’alaikumussalam”. Jawabku segera membukakan pintu untuk suamiku. Kusambut tangan suamiku, dan kucium punggung tangannya dengan takzim seperti biasanya. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Wajahnya terlihat pucat, dan lesu. “ Kenapa mas, tumben pulang lebih cepat, mas sakit?”. Tanyaku dengan nada khawatir. Karena tidak biasanya dia pulang secepat ini. Paling cepat biasanya jam empat sore baru sampai rumah. Kupegang jidatnya,tapi tidaklah panas. Suamiku tersenyum menanggapi kepanikanku. “ Nggak papa de…” jawabnya singkat. “ Aku tidur sebentar ya, rasanya capai sekali, di luar tadi panas banget”. Serunya dengan suara pelan.

Kutatap suamiku yang tidur bersandar di kursi. Wajahnya terlihat jelas beda dari biasanya, kelihatan lebih pucat. Kucoba tidak berfikir macam – macam. Mungkin dia masuk angin. Karena tiap hari harus mengendarai motor menuju sekolah tempat ia mengajar.

Menjelang ashar suamiku bangun dari tidurnya. Ia langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat ashar di rumah. Tumben, kataku dalam hati. Karena suamiku jarang sekali shalat wajib di rumah. Kalau tidak di sekolahan shalatnya selalu di masjid. “ Tumben mas shalatnya tidak di masjid?” tanyaku pelan. “ Kepala mas pusing de, ga papa shalatnya di rumah, kan tidak tiap hari”. Jawabanya dengan suara pelan. Kubuatkan teh hangat, siapa tahu dapat mengurangi rasa pusingnya. “ Memang penyebabnya apa mas, kok tiba – tiba mas kepalanya sakit, mas terjatuh dari motor?” tanyaku sedikit khawatir. “ Aku tadi dipukulin sama anak muridku de….”jawab suamiku lemah. Dan tiba – tiba suamiku muntah dan pinsan di pangkuanku. .Panik melandaku. Kutepuk – tepuk pipi suamiku. “ Mas..mas…bangun mas…”. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Segera kupanggil bibiku yang rumahnya selang dua rumah dari rumahku.

Aku dibantu paman dan bibiku membawa suamiku, ke puskesmas 24 jam terdekat. Namun pihak puskesmas merujuk untuk dibawa ke rumah sakit besar di kota. Rasa cemas dan sesak memenuhi ruang dada dan hati ini. Air mata sudah tak bisa terbendung lagi. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku hanya mampu beristighfar, dan memohon dalam hati, agar suamiku diberi keselamatan dan kesembuhan. Waktu terasa begitu lama, di dalam ambulance ini. Melihat suamiku yang tergeletak tak berdaya dengan wajah pucat di hadapanku. Paman dan bibiku selalu menenangkanku. “ Tenang dan sabar Shin…in sya Allah suamimu akan baik – baik saja.” Seru bibi menepuk – nepuk bahuku, berusaha memberi kekuatan. Namun bagaimana aku bisa tenang, melihat suamiku tergeletak dengan wajah yang pucat. Rasa cemas, takut bercampur dalam fikiranku.

Sesampainya di rumah sakit, Alhamdulillah perawat langsung sigap, dan membawa suamiku ke ruang UGD. “ Mohon maaf bu, ibu tunggu di luar ya!”. Seru perawat itu ramah. Aku menunggu di depan pintu UGD dengan perasaan tidak menentu. Lima belas menit kemudian tiba – tiba pintu UGD terbuka. Segera kuhampiri dokter yang keluar dari ruang UGD. “ Bagaimana kondisi suami saya dok?” tanyaku dengan tak sabar. Kutatap wajah dokter dengan cemas. “ Bagaimana dok…?”. Tanyaku sekali lagi. Terlihat dokter itu menarik nafas panjang. Kecemasanku semakin memuncak melihat ekspresi sang dokter. “ Maafkan saya bu, suami ibu mengalami patah pada batang otak, dan suami ibu tak bisa bertahan, maafkan saya tidak bisa menolong suami ibu, saya turut berduka cita”. Kata dokter itu menerangkan. Namun saat itulah tiba – tiba mataku menjadi gelap. Namun aku masih mendengar lamat- lamat, suara bibi dan pamanku, mengucapkan kalimat, innalillahi wainna ilaihi roji’un.

Ketika aku tersadar, aku sudah berada dalam kamar rumahku. Kulihat ibuku, bibiku, berada di samping tempat tidurku. Dan terdengar banyak orang di luar kamarku. “ Bu..ada apa ini, kok ramai, Mas Budi mana bu?”. Tanyaku lemas. Kulihat ibuku menitikan air mata. “ Kamu harus sabar nduk, kamu harus memikirkan kandunganmu, kamu harus kuat. Gusti Allah lebih sayang sama Budi suamimu, In sya Allah Budi dah tenang di sana”. Seru ibu sambil memeluku. Seketika air mata tak dapat kutahan. Aku bangun dan keluar menuju ruang tamu. Disana terlihat banyak orang mengelilingi sosok yang tertutup dengan kain. Doa – doa terlafadz dari mereka.

Perlahan kubuka kain jarik yang menutupi sosok yang sudah mendampingiku selama satu tahun tujuh bulan ini. Terlihat wajahnya tersenyum tenang. Kupeluk, dan kucium wajah suamiku yang dingin. ” Mas, kenapa kau tinggalin aku sendiri mas, bagaimana dengan anak kita nanti, dia pasti akan menanyakanmu mas” . Tanyaku lirih di telinganya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah suamiku tiada. Aku merasa sepi, hampa, dunia terasa gelap bagiku. Aku merasa tak habis pikir, kenapa kematian suamiku begitu tragis. Dia adalah orang yang tidak neko – neko. Penuh welas asih, kenapa muridnya begitu tega mengakhiri hidupnya. Kalaupun dia bersalah, sebesar apa kesalahannya, tak bisakah muridnya memaafkannya. Tidak taukah dia, di rumah ini ada aku dan calon anakku yang selalu menunggu kehadirannya.

Lamunanku tersentak, ketika anaku Azzam menarik – narik ujung bajuku. “ Mama…mama..mama..” celotehnya dengan tersenyum riang. Kucium pipinya yang montok dan berbau khas. “ Anak mama yang pintar dan sholeh, tetap sehat ya, kalau sudah besar nanti, jadilah seorang yang bermanfaat untuk banyak orang seperti almarhum papamu”. Ucapku lirih. Memang semenjak suamiku meninggal dengan cara yang tragis, aku merasa tidak punya harapan. Duniaku terasa mati. Hanya Azzamlah yang menjadi penyemangat hidupku. Senyumnya memberiku harapan baru.

Kematian suamiku yang disebabkan oleh muridnya sendiri., saat itu ramai dibicarakan orang, dan menjadi viral di berbagai media. Karena suamiku seorang guru, meskipun hanya guru honorer. Karena viralnya kisah suamiku di akhir hidupnya, membuat guru – guru di seluruh pelosok negeri merasa empati dan memberi dukungan kepadaku dan anakku. Bahkan dukungan dari pemerintah juga hadir. Disini aku merasa keberkahan profesi seorang guru, bahkan sampai akhir hidupnya. Namun kerinduan akan kehadiran suami di sisiku terkadang tak bisa membohongi hatiku. Terlebih di saat bulan – bulan pertama, suamiku meninggal. Aku dalam keadaan hamil, yang dari psikologis sangat sensitif. Membuatku terkadang merasa putus asa.

Kehadiran Azzam dalam dunia ini, membawa sedikit perubahan dalam hidupku. Semangat hidupku semakin bangkit untuk menjaga Azzam. Biola kesayangan suamiku yang setahun ini tersimpan rapi di tempatnya kini tak lagi terdengar nadanya. Dulu di saat aku ngambek ia menghiburku dengan irama biolanya. Namun setelah kepergian suamiku, biola itupun tak lagi terdengar nada dan iramanya. Dia seolah – olah ikut merasa kehilangan tuannya, diam dan membisu. Kini nada itu keluar dari Azzam anaku. Celotehanya ibarat nada yang indah, yang selalu menghiburku, di saat kurindu dengan masa lalu.

Rumahku 10022018

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerdas bu...menceritakan dari sisi seorang istri yg berduka...

10 Feb
Balas

Terima kasih bu, karena sudah banyak, artikel dan puisi tentang almarhum, jadi terinspirasi bikin cerpen tentang beliau.

10 Feb

Menyentuh hati..

10 Feb
Balas

Terima kasih bu..

10 Feb

tersentuh hati saya bu

10 Feb
Balas

Terima kasih bu.. nulisnya saya juga betkaca-kaca..

10 Feb

Jadi haru, Mbk. Salam kenal, ...Salam LITERASI ... !!!

10 Feb
Balas

Terima kasih bu, salam literasi...!

10 Feb

Mata sempat basah ...

10 Feb
Balas

Usaplah air matamu pak... he.. he..

10 Feb

Mata sempat basah ...

10 Feb
Balas



search

New Post