LUFTIA HANIK

Lahir di kota Wali Demak Jawa Tengah sebuah Kota Religius yang santun. Domisili di kota Semarang. Suami asal Malang. Berputra 2 anak, si sulung lulusan sarjana...

Selengkapnya
Navigasi Web
MATEMATIKA, MOMOK BAGI SISWA

MATEMATIKA, MOMOK BAGI SISWA

Matematika ? Oh tidak. Demikian hampir sebagian besar siswa sekolah itu menolak. Siswa menganggap matematika itu sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan. Seakan-akan seperti musuh yang harus dibinasakan. Identik sebagai pelajaran horror. Malah sebagian siswa yang lain mengatakan sangat menyebalkan, menguras pikiran, super rumit, njilmet, bikin bete, dan bikin stress. Bahkan jika berjumpa dengan pelajaran matematika bagaikan bertemu hantu yang menyeramkan. Ada juga siswa yang dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya hanya karena nilai matematikanya jeblok. Bagi siswa yang tidak suka matematika, mata pelajaran ini dianggap momok. Sehingga, mereka akan malas-malasan belajar dan akhirnya mendapat nilai yang jelek.

Ada pula yang membuat plesetan matematika menjadi mati-matian. Apa iya sampai seperti itu ? Padahal Matematika merupakan kunci dari semua pelajaran sains, baik itu Fisika, Ekonomi, Akuntansi dan Kimia. Karena pelajaran tersebut tidak akan dapat di pahami tanpa mempelajari terlebih dahulu dasarnya yaitu matematika. Mengapa matematika begitu menakutkan ? Apakah ada sesuatu yang salah ?

Menurut cerita para siswa, guru matematika sering diidentikkan sebagai guru killer. Berkaca mata tebal, memasang wajah seram, kurang senyum, kurang komunikatif dan interaktif. Kalau bicara juga tanpa basa basi, guru yang paling jarang meninggalkan jam pelajaran. Guru matematika sudah dicap oleh siswa paling sering memberi tugas / Pekerjaan Rumah (PR), sering memberi hukuman yang sadis serta berbagai hal yang kurang disukai siswa. Yang pada akhirnya membuat siswa jadi tambah sebel dan ingin pelajaran matematika terhapus dari kehidupannya.

Berikut ada pengalaman menarik saat saya masih duduk di bangku SD kelas 5. Saat itu wali kelas juga sebagai guru kelas. Ketika pelajaran matematika guru saya lebih senang mengajar dengan cara mendongeng dan menjelaskannya sambil duduk tanpa mau beranjak dari tempat duduknya. Beliau juga tidak menjelaskan step by step, malah siswa diminta untuk membaca sendiri bukunya. Untunglah, ketika di kelas 6, wali kelas digantikan oleh guru yang mengajar dengan metode yang lebih menyenangkan. Bagi siswa yang berkemampuan kurang akan diminta duduk di kursi yang paling depan, demikian juga siswa yang berkaca mata minus dan yang pendengarannya kurang. Cara mengajarnya pun asyik sehingga siswa bisa menikmati pelajaran. Beliau mengajarkan step by step, mengajari para siswa dengan sabar serta melibatkan siswa yang cerdas untuk membantu temannya yang membutuhkan bantuan.

Ketika duduk di bangku SMP, ada juga pengalaman yang tak kalah menarik . Guru matematika saya saat itu tergolong unik. Di awal pembelajaran beliau selalu mengawali dengan tanya jawab. Yang mana beliau sudah menyiapkan penghapus yang penuh dengan bedak kapur. Jika siswa salah menjawab, maka pipi atau bagian muka akan menjadi sasarannya. Di bedaki pakai penghapus. Terkadang pula beliau akan memberikan hukuman dengan memukulkan siku ke meja. Lumayan keras, hingga membuat siswa hanya bisa meringis. Kalau ada siswa yang bisa menjawab benar tetapi tidak bisa menjelaskannya, hukuman menjadi dua kalinya. Padahal tidak bisa menjawab, bukan karena tidak bisa menjelaskan jawaban, melainkan karena sudah ketakutan dengan penghapus yang sudah di depan mata. Hi….buyarlah apa yang telah dipelajari dan dipersiapkan. Dibedaki pakai penghapus dan siku dipukulkan ke meja. Gara-gara bungkam ga bisa jelasin, malah dapat hukuman dua-duanya. Sungguh tragis ! Sebenarnya beliau berniat baik, siswa harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang diucapkan. Tapi caranya itu lho yang tidak disukai para siswa. Wow…sakitnya tuh disini pak, di bagian siku tangan.

Ketika akan ada pelajaran Matematika, sering suasana menjadi seram mencekam. Untuk menghadapi hal ini beberapa teman ada yang mempersiapkan diri sebaik-baiknya sambil dihantui rasa takut. Namun ada pula yang tidak peduli, mereka yang tergolong cuekisme. Akhirnya hasilnya pun tidak bisa maksimal.

Ada pengalaman lain lagi yang terjadi pada anak saya (Ozi). Ketika itu Ozi masih duduk di bangku SD kelas 4. Dia pernah mendapat PR matematika. Saya pun mencoba mengajarinya, karena saya juga guru matematika. Namun Ozi tidak bersedia dengan cara yang saya ajarkan. Dia minta harus memakai cara seperti yang diajarkan gurunya. Okey ga masalah. Saya pun melanjutkan untuk mengajarinya seperti gaya gurunya. Di hari berikutnya, setelah saya amati dan cermati PR Ozi, ternyata pekerjaannya yang seharusnya betul tetapi oleh gurunya di salahkan. Saya pun heran, namun setelah saya cek sekali lagi, saya tahu maksud gurunya itu. Saya ajak Ozi untuk mengoreksi bersama-sama PR tersebut. Akan tetapi dia malah membela gurunya. Intinya Ozi dapat menerima kesalahan itu. Padahal bukan itu maksud saya. Sesuatu yang benar tetapi disalahkan. Ini akan sangat berbahaya. Jangan sampai, membenarkan konsep yang salah. Di mata anak-anak, gurunyalah yang serba benar. Anak akan lebih percaya pada gurunya dibanding dengan orang tuanya. Akhirnya saya pun mengalah, Karena Ozi tidak mau melanjutkan belajarnya. Dalam hati saya, kesalahan seperti ini tidak boleh dibiarkan. Akhirnya saya berniat akan menemui gurunya di sekolah esok hari.

Saat saya mengantar Ozi berangkat sekolah, saya mencoba untuk menemui gurunya. Setelah saya sampaikan maksud kedatangan saya, dan berbincang-bincang sebentar. Kamipun melanjutkan dan benar apa yang terjadi. Gurunya ternyata bisa memahami koreksi dari saya. Bahkan gurunya berterima kasih atas koreksi saya. Malah gurunya berpesan, jika kerjasama ini sangat dibutuhkan demi sebuah kebenaran. Saya sangat bersyukur, gurunya mendukung usaha saya ini. Sesama guru, apa salahnya kalau kita saling mengingatkan. Pemahaman konsep harus ditanamkan sejak dini dengan benar supaya pada tingkat lanjut tidak menjadi masalah. Semua ini kan demi anak-anak kita juga.

Jika siswa sudah merasa takut maka siswa akan malas menekuni pelajaran tersebut bahkan sebisa mungkin menghindari / kabur, karena merasa tidak nyaman dan tertekan. Akibat yang paling burukpun siswa hanya bisa pasrah. Lebih baik dihukum daripada berpusing-pusing mempersiapkan dirinya.

Saling koreksi merupakan hal yang biasa, karena semua ini demi orang-orang yang kita cintai. Mengapa harus malu menerima masukan dari pihak lain ? Kalau kita mengetahui sebuah kesalahan lalu membiarkannya saja, apa yang akan terjadi ? Semuanya akan terrekam dalam otak siswa dan akan diingat sepanjang hayatnya. Ini akan lebih berbahaya, salah konsep sejak awal. Dan akan sulit untuk diubah.

Dari pengalaman mengajar selama hampir 20 tahun, banyak hal yang saya temui di lapangan dan ternyata ada beberapa factor yang menyebabkan siswa menganggap matematika menjadi momok.

Pertama, Kemampuan menghitung yang rendah antara lain kurangnya latihan. Siswa cenderung meremehkan dan tidak membutuhkan. Maunya yang serba mudah dan instan. Daya juang, semangat dan motivasinya masih kurang.

Rasa ingin tahunya pun rendah karena siswa dimanjakan dengan situasi. Kebiasaan berpikir simple dan mudah akibatnya saat siswa menghadapi permasalahan yang tidak dapat dipikirkan secara sederhana, mereka akan menganggap soal tersebut sulit.

Dan yang lebih parah lagi, mereka lebih asyik dengan gadgetnya dari pada harus berlatih menghitung yang menurut mereka membosankan.

Kedua, mindset yang salah tentang matematika. Pelajaran matematika dianggap pelajaran mati-matian, dan seram. Baru mendengarnya saja, beberapa siswa ada yang mencibir sinis. Terkada jika ada siswa yang senang matematika, malah menjadi bahan ejekan mereka, kata mereka sok pintar. Ucapan-ucapan miring seputar matematika juga ikut memperparah pandangan siswa terhadap matematika. Tidak sepantasnya mereka para orang tua yang traumatic tentang matematika, lalu mewariskan kepada anaknya tentang paradigma yang kurang pas itu yang pada akhirnya menimbulkan apriori bagi mereka.

Ketiga, guru matematika yang killer. Pengalaman yang pernah dialami siswa pada masa lalu akan direkam dan diingat seumur hidupnya serta sulit untuk dilupakan. Selalu teringat bagaimana gurunya saat itu memberi hukuman yang terkadang kurang manusiawi. Cara mengajarnya yang tidak menarik. Sosok yang menyeramkan, galak, identic sebagai guru yang memberi hukuman yang sadis. Pola-pola semacam itu harus di ubah, agar trade mark yang telah terlanjur menempel di dada para guru matematika ini berbalik menjadi kenangan indah buat para siswanya.

Keempat, metode mengajar yang tidak benar. Harus ada upaya dari para guru, menerapkan metode yang tepat. Belajar matematika lebih membutuhkan cara berpikir, menganalisa, memahami konsep dasar dari sekadar menghitung. Dengan cara mendongeng atau sekadar membaca, bukanlah cara yang pas. Namun berbeda jika matematika disajikan dalam bentuk yang variative.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

sebagai guru matematika. rasanya sudah semua metode kusampaikan. tapi ya itu.... hasilnya tetep tak menggembirakan

07 Jul
Balas

Agar tak menjadi momok..,pake metode pujangga ja bu.hehe..,krn 1+1=2+0=3...hehehehe

30 Mar
Balas

Fantastis...itulh uniknya mat...

30 Mar



search

New Post