madu ratnawati

Lahir di Prabumulih 1 Oktober 1964, dari bapak ibu asal Madura. Sejak kecil memang bercita-cita menjadi seorang guru dan tetap senang menjadi guru. Tidak pernah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Merah

Merah

Suatu ketika aku minta anakku mengambilkan dompet di tasku.

“Dik, tolong ambilkan dompet mama di dalam tas ya?”

“Tas yang mana, ma?” tanya anakku.

“Tas warna merah” jawabku.

“Ma, tas mama semuanya warna merah” seru anakku sambil tertawa.

Kejadian itu sudah berlangsung sekian tahun yang lalu dan selalu menjadi bahan bercandaan sampai sekarang. Ya, aku sempat maniak dengan warna merah.

Apa warna kesukaanmu? Merah? Biru? Hijau? Wah seperti warna pelangi di lagu Pelangi-Pelangi ya? Itu memang warna-warna primer. Demikian penjelasan pak guruku ketika aku masih bersekolah dulu. Penjelasan itu masih melekat hingga sekarang. Tetapi kesukaan atas warna tertentu tidak hanya bisa dipelajari di sekolah. Pengalaman berkesan, pengetahuan, hingga pengaruh dari lingkungan sekitar juga bisa menjadikan warna tertentu menjadi kesukaan kita. Bahkan, dari sisi psikologi, warna kesukaan bisa menggambarkan kepribadian seseorang loh.

Merah. Itu warna kesukaanku. Mengapa merah? Buatku, merah adalah warna yang menunjukkan semangat, gairah, dan keberanian. Ketika aku mengoreksi tugas anak-anak muridku, atau ulangan tertulis di kertas ulangan, warna merah menjadi pilihan tepat untuk menandakan hasil koreksian. Menegaskan jawaban yang salah atau benar, dan menegaskan skor penilaian. Ketika memindahkan hasil koreksian menjadi lebih mudah melihat nilai yang tertera di kertas koreksian. Tapi sekarang tidak lagi bisa mengoreksi dengan fulpen warna merah. Semua sudah berupa koreksian di file dengan aplikasi tertentu. Ada yang kurang dari model koreksian seperti ini. Tidak bisa leluasa mencoret-coret lagi, tidak ada lagi kebutuhan membeli fulpen warna merah. Sekarang dibutuhkan kuota internet dan mata yang sehat karena harus siap terpapar sinar dari gadget.

Tetapi fulpen warna merah tidak berlaku buat anak muridku saat mereka mengerjakan tugas atau ulangan, kecuali untuk keperluan menggambar. Kalau mereka menulis menggunakan warna merah, aku kembalikan untuk diganti warnanya, karena warna merah menandakan kemarahan. Jadi penempatan warna merah akan berbeda arti ketika digunakan untuk hal-hal tertentu dan oleh orang-orang tertentu.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mencoba menyukai warna-warna lainnya. Situasi dan kondisilah yang memaksaku demikian. Kata-kata “Hidup ini hanya sekali. Maka sukai banyak hal termasuk warna” pun seringkali kudengar. Suatu ketika aku bepergian jalan-jalan bersama beberapa teman. Kebetulan kali ini adalah teman-teman baru yang kutemui di sebuah pelatihan. Sebagai bentuk kekompakan dan keseruan perjalanan, kami merancang warna baju dan jilbab yang harus kami gunakan. Ternyata temanku menentukan warna kuning dan merah. Semua setuju. Tinggal aku yang kaget dengan ketentuan tersebut. Baiklah, merah memang kesukaanku dan semua ada di lemariku, baju, jilbab, rok atau celana panjang, hingga sepatu pun aku punya warna merah. Tetapi dipadukan dengan warna kuning? Bahkan tidak satupun baju, jilbabku berwarna atau bernuansa warna kuning. Itu warna yang selama ini aku hindari. Singkat cerita terpaksalah aku memesan baju berwarna kuning agar aku bisa menggunakan jilbab warna merahku. Pesananku itu membelalakkan mata temanku yang biasa menjual baju kepadaku, apa? Kuning? Gak salah? Ha ha….

Aku sangat tidak percaya diri saat menggunakannya, apalagi padanan warnanya tidak mencerminkan kepribadianku. Tetapi begitu kami berkumpul beramai-ramai, ternyata warna merah dan kuning itu menjadi bagus dan cerah. Sejak itulah aku mulai mengubah pola pikir dan pandanganku terhadap warna. Sekalipun tidak kemudian kuning menjadi kesukaanku.

Tibalah saatnya pengambilan foto untuk buku kenangan murid-muridku kelas 12. Aku menggunakan kebaya warna ungu. Salah satu warna yang kupikir aman untuk menggantikan warna merahku dan membuatku lebih percaya diri saat difoto. Di akhir perpisahan kami, ada orang tua murid yang bersikeras memberiku hadiah kenang-kenangan. Baiklah karena muridku sudah lulus, aku menerimanya. Dikirimkan lah hadiah tersebut ke rumahku. Ketika dibuka, ada sepucuk surat pendek, “Bu, semoga ibu berkenan menerima kenang-kenangan ini. Saya pilihkan sesuai dengan warna kesukaan ibu” aku tersenyum tertahan, karena hadiah yang dimaksud berwarna ungu. Alhamdulillah, artinya aku bukanlah orang yang mudah ditebak ya. Atau justru menjadi pertanda baik bahwa aku sudah mulai dikenal sebagai orang yang bukan merah.

Jakarta, 8 November 2020

MadhoeLibranagavenus

(menulis kembali, hari kedua)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post