Obrolan pagi bersama laki-laki yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah. Seolah tiap pagi menjadi tempat bercerita satu sama lain. Nampaknya lebih mengalir bercerita di atas kendaraan roda dua yang membawa saya sampai di sekolah.

Pagi itu saya berkeluh kesah soal tesis yang tak kunjung selesai padahal sudah lewat dari yang seharusnya dan sudah enggan untuk membayar lagi. Selain itu, seperti tertekan harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulai.

Puas berkoar-koar melontarkan segala uneg-uneg mengenai hambatan menyelesaikan tesis. Laki-laki itu dengan santainya bilang, “ayolah relaks sejenak, menulis itu bukan hal yang bisa dipaksakan, menulis itu butuh ketenangan hati dan jiwa, tanpa tekanan, dan kamu pasti bisa selesai, karena memang kamu sudah punya modal untuk menulis, tidak seperti AA yang cuma bisa ngomong.”

Diam sesaat, mencerna dengan baik apa yang keluar dari mulutnya. Suasana masih pagi dengan jalanan yang relatif kosong tanpa kemacetan, membuat saya tersadar bahwa apa yang dikatakan laki-laki itu memang benar. Mungkin selama ini saya belum santai dalam menjalani hidup, terlalu banyak yang saya tuntut pada kehidupan, sementara kehidupan tak pernah menuntut apa-apa dari saya. Seolah semua yang saya inginkan bisa selesai tepat waktu, padahal kenyataan hidup tak selamanya berpihak pada kita bukan?

Santai sejenak, menikmati kehidupan yang dipunya, berpikir bahwa kebahagian bukan hanya sekedar menuntaskan satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Tesis oh tesis, kata yang menyita pikiran dengan segala hal yang menyertainya. Mencoba membuatnya seringan mungkin layaknya sebuah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya, mencicipi kuliner yang belum pernah dirasakan, atau membaca jurnal ilmiah seperti membaca novel.

Selesai tesis merupakan salah satu daftar bahagia saya. Suatu saat waktu yang membagiakan itu akan tiba.

Peserta Pelatihan Menulis Sagusabu DKI-2