Memilih Berbaik Sangka (Tagur H12)
Hari ini kakak belum juga datang. Biasanya sambil berangkat kerja paginya kakak biasanya datang. Setor muka. Kalau pagi pas berangkat belum sempat, kakak memilih siang di saat jam makan mampir ke rumah. Atau paling telat, ya sebelum pulang ke rumahnya yang sekarang, kakak akan menjenguk ibu jika pada dua waktu tadi tidak ada waktu.
Pekan ini serasa berbeda. Pasca dinyatakan positif covid, kakak menjalani isolasi mandiri di rumahnya bersama istrinya. Kakak juga waktu itu ijin tidak bisa menjenguk ibu setidaknya selama dua pekan. Isolasi mandiri potif covid tanpa gejala sebetulnya biasanya 10 hari. Kakak juga menyampaikan hal itu. Tapi katanya dia mau Ibu aman, jadi palingan akan jenguk setelah dua pekan. Dan benar sih, dua pekan setelah itu kakak datang ke rumah menjenguk Ibu. Tapi belum berani cium tangan Ibu. Belum berani dekat-dekatan sama Ibu. Aku melihat mereka berdua ngobrol di kursi berseberangan. Itupun hanya sebentar. Tak lebih dari lima menit. Hanya memang pekan setelah kakak menjenguk terakhir, tak nampak lagi kakak datang mengunjungi Ibu. Padahal aku tahu dia bekerja seperti biasa. Kadang juga mengunggah status saat bekerjanya di medsos.
Aku sebetulnya enggan melakukan apa-apa, enggan menegur kakak lewat wshatsapp. Aku masih berpikir mungkin tugas di tempat kerjanya tak memungkinkan kakak menjenguk Ibu setelah dua pekan dari kedatangan terakhirnya. Tidak juga ingin menyindirnya di group whatsapp keluarga. Kakak termasuk aktif merespon setiap berita di group whatsapp keluarga, meskipun hanya emoticon.
Dua pekan kakak tidak datang, kian lama ada yang kian menggelitik. Dulu awal menikah, janjinya akan bermalam di rumah ibu setiap akhir pekan. Sekarang tidak lagi. Penjelasannya juga tidak ada, kecuali alasan isolasi mandiri lantaran covid. Lebih menggelitik lagi kalau aku melihat Ibu suka duduk di ruang tengah di jam-jam kakak datang ke rumah. Sesekali menoleh ke arah pintu. Seolah menunggu sesuatu. Menurut dugaanku, Ibu pasti mengharapkan kakak datang seperti biasa.
Hari ini puncaknya hatiku berasa menggelitik. Aku melihat Ibu lebih pendiam belakangan. Kalau ditanya hanya menjawab pendek-pendek. Aku berencana menegur kakak, jika siang ini tidak juga mampir ke rumah.
“Bu, kakak sekarang jarang mampir ya?” aku mencoba melempar umpan ke Ibu yang membaca Al-Qur’an selepas sholat Zuhur.
“Nanti juga kalau lebih enak, kakak pasti mampir.”
“Lebih enak bagaimana?’
“Kalau Dede perasaannya sama kakak sudah lebih enak.”
Deg.
Oh ini urusannya dengan perasaanku?
Aku melihat air muka yang tenang itu kembali ke lembaran Al qur’an.
Aku mengambil handphone sambil berpikir apa maksud Ibu dengan perasaan sudah lebih enak? Aku masih menimbang-nimbang menegur kakak. Tujuanku toh baik, mengingatkan kakak dengan kewajibannya. Aku berpikir keras mencari kata-kata teguran yang pantas. Namun urung ketika suara Ibu terdengar lagi,
“Tak ada salahnya memilih berbaik sangka, De.”
Baru saja menghilang suara Ibu, tiba-tiba ada suara salam dari pintu depan. Suara khas kakak. Aku tertegun. Ibu ternyata sedang memilih berbaik sangka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus narasi ceritanya. Memang dianjurkan untuk selalu berbaik sangka. Salam kenal dari Bumi Multatuli. Follow ya...! Salam sehat dan sukses selalu.