Sakuroh

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

peluang dan tantangan pendidikan sekolah tinggi di era disrupsi

Pada 1950-an atau mungkin awal 1960-an, Prof. Wertheim, ahli sosiologi Belanda terkemuka, pernah menulis artikel berjudul “Betting on

the strong or on the many”. Manakah yang harus dipilih Indonesia yang

tertinggal dalam dunia pendidikan dan keilmuan? Untuk itu, Wertheim

sampai juga pada kesimpulan sambil memahami keputusan Indonesia

yang cenderung memilih “jumlah yang banyak”, bukannya “kualitas

yang tinggi”. Bisalah dimengerti juga kalau pada 1950-an Sekolah Guru

B (SGB), yang menerima murid-murid tamatan sekolah dasar (dulu disebut sekolah rakyat/SR), adalah sekolah untuk mendidik calon guru SD.

Sementara itu, Sekolah Guru A (SGA), yang menerima tamatan sekolah menengah pertama, adalah sekolah untuk calon guru SMP. Tamatan

Kursus B, yang menerima tamatan sekolah menengah atas, adalah calon

guru SMA. Bagaimana universitas? Mungkin sudah sejak 1953 pemerintah memperkenalkan program penempatan tenaga mahasiswa sebagai

guru SMA. Setelah lulus C1—jadi lulus tingkat satu—mahasiswa yang

lulus tes dimungkinkan untuk menjadi guru SMA di luar Jawa selama

tiga tahun. Setelah itu, mereka kembali ke fakultas lama sebagai mahasiswa ikatan dinas. Terlepas dari tingkat keberhasilan mereka sebagai guru,

sebuah catatan kaki bisa juga diselipkan—lumayan juga jumlah mereka

yang kembali ke universitas dengan membawa “nyonya”. Untuk itu, ternyata program Pengerahan Tenaga Mahasiswa tidak hanya telah berjasa dalam proses pelebaran jaringan sekolah menengah, tetapi juga ikut

menyumbang dalam proses nation building—kawin antaretnis semakin

lancar saja.

Usaha yang paling serius barulah terjadi pada akhir 1956. Pada waktu inilah Wakil Presiden Mohammad Hatta membuka dengan resmi universitas pertama di luar Pulau Jawa—Universitas Andalas, Padang. Setelah

itu, menyusul peresmian berdirinya Universitas Sumatra Utara, Medan,

dan Universitas Hasanuddin, Makassar. Peristiwa ini terjadi setelah fakultas teknik di Bandung telah dipisahkan dari Universiteit van Indonesia

untuk menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Fakultas Pertanian

di Bogor menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Pokoknya, penambahan jumlah orang yang terdidik dan penyebaran jaringan sekolah seluas

mungkin adalah keharusan yang tidak diperdebatkan. Namun, sampai

1958/1959, profesor Belanda masih tampil di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Bogor. Setelah itu, sampai awal 1960-an, Fakultas Ekonomi UI

mempunyai hubungan dengan University of California, Berkeley. Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada dengan University of Wisconsin,

Madison, Amerika Serikat.

Kalau dunia universitas diperhatikan, situasi dilematis terjadi juga.

Sampai pertengahan 1970-an, universitas masih memakai sistem kontinental—artinya studi bebas. Datang atau tidak ke ruang kuliah dan

mempelajari bacaan wajib atau tidak, terserah pada sang mahasiswa.

Oleh karena itu, janganlah heran kalau mereka yang akhirnya lulus dari

perguruan tinggi bisa dikatakan adalah “orang pilihan”—artinya mereka boleh dikatakan orang-orang yang rajin dan serius. Janganlah lupakan pula bahwa bahkan keikutsertaan ujian (testimonium, tentamen, dan

examen) lebih sering ditentukan oleh kesediaan dan persiapan pribadi.

Ketika mereka akhirnya tamat, janganlah heran kalau tak jarang mereka

pulalah yang tampil menjadi dosen agar kelangsungan hidup perguruan

tinggi terjaga juga. Namun, bagaimanakah mutu dan tingkat kemampuan

akademis mereka? Sayang, pertanyaan ini tak relevan dengan tuntutan

zaman. Sebab, yang penting ialah kesediaan membagi ilmu pengetahuan.

Jadi, bukanlah hal yang aneh kalau banyak juga dosen yang sejak mulai

mengajar sampai pensiun tidak menghasilkan apa-apa yang bersifat keilmuan, baik yang tertulis (theory atau methodology) maupun penemuan

(discovery dan invention, bahkan juga innovation).

Barulah pada 1970-an sistem kontinental digantikan oleh sistem Amerika”—artinya kuliah tidak lagi bebas. Kehadiran dalam kuliah

menjadi salah satu ukuran dalam penentuan nilai. Kenaikan tingkat didasari hasil ujian yang diselenggarakan pada waktu yang telah ditentukan.

Semua telah serba-terpimpin. Ketika inilah pula jumlah tamatan universitas luar negeri bertambah banyak. Namn, gaji tetap kecil dan kecukupan gaji—seperti waktu-waktu sebelumnya—masih harus juga ditutup

dengan mengajar di sana-sini, terutama di universitas swasta yang telah

mulai tumbuh. Tidak kurang pentingnya ialah keakraban formal dengan

ideologi pembangunan Orde Baru. Segala sesuatu harus mempunyai arti

dalam dinamika pembangunan bangsa. Untuk itu, ditentukanlah pula

bahwa setiap kementerian/departemen harus mempunyai “badan penelitian dan pengembangan”. Bahkan, pusat-pusat penelitian nasional, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang sejak awal diharapkan menjadi lembaga penelitian yang mementingkan penemuan baru

(discovery dan invention) dan penelitian dasar (basic research atau goaloriented research), dibawa ke dalam alur berpikir akademis yang bersifat

developmental. Masalahnya tentu saja muncul di dunia ilmu pengetahuan. Bukankah ilmu pengetahuan sewaktu-waktu harus meninjau ulang

landasan teorinya dan bahkan juga merevisi sistem penelitian? Begitulah

jadinya. Kemandekan dalam dunia keilmuan tidak terhindarkan. Ilmu pengetahuan sebagai a system of scientific knowledge telah dikalahkan oleh

keharusan dan sikap developmentalism. Kecenderungan ini bertambah

kuat juga karena “kemandekan” dalam wawasan teori ini ternyata bisa

terlebur dalam kenyataan finansial yang lebih menguntungkan. Asalkan

ada koneksi yang strategis, para ilmuwan dengan mudah bisa tampil sebagai “kontraktor”—hasil penelitian didapatkan, tetapi perkembangan

dalam keterampilan teknis penelitian dan kedalaman wawasan akademis

mengalami kemandekan

Referensi:

https://www.ui.ac.id/peluang-dan-tantangan-pendidikan-tinggi-indonesia-era-disrupsi/

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post