Ah, sedih rasanya.

Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.

Dunia sastra Indonesia berduka. Wardiningsih binti Sungkono, istri dari sastrawan senior Sapardi Djoko Damono meninggal dunia sore ini (17/2) pukul 14.00 WIB, di Rumah Sakit Hermina, Jakarta.

Rumah duka: Jalan Kalimantan nomor 135 Perumnas Depok Utara Beji.

Siapa yang tak mengenal SDD?

Remaja tanggung yang baru mengenal monyet, eh cinta monyet pun mengutip puisinya sebagai rayuan maut.

AKU INGIN

oleh Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu

kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan

kepada hujan yang menjadikannya tiada

******

Atau puisi lainnya.

*******

YANG FANA ADALAH WAKTU

SDD

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa.

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.

Kita abadi.

********

Atau puisi yang ini:

******

Pada Suatu Hari Nanti

SDD

Pada suatu hari nanti

jasadku tak akan ada lagi…

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau tak akan kurelakan sendiri…

Pada suatu hari nanti

suaraku tak terdengar lagi…

tapi di antara larik-larik sajak ini

kau akan tetap kusiasati…

Pada suatu hari nanti

impianku pun tak dikenal lagi…

namun di sela-sela huruf sajak ini

kau tak akan letih-letihnya kucari…

*******

Kata saya:

Mari kita bersyukur pada sosok Wardiningsih. Istri Sapardi Djoko Damono. Tanpanya, puisi itu bisa jadi lain diksi dan ceritanya.

Wardiningsih, perempuan jelita. Sesungguhnya adalah cinta lokasi SDD saat kuliah. Ia adalah adik kelas SDD saat kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Mereka menikah pada tahun 1965.

Meskipun ia adalah sumber inspirasi dari banyak puisi dan karya sastra dari SDD, Wardiningsih bukanlah pencinta sastra. Ia tak suka dan tak pernah tertarik pada puisi.

Bahkan jadi rahasia para pekerja sastra dan berita, ia jarang sekali ikut dalam kegiatan suaminya, saat berkaitan dengan kepenulisan dan sastra.

Ia memang pernah ikut saat penerimaan hadiah, saat buku puisi suaminya, yang berjudul Sihir Hujan, memuat 51 sajak, dianugerahi “Puisi Putra II” dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) di Malaysia tahun 1983.

Sebelum dan sesudahnya, ia tak pernah mau diajak menghadiri acara sastra karena memang ia tak suka sastra.

Aneh tapi nyata.

Istri seorang penyair besar tak tertarik dengan puisi, sementara ribuan orang, muda-mudi, tua-muda menjiplak puisi untuk kekasih mereka. Padahal puisi itu sesungguhnya ditulis hanya untuknya~Wardiningsih.

Saya sendiri sungguh kagum luar dalam pada mereka berdua.

Surga. Surga. Surga. Untuknya yang luar biasa. Wardiningsih yang selalu iktikamah.

Berikut ini beberapa karya Supardi Djoko Damono yang saya tahu.

Fiksi (Puisi serta Prosa)

“Duka-Mu Abadi”, Bandung (1969)

“Lelaki Tua dan Laut” (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)

“Mata Pisau” (1974)

“Sepilihan Sajak George Seferis” (1975 ; terjemahan karya George Seferis)

“Puisi Klasik Cina” (1976 ; terjemahan)

“Lirik Klasik Parsi” (1977 ; terjemahan)

“Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak” (1982, Pustaka Jaya)

“Perahu Kertas”(1983)

“Sihir Hujan” (1984 ; memperoleh penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)

“Water Color Poems” (1986 ; translated by J. H. McGlynn)

“Suddenly the night : the poetry of Sapardi Djoko Damono” (1988 ; translated by J. H. McGlynn)

“Afrika yang Resah” (1988 ; terjemahan)

“Mendorong Jack Kuntikunti : Sepilihan Sajak dari Australia” (1991 ; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama dengan R : F : Brissenden serta David Broks)

“Hujan Bulan Juni” (1994)

“Black Magic Rain” (translated by Harry G Aveling)

“Arloji” (1998)

“Ayat-ayat Api” (2000)

“Pengarang Telah Mati” (2001 ; kumpulan cerpen)

“Mata Jendela” (2002)

“Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?” (2002)

“Membunuh Orang Gila” (2003 ; kumpulan cerpen)

“Nona Koelit Koetjing : Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an – 1910an)” (2005 ; salah seorang penyusun)

“Mantra Orang Jawa” (2005 ; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)

“Before Dawn : the poetry of Sapardi Djoko Damono” (2005 ; translated by J. H. McGlynn)

“Kolam” (2009 ; kumpulan puisi)

“Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita” (2012)

“Namaku Sita” (2012 ; kumpulan puisi)

“The Birth of I Lagaligo” (2013 ; puitisasi epos “I La Galigo” terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama dengan John McGlynn)

“Hujan Bulan Juni : Sepilihan Sajak” (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak mulai sejak 1959, 2013 ; kumpulan puisi)

“Trilogi Soekram” (2015 ; novel)

“Hujan Bulan Juni” (2015 ; novel)

Nonfiksi

“Sastra Lisan Indonesia” (1983), ditulis bersama dengan Subagio Sastrowardoyo serta A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.

“Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan”

“Dimensi Mistik dalam Islam” (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel “Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.

“Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia” (2004), salah seorang penulis.

“Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas” (1978).

“Politik ideologi dan sastra hibrida” (1999).

“Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” (2005).

“Babad Tanah Jawi” (2005 ; penyunting bersama dengan Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).

“Bilang Begini, Maksudnya Begitu” (2014), buku apresiasi puisi.

Ia juga menerjemahkan karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia. Sangat renyah dan jernih.

Jernih dan sederhana adalah dua kata untuk Sapardi Djoko Damono.

Cinta dan inspirasi adalah dua kata saya untuk istrinya_ Wardiningsih yang mempesona. Selamat jalan, Bunda.

Tinaro, 17 Februari 2019

No Ea!

Diolah dari berbagai sumber.

Foto bawah milik tempo.co