Tulisan kali ini, menjadi tulisanku yang ke 363 di tahun ini. Tepatnya 363 hari yang lalu, saat ada postingan di FB Gurursiana, soal tantangan menulis tanpa jeda selama 365 hari. 365 hari, jumlah yang tidak sedikit, artinya selama 1 tahun full, aku harus menulis dan mempostingnya di blog Gurusiana. Sejak mulai dapat menulis, mengarang memang menjadi bagian yang terpisahkan dari diriku. Tetapi menulis dan mempostingnya di sebuah blog penulis dengan anggota-anggotanya yang luar biasa, sempat membuat nyali menulisku menciut, seperti kerupuk terkena air sayur sop.  Yang terbayang saat itu di kepala ini adalah, reaksi  penulis-penulis hebat yang  membaca tulisanku, pastinya  mereka akan berkata, “receh amat sih tulisannya”. Selain itu, kesanggupanku untuk menyiapkan materi penulisan dengan 365 judul, juga membuat kekalutan di hati ini. Namun, ternyata tekad untuk membuktikan “Aku Bisa”, mampu mengalahkan kekuatiran-kekuatiran yang mulai mengerogoti pertahanan mentalku. Akhirnya dengan ketidakpastian, kupasang photo dengan background “Saya siap bergabung, #Tantangan 365”.

            Sejak menyelesaikan kuliah di beberapa universitas, sebenarnya aku ingin sekali menuliskan pengalaman-pengalaman pribadi, yang mungkin bisa bermanfaat bagi pembacanya. Akan tetapi, karena tidak tahu bagaimana caranya mengekspos tulisan-tulisan itu, akhirnya mereka hanya berakhir di file-file lappyku. Namun sejak menyatakan siap bergabung dengan #Tantangan 365, semangat untuk membangunkan file-file lama kembali bangkit. Sedikit demi sedikit, mulai kubaca kembali tulisan yang pernah ada. Saat itulah, keberanian untuk menulis kembali menguat. Karena ternyata pengalaman hidupku ini penuh warna dan cukup layak untuk berbagi dengan para pembaca.

            Saat pertama kali menulis, aku teringat kembali kenangan saat SMP. Kala itu, guru bahasa Indonesia, selalu mengeluhkan karanganku. Katanya jauh dari kata sempurna. Padahal aku selalu mampu menulis hingga 2 atau 3 halaman. Karena seringnya, beliau mencoret-coret kertas karanganku dengan tinta merah. Kadang timbul rasa ngeri jika harus menulis karangan. Takut jelek dan takut dimarahi guru, itu yang ada dipikiranku. Akan tetapi sejak bergabung dengan Gurusiana, rasa takut dan ngeri untuk menulis, berlahan hilang. Hal ini karena sering membaca karya guru-guru penulis yang berseliweran di FB. Ternyata menulis itu seperti bercerita dan ketakutan itu timbul karena kita yang menciptakannya. Bayangan kertas karangan yang penuh dengan coretan merah memang cukup membekas di hati. Tetapi itu tidaklah harus menghentikan keinginan untuk menulis dan membiarkan orang lain membacanya.

Jadi ketika bayangan kertas karangan itu muncul, selalu kuhidupkan sugesti dalam hati, bahwa pada saat itu, pak guru bahasa (aku lupa namannya, hanya postur tubuhnya yang kuingat), tidak  mengerti cerita yang kubuat. Sehingga seenak udeknya mencoret-coret kertas karanganku.

            Keberanian dan keinginan untuk menulis semakin besar. Apalagi ketika melihat berapa banyak orang yang telah membaca tulisanku dan memberikan tanggapannya. Ingin rasanya kuberteriak di hadapannya dan mengucapkan “Arigatou Gozaimasu” sambil membungkukan badan, sebagai tanda terima kasihku. Karena andalah ketakutan, kengerian dan kepanikkanku hilang dan berganti menjadi sebuah kebanggaan

            Memang masih banyak yang harus kupelajari. Terutama soal teknik penulisan. Perjalanan untuk menjadi penulis yang baik dan benar. masihlah  panjang dan aku memang sedang berproses untuk itu.