Ermawati

Profil Penulis: Penulis lahir di RS Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, menempuh pendidikan dasar di Cibubur; dan SLTP di Gandaria, Jakarta Timur, d...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mutiara Cinta yang Terenggut

Lima tahun lamanya saya dan suami tidak dikaruniai anak. Berobatpun sudah dilakoni kesana kemari. Dari mulai mendatangi dokter spesialis kandungan dan androllogi, sàmpai menemui dukun aneh yang mengeluarkan penyakit dari rahim hanya dengan mengusap perut menggunakan telapak tangan. Tak ada satupun dari yang mengaku "fluently" itu yang berhasil membuat saya hamil.

Semula saya sering menarik diri dari pergaulan karena malu sering dicibir sebagai perempuan mandul, tetapi di Al-quran, Allah berfirman bahwa ada orang yang diberi banyak anak dan ada pula yang tidak punya anak satupun; Ada yang semua anaknya perempuan, ada juga yang memiliķi banyak anak berjenis kelamin làki laki semua; Ada yang anaknya lengkap lelaki dan perempuan, sangat ideal dan membahagiakan; Ada yang hanya punya anak semata wayang saja, baik itu lelaki atau perempuan; Ada yang diberi kesempatan menikah dengan lawan jenisnya, namun ada juga yang jomblo sampai akhir hayatnya. Semua itu adalah untuk menguji manusia, siapakah yang paling takwa kepada Allah.

Sejak itu paradigma berfikir saya tentang kehidupan berubah. Manusia bukanlah kambing yang hidupnya untuk makan, kawin, punya anak dan mati. Manusia adalah insan yang kehidupannya memikul tanggungjawab untuk berguna bagi masyarakatnya. Sehingga apabila ingin hidupmu tidak seperti kehidupan kambing, sejogjanyalah terus menggali potensi diri untuk bisa menjadi insan yang paling berguna bagi umatnya. Jadi, tidak punya anak dalam suatu perkawinan bukanlah masalah besar.

Alkisah karena kesabaran tingkat dewa saya diperkenankan menerima besarnya cinta Allah, jadilah saya dikaruniai dua orang putra sekaligus dalam kurun waktu berbeda hanya 1 tahun tujuh bulan saja. Kebayang dong bagaimana besarnya kasih sayang yang saya berikan, setelah penantian panjang terhadap anak. Bahkan orang sekaliber nabi Ibrahim sekalipun tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya yang dalam sehingga Allah mengujinya dengan menyuruhnya mengurbankan anak yang sangat dikasihinya tersebut.

Karena saya bukanlah nabi yang punya tingkat keimanan sebesar itu, maka sesuai janji Allah tak akan menguji makhluknya dengan beban yang tidak manusia sanggup memikulnya-- saya tidak pernah diuji harus mengurbankan nyawa anak saya sendiri. Terutama si sulung, mas Kemal yang adalah foto kopi saya banget, ibunya.

Ujian baru saya terima saat tiba-tiba suami tanpa permisi dan mendiskusikan dulu sebelumnya, merenggut anak saya dari dekapan. Seorang ibu yang sedang larut dalam peran sebagai ibu dari dua putra. Sebuah peran yang hampir kandas karena lima tahun bukanlah penantian yang pendek.

"Mom, mas Kemal sudah besar ya, baru saja lulus Ujian Negara," suamiku mengajak diskusi pagi saat sedang membantu memasak di dapur. Ia bertugas menggoreng tempe mendoan.

"Hmmm, betul sekali dad. Tumben sih perhatian sama anak kita," jawab saya sambil mencuci kangkung yang baru saja dipotong-potong. Selanjutnya saya mulai mengiris bawang kemudian menyiapkan secubit terasi dan dua sendok tauco.

Ia sudah selesai menggoreng tempe mendoan, lalu bersiap-siap menumis oseng-oseng kangkung tauco. Anak-anak merapikan meja makan. Dan bersiap-siap untuk makan bersama.

"Mas Kemal, ikut bapak yuk besok ke Madura! Nengokin nenek Salmah sambil mampir ke pesantren Al-Amien Prenduan."

"Asyik," gumam Kemal seraya mulai menyendok nasi melihat bapaknya menghampiri sambil membawa mendoan hangat. Ia menyomot satu potong dan langsung memakannya tanpa nasi. "Hmmm, masakan daddy enak deh," ujarnya sambil mengacungkan jempol kanannya.

Kami makan bersama. Pembicaraan tidak berlanjut untuk sementara. Kemal mengunyah makanannya dengan lahap dan nampak gembira. Bapaknyapun kelihatan senang dengan tanggapan Kemal yang langsung mengiyakan ajakan bapaknya. Saya beranjak menyiapkan minuman dingin untuk ketiga jagoan saya tersebut. Diam dengan pikiran sqendiri.

Dua belas tahun usia anak tertuaku, dia tetap yang paling kecil di kelasnya. Hitam manis dengan penampilan tenang agak pendiam. Sebenarnya ia punya tingkat kebergantungan yang ssngat tinggi, karena hampir disemua kegiatannya harus ada ibu hadir disana. Latihan karate sabuk hitam di Cawang diantar ibu. Latihan berenang di kolam renang perumahan Villa Inti Persada pun diantar ibu. Sekolah setiap pergi dan pulang bersama ibu. Tidur harus mendengarkan dongeng juga betsama ibu.

Anak saya dikirim ke pondok pesantren. Padahal baik saya maupun suami tak pernah mengajarinya menulis tulisan Arab, menghafalkan juzama dan menjelaskan tentang hadist nabi. Saya khawatir ia tidak bisa mengikuti pelajaran di pesantren dan tidak betah. Ditambah lagi pemuda cilik dua belas tahun ini kalau tidur masih suka mengompol. Di pondok pesantren bagaimana keadaannya nanti?

"Dad, apa tidak bisa jika anak kita sekolah di MP saja. Tempat mom mengajar," saya berusaha membujuk.

"Kalau di MP biayanya tidak terlalu mahal, ada discount 80%. Lagi pula mom bisa mengajari kekurangan anak kita di pelajaran. Insyaallah mereka bisa survive terus." ujarku menambahi.

Saya sebelumnya merancang anak saya sekolah di madrasah yang mahal dan terkenal bagus di Ciputat, Tangsel. Sejak Ibtidaiyah sampai Aliyah, dilanjutkan kuliahnya nanti adalah di UIN Jakarta seperti kami kedua orangtuanya. Berada dbawah pengawasan saya dan dekat rumah pula letak kampusnya. Alangkah bahagianya menyaksikan perkembangan anak-anak sambil melihatnya tumbuh dewasa.

Sebagai guru saya hanya dikenai biaya 20% nya saja jika menyekolahkan anak saya ditempat saya bekerja sebagai tenaga pengajar saat ini. Murah tapi dapat yang terbaik. Betapa bukan keberuntungan yang besar bagi anak-anak saya kelak? Tapi impian agar bisa terus melihat perkembangan pendidikan anak saya dari dekat di lembaga pendidikan terpercaya yang sayapun ikut membangunnya harus pupus. Suamiku membawanya jauh dari jangkauan dan kuasa saya.

Kedua putraku dimasukan ke pesantren modern di daerah Madura. Saya dilarang memberinya uang langsung atau membekalinya atm. Saya hanya mengirim uang sejumlah tertentu kepada mertua saya dan kemudian ibu mertua saya yang mengatur semua keperluan kedua anak-anak saya di pondok.

Yang lebih membuat saya nelongso adalah tidak bisa mengunjungi keduanya. Tidak boleh mendengar keluhannya. Bahkan untuk mendengar suaranya via telponpun tak bisa. Entah mengapa saya mengira bahwa suami saya telah berlaku kejam kepada saya. Mereka masih terlalu muda. Bukan untuk ditaruh di pulau jawa agar saya bisa sesekali menengoknya tapi jauh di ujung pulau garam sana.

Sepertinya saya bukanlah wanita beragama yang baik, karena menentang pendidikan agama yang terbaik bagi anak-anaknya sendiri. Dasar yang bisa membentuk akhlak anak-anak saya. Kelak mereka bisa menjadi ustadz yang lebih dari ustadz Kemed di sinetron dunia terbalik. Karena ilmu agamanya sudah didapat sejak kecil. Bukan sekedar dari android saja.

"Kelak kedua putra kita akan menjadi pemimpin bagi masyarakatnya, kalau ia memahami ilmu agama dengan baik maka ia tidak akan salah mengarahkan masyarakatnya," demikian alasan suami saya memisahkan antara saya dan kedua putra tersayang.

"Lalu apa bedanya dengan bersekolah ditempat saya mengajar, toh disini diajarkan pengetahuan mengenai kebenaran juga."

"Disini anak-anak akan lebih banyak bermanja karena ada ibunya sebagai guru yang mengajar. Bisa jadi ilmu yang didapatkan tidak akan sempurna," demikian suami saya berdalih.

Mencoba menjadi istri berbakti saya merelakan kepergian kedua putra saya menuntut ilmu nun jauh di pulau Madura. Saya mengajar sendirian, kembali kerumah sendirian, melaksanakan hari-hari kehidupan saya sendirian. Saya kesepian. Suami saya tidak mendampingi saya mengisi hari-hari kosong karena sibuk dengan pekerjaannya mundar-mandir keliling indonesia atau sekedar lembur dikantornya. Hari-hari tanpa job dia pergi berlara-lara, berkangen-ria dengan orangtua, handai taulan di kampung kelahirannya, berdalih menemani anak kami di pondok. Terkadang ia pergi sampai berbulan-bulan. Tak ada yang memahami rasa kerinduan saya yang lama kelamaan menjadi beku oleh dinginnya malam-malam panjang tanpa anak dan pasangan.

Sekarang disaat semua ujian tersebut telah berlalu, saya menyesali sikap mencerabut paksa tunas pohon yang masih kecil dari sisi induknya. Walaupun saya juga menyesali bahwa saya menangisi kedua permata yang sedang digosok menjadi intan berlian itu, menyebabkan jiwa mereka teringat terus pada ibunya dan tidak kerasan di pondok. Sehingga pelajaran yang seharusnya baru sempurna jika ditimba teru-menerus selama 7 tahun tak bisa sempurna diperoleh. Kedua anak saya hanya 3 tahun saja bertahan di pondoknya. Selebihnya dihabiskan dengan penyesuaian panjang yang lama dan mengkhawatirkan saat kembali lagi kerumah. Cari sekolahan yang cocok karena sudah banyak ketinggalan pelajaran kalau mau masuk sekolah umum. Ditambah lagi arus tekhnologi game online sedang marak-maraknya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post