Ermawati

Profil Penulis: Penulis lahir di RS Jalan Agus Salim Jakarta Pusat, menempuh pendidikan dasar di Cibubur; dan SLTP di Gandaria, Jakarta Timur, d...

Selengkapnya
Navigasi Web
NOKTAH PERKAWINAN

NOKTAH PERKAWINAN

Bulan Desember adalah puncak dari musim hujan. Banjir dan longsor melanda sepanjang pantai selatan juga sepanjang pantura. Tak ketinggalan Jakartapun tak luput dari bencana banjir. Berganti presiden dan berganti gubernur, Jakarta tidak bisa dibenahi. Jakarta tak mampu memikul beban dari kemacetan dan tumpahnya air dari langit. Jakarta adalah ibukota. Jakarta adalah pusat Negara, Jakarta adalah pusat pemerintahan. Jakarta adalah pusat perdagangan. Dan Jakarta menjadi pusat kebudayaan. Jika ibukota tidak bisa diurus, jangan harap kota lain bisa terurus.

“Ini telah masuk bulan Desember,” Lisa memulai pembicaraan.

“Memang kenapa?” kata Agus ingin tahu.

“Bagaimana kalau kita liburan ke puncak sekalian ikut-ikutan menyambut tahun baruan.”

“Apakah kita pantas liburan ke puncak.”

“maksud papa.”

“Liburan ke puncak itu biayanya besar. Apalagi akhir tahun dan menyambut tahun baru. Sewa hotel pasti meningkat 3 kali lipat. Demikian juga harga makanan, pasti melambung tinggi. Sesuai hukum ekonomi,” Agus menegaskan alasannya.

“Itu pasti! Sepanjang jalan Cisarua sampai ke Ciloto, tepatnya di puncak pas, jalanan akan dibanjiri manusia. Kemacetan panjang pasti terjadi. Semuanya rela bersusah-susah dengan menembus kemacetan, hanya ingin mendapatkan kesempatan untuk merayakan tahun baru. Di saat itu, harapan ditegaskan, Yang lalu biarlah berlalu dan selamat datang tahun baru dengan harapan baru dan kesuksesan baru,” lanjut Agus.

“Justru di situ sensasinya Pah. pada malam tahun baru, semua orang berduyun-duyun menuju puncak, pasti ramai oleh pesta kembang api,” Lisa meyakinkan suaminya.

“Ma, perhatikan deh. Orang yang berlibur ke puncak itu adalah orang berada. Sementara keuangan kita hanya ‘mencukupi’ belum berlebih,” kilah Agus.

“Ya tidak mesti Pah. Dulu kita sering main ke puncak berkendara sepeda motor. Toh kita bisa berlibur. Jadi, bukan karena uang berlebih, melainkan niat dan tekad,” Lisa mulai ngeyel terhadap sikap suaminya.

“Dulu kita jalan-jalan bukan liburan mama. Di puncak kita nongkrong di antara pohon teh, kejar-kejaran, makan jagung bakar sambil minum kopi. Pagi-pagi sudah balik lagi ke Jakarta.”

“Nanti kita begitu juga,” Lisa menimpali alasan suaminya dengan menahan rasa kesal. Sebab Lisa memiliki agenda tersendiri tanpa sepengetahuan Agus.

“Ya tidak mungkin seperti itu lagi. Kalau mau berlibur, kita harus menginap di hotel, 2 atau 3 malam gitu.”

“Itulah maksud mama. Kita rencanakan dari sekarang.”

“Oke kalau begitu, Coba hitung dulu kebutuhan biayanya dan pastikan kita telah membayar semua cicilan,” kata Agus.

“Mama usahakan surplus. Cuma, kita harus berhemat selama sebulan ini, kita makan seadanya, tidak boleh jajan makan di luar.”

Selesai salat magrib, Lisa menyiapkan hidangan makan malam. Agus membantu membuat teh manis panas. Memang, sejak musibah penyakit demam berdarah dengue, meja makan menjadi pusat kegiatan dan menjadi tempat paling indah. Biasanya meja makan hanya berfungsi sebagai tempat makan, lalu mereka berdua beranjak ke sofa sambil nonton televisi bermanja-manjaan. Kini seluruh kegiatan bertumpu di meja makan. Di meja makan Agus membantu istrinya mengupas bawang atau cabe untuk buat sambal. Di meja makan, mereka membuat susu atau teh manis. Di meja makan itu berdua bercengkrama menghabiskan malam sebelum tidur.

Hari-hari berlalu dengan cepat, tidak boleh ada yang ketinggalan. Waktu senantiasa bergerak tidak mengenal lelah. Barangsiapa yang terlambat, bukan hanya ketinggalan kereta, tapi bisa tergilas roda-roda besi itu. Tak terasa warna warni lampu ibukota mulai berkelap kelip. Mall dan pertokoan dihias dengan ucapan “ Happy new year”. Gebyar tahun baru menghipnotis warga ibukota, warga kabupaten termasuk warga desa. Anak2 kecil dan remaja membunyikan terompet.

“Ma, mulai besok papa libur panjang, Libur hari natal kejepit dengan hari sabtu dan minggu dan libur tahun baru.”

“Kalau begitu mulai besok kita siap-siap, lusa kita berangkat.”

Malam berlalu tanpa kesan. Malam berikutnya, Lisa memantapkan diri. Agus menonton acara televisi. Lisa merapikan seluruh perabotan ke dalam lemari dapur. Ada yang datang dalam sanubari, menghadang. Perasaan seolah sesak. Segumpal rencana menggelayut dalam pikirannya. kikuk, dan gugup.

Lisa membunuh kegugupannya dengan selalu bergerak. Bergerak dari dapur ke ruang tamu, seolah membereskan taplak meja. Lalu ke kamar tidur merapikan sprey. Kembali lagi ke dapur, mencuci gelas kotor. Akhirnya Lisa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dipejamkan matanya dalam-dalam, tapi kantukpun tak kunjung tiba. Agus sedang asyik menikmati tayangan televisi.

Sayup sayup terdengar suara suaminya, Agus minta dibuatkan teh manis. Lisa diam saja.

“mama udah tidur?”

Lisa memejamkan matanya rapat-rapat.

Agus bangkit dari duduknya, memastikan istrinya telah tidur. Lalu dia ke dapur memanaskan air. Secangkir teh manis menemani kesendirian Agus di depan televisi.

Pagi sekali, Lisa mendapati suaminya lelap di sisinya. Setelah salat dan sarapan, pada jam 07.00, mereka siap berangkat ke puncak. Agus memanaskan mobil dan Lisa mengeluarkan koper dari rumah ke halaman. Agus memasukan 2 koper besar ke bagasi. Dari pintu rumah Lisa datang memanggul dua tas ransel, satu miliknya nyangkut di bahu kanan dan satu lagi milik suaminya nyangkut di bahu kirinya. Pipinya merona di siram cahaya pagi. Lisa bahagia. Agus memperhatikan kecantikan wajah istrinya diterpa cahaya pagi. Bergelora dan bergairah ia mendesah sendiri, “ hmm, tak sia-sia aku meminangnya.”

Seluruh lampu-lampu di dalam rumah dimatikan, kecuali lampu teras. Semua kabel yang mengalirkan listrik ke alat-alat elektronik dicabut dari stop kontak. Lisa mengunci pintu rumah. Agus menyalakan mobil dan memarkir di jalanan depan rumahnya. Lisa mengunci pintu pagar lalu berbalik, lari-lari kecil kegirangan menuju mobil. Ceria dan senang.

Memasuki pintu tol Pondok indah, jalan lancar. Bahkan di jalan tol Jagorawi pun lancar tidak ada kemacetan yang berarti. Keluar pintu tol kemacetan mulai terasa dan pada saat masuk jalan ke puncak, dari Ciawi lalulintas merayap. Mobil hanya satu arah menuju atas, sementara motor berlalu di kiri kanan dengan agak kencang. Agus sudah membayangkan bahwa akan macet seperti ini. Makanya tidak boleh kesal.

Untuk membunuh kejenuhan, Lisa menuangkan kopi ke dalam gelas kecil diberikan kepada suaminya. Selembar roti tawar juga di selipkan ke mulut suaminya. Musik dinyalakan dari alat audio di depan dasboard. Musik mengalun, dag dig dug, tak tahu liriknya tapi yang jelas musik riang gembira.

Di luar dugaan, setelah 7 jam mengendara mobil ke puncak, mereka baru sampai di hotel yang telah dibooking. Masuk hotel, masing masing menjinjing koper dan tas ransel. Setelah mendapatkan nomor kamar dari resepsionis, mereka memboyong semua koper dan pernak pernik lainnya ke dalam kamar hotel. Rasa lelah dan kantuk datang, Agus pamit kepada istrinya untuk rebahan sejenak dan terlelap. Sementara itu, Lisa membongkar koper dan memindahkan seluruh isinya ke dalam lemari hotel.

Dinginnya udara puncak menyurutkan bulu kuduknya. Setelah menyeruput segelas teh manis panas, Lisa naik ke peraduan juga. Badan yang mungil diselipkan pada sisi suaminya dalam balutan selimut tebal. Seketika terlelap.

Jam menunjukan angka 16.00. mereka bangun dan mandi air panas. Setelah salat mereka berdandan. Anehnya, Agus rebahan kembali di tempat tidur yang hangat sambil menyaksikan televisi. Lisa membuatkan kopi untuk suaminya. Suasana liburan di puncak memang membawa suasana tersendiri. Kehangatan tercipta walau dingin menusuk sumsum. Disingkap kelambu sejenak, diluar telah gelap. Kabut mengantung di pucuk-pucuk cemara, kemudian berarak pergi menjauh. Pandangan mata terbatas, lampu jalanan dan lampu-lampu hotel atau vila terlihat samar-samar. Ada secercah cahaya. “Semoga ini jadi pertanda cahaya kebahagiaan dalam rumahtanggaku,” gumam Lisa dari dasar hatinya.

Setelah makan malam di restoran, mereka kembali ke kamar lagi. Sambil duduk menyandarkan badan ke dinding tempat tidur mereka bercakap-cakap yang tidak penting. Suasana cair seperti gemericik air sungai kecil di samping hotel. Malam tiba dalam pelukan dinginnya udara pegunungan puncak. Segar dan menggoda sukma. Gelora bersarang di langit-langit kamar hotel. Tak ada suara, hanya dentuman jantung beradu dalam temaram lampu taman.

Pagi mereka keluar dari halaman hotel menuju areal perkebunan teh. Sejauh mata memandang, perkebunan teh menghampar. Perkebunan ini adalah warisan orang Belanda. Puncak gunung digunduli dan ditanami teh. Ada beberapa pohon cemara sebagai pembatas antara tebing satu dengan tebing lainnya.

Manakala pohon-pohon besar terserabut, akar pohon-pohon muda di perkebunan tidak cukup kuat dan banyak menyerap curahan air hujan. Maka bencanapun mengintip. Air hujan memenuhi sungai-sungai kecil dan menyatu disungai ciliwung dan sungai Cisadane. Bopunjur yang semula dirancang sebagai daerah resapan hujan yang mampu mencegah banjir kiriman ke ibukota. Hutan yang gundul di Bogor, Puncak dan Cianjur, sudah tak mampu menyerap dan menyimpa luapan air hujan. Semuanya tumpah ke hilir.

Beratus-ratus tahun banjir melanda Jakarta. Agar banjir tidak semakin meluap, Belanda, ya si penjajah itu membuat danau-danau buatan atau dikenal oleh masyarakat betawi setu. Setu babakan, setu cilincing, setu gintung dan lain sebagainya, adalah salah satu dari seratus setu yang dibangun sebagai cara Penjajah Belanda menampung air hujan di kota Jakarta. Sehingga air dari puncak mengalir ke Bogor, ke sungai Ciliwung dan Cisadane dengan lancar.

Setelah Indonesia merdeka, baik di zaman orde baru maupun di zaman reformasi, danau atau setu-setu kecil banyak yang diuruk dijadikan perumahan atau mall. Jangankan setu, lautpun diuruk, istilah kerennya adalah rekklamasi. Sedimen akan menumpuk di mulut pantai utara Jakarta. Dalam 50 tahun atau 100 tahun mendatang Jakarta akan tenggelam.

Tak terasa hari telah sore, Agus kecapean mengajak Lisa pulang ke hotel. Setelah mandi mereka memesan makanan. Dingin-dingin seperti ini makan soup dan nasi goreng pasti enak. Agak malaman sedikit, mereka mengedarai mobil naik ke puncak pas. Sebelum sampai ke Puncak pas, mereka mampir ke Masjid Taawun.

Masjid Taawun adalah simbol, perlawanan terhadap stigma negativ terhadap wilayah puncak. Dulunya puncak menjadi tempat maksiat, ada diskotik, tempat karaoke dan tak ketinggalan prostitusi terselubung. Bisa diperhatikan sisa-sisa kebiasaan masyarakat di sana. Lampu senter berkedip-kedip menawarkan jasa hotel atau sewa villa. Setelah reformasi, masayarakat membangun masjid. Sehingga selain wisata alam, di puncak ada wisata rohani.

“kita salat isya sekalian di sini,” ajak Agus kepada istrinya.

“Iya. Sekalian salat hajat agar rumah tangga kita dilancarkan dan dilanggengkan Allah,” Lisa menimpali.

“Iya juga. Kalau begitu kita agak lebih lama di sini yang mah. Ngaji barang 1 atau 2 juz,” Agus mengusulkan.

“Ok,” jawab Lisa sambil langkah kakinya berbelok arah menuju tempat wudhu wanita.

Jam dua dini hari, di luar dingin tapi mereka keluar dari masjid ingin pulang ke hotel. Seketika dari dalam masjid ada kehangatan dalam jiwa mereka. Entah karena pengaruh cahaya lampu atau energi elektromagnetik dari pembacaan ayat-ayat Al-quran. Akan tetapi ketika sudah berada di dalam mobil, apalagi setelah perjalanan mobil mulai menanjak menuju ke puncak pas. Dingin menusuk tajam ke tulang dan sumsum. Walaupun Lisa sudah menggunakan Jaket, tapi rasa dingin masih bagaikan menembus tubuhnya. Dalam setiap pembicaraan, dari mulut mereka berdua keluar asap mengepul. Agus memarkir mobil dekat warung yang berderet dipinggir jalan. Mampir dan memesan susu jahe dan jagung bakar. Pikiran mereka melayang kemasa-masa indah dulu ketika pacaran.

“Pah, dulu kita menikmati sekali makan jangung bakar, walau dengan seluruh keterbatasan.”

“Jagung bakar, dari dulu sama saja. Yang berbeda situasinya dan cara membakar jagung.”

“ya iyalah. Dulu jagung setengah matang saja dianggap nikmat sekali, karena ada aku pastinya.”

“Suasana kasmaran mah, yang membuat jagung bakar jadi terasa nikmat sekali.”

“Iya juga ya, sekarang kan kasmarannya telah pudar. Kalaupun bersama, bercintanya hanya sebatas rutinitas dan pelepas tanggungjawab nafkah lahir dan batin.” Lisa menyindir.

“Mah kenapa jagung kalau dibakar, gosong,” Agus mengalihkan pembicaraan.

“Karena kena bara api. Makanya hati-hati, papa jangan suka main api.” Lisa menimpali dengan sisipan sindiran tajam. Agus pura-pura tidak paham dan mengalihkan perhatian.

“Ayo kita pulang saja pah!”

“Ayo, kita berangkat sekarang!” Agus beranjak dari duduknya seraya mengulurkan tangan kepada Lisa, membantu berdiri. Lisa membayar tagihan makanan mereka, Lalu mereka bergandeng-tangan, beriringan, melangkah ke mobil.

Menjelang subuh mereka tiba di hotel. Agus merebahkan tubuhnya di kasur busa yang tebal. Lisapun menyusul rebah di sisi tubuh berotot. Dingin di luar hangat di dalam. Tak ada suara, kecuali titik embun menetes dari pucuk-pucuk cemara, hening. Setelah mandi air panas mereka salat subuh berjamaah.

Sekitar jam 08.00, setelah sarapan mereka bersiap melakukan petualangan. Hari ini mereka merencanakan ke Gunung gede pangrango. Ada “track” jalan menanjak di sana. Dari tempat parkir, ada jalan setapak menuju air terjun. Agus dan Lisa menyusuri jalan menanjak. Ada dua mata air terjun yang meluncur dari puncak, Yang satu banyak dikunjungi anak muda, ada yang menceburkan diri mandi di dalam dinginnya air dan ada yang hanya menikmati pemandangan. Betapa kokoh dan angkuhnya gunung mengaliri jutaan ton air. Buih dan suara bergemuruh mengiring jalannya air, menabuh-nabuh genderang perang.

Di sebelah kanan, air terjun yang biasa dikunjungi orang dewasa. Air terjun itu dipercaya sebagai tempat pesugihan. Banyak orang berharap dilimpahkan harta yang banyak dengan bermunajat di sisi air terjun. “Ah, itu prilaku bagi mereka yang lemah iman,” desis Lisa

“Ya betul ma, orang yang putus asa atas rahmat tuhannya. Mereka memilih jalan pintas menjadi kaya. Ada artis yang ingin terkenal dan menawan diatas pentas, pejabat yang enggan turun dari posisi basah di kantornya, pengusaha yang berharap tendernya selalu menang, juga ada istri muda yang ingin terus disayang,” Agus menjelaskan sekenanya.

Agus mengajak Lisa berjalan hati-hati menapakan kaki ke dalam aliran air terjun yang membentuk kolam jernih, bebatuan didasarnya terlihat jelas karena jernih dan dangkalnya. Agus terjun lebih dulu, mandi berbaur dengan orang-orang yang menceburkan diri duluan. Hati Lisa ciut, dingin menusuk sumsum. Kakinya membeku, basah kecipratan pantulan air yang dihujamkan dari puncak. Sekujur tubuhnya menggigil. Agus memeluknya agar terhindar dari dingin.

“Ayo, terus bergerak! Tidak boleh berhenti kalau kedinginan.” Demikian Agus memotivasi Lisa.

Lisa tidak terbiasa bersikap bebas di tempat umum. “Kita pulang saja ke hotel Pah!” Lisa meracau dalam gemeretak gigi akibat tubuh yang menggigil. Mereka bergegas kembali menuruni jalan setapak. Seolah papan seluncur, mereka menuruni kelok-kelok jalanan pulang. Sebentar mereka beristirahat di warung sekitar tempat parkir sambil memesan sekoteng agar tubuhnya menghangat.

Seharian tak ada matahari. Puncak diselimuti kabut tebal. Kendaraan dari bawah Nampak mulai ramai. Nanti malam tahun baru. Memang dari arah bandung, tidak terlalu banyak orang yang merayakan malam tahun baru di puncak. Mungkin, bagi masyarakat bandung udara dingin telah mereka rasakan setiap hari, jadi tak perlu lagi ke puncak. Kalau pun mau hiburan mereka ke dago atau ke gunung tangkubanprahu.

Lisa masih meringkuk di sisi stir. Dingin tak mampu dia halau walau telah menyeruput segelas sekoteng. Agus terus melaju ke bawah menuju hotel. Dikamar hotel Lisa langsung menyerbu kamar mandi. Tubuhnya disirami air hangat, tak puas iapun berendam di “bathtub”

“Mas Tolong ambilkan handuk,” teriak Lisa dari kamar mandi. Agus bangkit dari duduknya, dan berdiri mengantarkan handuk. Selesai mandi, mereka ke restoran untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Di suasana dingin seperti ini harus sering makan.

Malam tutup tahun bergerak lamban. Malam bergerak seperti keong. Detik dan menit berlalu sedikit demi sedikit. Lisa menunggu puncak malam tahun baru dengan penuh ragu. Waktu melambat. Jiwanya pun kecut. Semua energi dan keberanian dikumpulkan untuk menyambut tahun baru.

Tepat di tengah malam jam 12.00 letusan petasan bergemuruh dan sahut-sahutan di udara. Di sekitar perkebunan teh dekat villa mereka, petasan melambung ke udara dan memercikan cahaya warna-warni disertai letusan bersahutan. Demikian juga dalam siaran televisi. Di luar negeri, di Taman Impian jaya Ancol, Di Tugu Monas, Pemerintah DKI sengaja mengadakan pesta kembang api.

Agus dan Lisa pun hanyut dalam nadi gejolak perayaan tahun baru. Dengan komitmen agar tahun mendatang lebih baik dari tahun yang dilewati. Mereka berpelukan erat sangat bergelora dan berhasrat. Namun, Lisa merasakan titik hitam dalam hatinya menggeliat. Lisa tidak yakin, jangan-jangan hanya prasangka. Dekapan Agus memeluk Lisa erat dan dalam. Tak percaya Agus menduakan dirinya. Tapi prasangka ini akan menjadi sumber masalah, bila tidak diungkap. Dari dalam hatinya. Lisa mendapatkan bisikan, “inilah saatnya bicara. Ini saat yang tepat.”

Seluruh energi dalam diri Lisa berkumpul, memberikan dorongan untuk membuka pembicaraan serius. Ia tatap mata suaminya dengan lembut. Aguspun membalas tatapan istrinya penuh makna. Lisa memberanikan diri untuk membuka “diskusi” dengan hati-hati, agar tidak menyinggung perasaan.

“Pah, boleh aku bicara?” Lisa membuka pembicaraan sambil beringsut duduk di sebelah suaminya.

“Loh memangnya ada yang melarang kita bicara mah?” Agus kaget dan penuh selidik atas permintaan istrinya. Sambil tersenyum menggoda ia menambahkan, “Memang mama mau bicara apa, kayaknya penting banget?" Agus menduga, kebahagiaan di awal tahun baru akan dirusak.

"ya, memang penting dan esensial Pah," sahut Lisa sambil menatap serius.

Agus beringsut dari duduknya dan berusaha duduk berhadapan. Lisapun bangkit duduk disisi Agus. Posisi berhadapan tidak menguntungkan bagi Lisa untuk mulai berusaha mengungkapkan kebenaran. Bisa-bisa rencana membangun kebahagiaan hancur, kalau sampai terjadi pertengkaran.

“Katanya mau bicara. Ayo, sampaikan saja!“ Suara Agus seolah tahu apa yang ingin dibicarakan oleh istrinya.

"Iya tapi janji papa jangan tersinggung dan marah,” rajuk Lisa penuh manja. Dipendamnya dalam-dalam rasa curiga dan sakit hati karena dimadu cinta, walaupun sekedar praduga. Tapi bisik tetangga mengganggu telinga dan membakar amarahnya.

"Pah, omongan tetangga...," Lisa berusaha tenang sambil memperhatikan reaksi dan tatapan mata suaminya. "Apa benar papa punya wanita lain?" Lanjut Lisa.

"Kata siapa mah. Tak ada wanita lain, selain dirimu,” Agus mengelak sambil merayu.

“ Papa pernah ketemu Rita kan? Siapa wanita yang papa ajak makan di restaurant di Citos itu?” Lisa mendesak

“Sudah lah jangan di bahas sekarang. Nanti saja kalau kita sudah pulang. Kita kan lagi liburan,” kata Agus mengelak. Matanya ragu dan bertanya-tanya.

“Justru kita bahas malam ini, di malam puncak tahun baru,” Lisa menegaskan.

“Ok. Papa jelasin. Papa memang ketemu Rita. Kita sedang ramai-ramai makan siang . Mereka hanya teman satu kantor papa. Adi juga ada disana koq mah.”

“katanya papa duduk berdamping dengan wanita muda itu dengan mesra. Siapa namanya wanita itu, mama lupa.”

“Oh, dia namanya Wulan, bagian marketing,” kilah Agus.

“Kalau ini?” Lisa menunjukkan foto Agus dengan seorang wanita dari hand phonenya.

“Itu namanya Anggi. Teman satu angkatan di pelatihan perpajakan,” Agus berusaha tak bereaksi konfrontatif.

“Mama jangan percaya pada bisik-bisik tetangga. Tidak semua orang suka dengan kehidupan kita yang bahagia.”

Hamparan kebun teh di samping hotel tak mampu menahan jeritan hati Lisa. Namun perasaan amarah itu di tekannya dalam-dalam, agar dialog terjadi sempurna.

“bagi seorang wanita, sekecil apapun perubahan itu dirasakan. Sudah empat tahun usia perkawinan kita, tapi kita belum dikaruniai seorang anak. Cinta papa mulai luntur. Papa mulai “berpaling” Lisa menangis.

“Semuanya telah mama relakan buat papa. Semuanya telah mama berikan buat papa. Tapi kenapa pah…?” kalimat itu tidak mampu diteruskan, karena amarah perempuan bening itu memuncak.

Agus memeluk Lisa. Lisa meronta. Lisa berontak dan menolak untuk dipeluk lelaki yang menyakitinya. Lisa sangat benci. Lisa dihantui perasaan ingin lenyap di telan bumi detik itu juga.

"Astagfirullah!, sabar mah" Agus merayu ragu-ragu.

Awan yang menggantung di langit perlahan turun ke bumi dan mengantung di pucuk-pucuk cemara. Agus membatu tak mengerti bagaimana harus mencairkan suasana.

“Bodoh!” Agus mengutuk dirinya. Kenapa dia harus tergoda. “Mama dengarkan papa! Bagi papa, dikasih keturunan atau tidak, sama sekali tidak mempengaruhi cinta papa kepada mama. Kalaupun mama merasakan ada yang berubah, barangkali papa terlalu capek dalam pekerjaan!” Agus menjelaskan.

“Sudahlah Pah. Jangan beralasan. Sekiranya sudah tidak sayang lagi, mari kita selesaikan secara baik-baik.”

Pikiran Lisa melayang, dan membenarkan pendapat ibunya. Kenapa dia mencintai dan menikahi pria ini, kalau akhirnya tidak setia. Lisa tak kuasa menahan amarah, dan rasanya ingin mengungkit jasa-jasanya selama ini, tapi urung diungkapkan karena bisa menghilangkan makna keikhlasan dalam berbakti kepada suami. Lisa berusaha menenangkan diri dan menguatkan hati. Inilah saatnya, mahligai ini diuji. Akankah berlanjut atau berakhir sampai di sini.

“Pah sepertinya Perkawinan kita cukup sampai di sini!” usulnya sambil sesenggukan menahan tangis.

“Ma…, mama jangan terburu-buru mengambil keputusan,” dengan wajah pucat Agus memohon kepada istrinya.

Sepi tak ada kata-kata lagi. Dinginnya malam tak mampu meredam amarah Lisa, Suasana hening, sementara di jalanan orang-orang satu per satu beranjak pulang ke Jakarta.

Suara deru mobil sedan dan truck yang menuruni lereng gunung Gede Pangrango tak kuasa memecahkan kebekuan malam. Jarum jam terus beraktifitas menapaki detik, menit dan jam- terus berlalu. Lisa merapikan baju-bajunya dan satu persatu memasukannya ke dalam koper.

“Gubrak!”, Agus terjatuh menabrak pintu kamar. Dari mulutnya merembes darah segar. “Ma, tolong papa,” Agus memegang dadanya. Dalam hatinya berkata “Oh, penyakit… kau datang lagi. Menambah lara datangnya musibah , petakapun mulai terkuak.

Sesaat Lisa bimbang antara ingin menolong atau mengikuti amarah hatinya yang telah diduakan. Lama Lisa menimbang apakah akan membantu atau membiarkan suaminya dalam derita, nyawanya pergi bersama malam. Namun naluri wanita berkata lain.

“Astagfirulllah…, papa kenapa!”

Melihat darah dari mulut Agus, ia tinggalkan aktivitas merapikan pakaian ke dalam kopernya dan membopong Agus ke tempat tidur. Lisa memanggil petugas hotel agar menelpon rumah sakit, meminta ambulan. Seluruh koper dimasukkan ke dalam ambulan, dan Agus di bawa ke Rumah Sakit Palang Merah Indonesia, Bogor. Di UGD Lisa berusaha menjelaskan kepada dokter bahwa 3 bulan yang lalu suaminya dirawat di Rumah sakit karena menderita Demam berdarah dengue.

Dokter tidak memberikan jawaban. Seolah acuh menyembunyikan wajahnya di balik masker. Lalu Dokter memberikan resep obat dan rekomendasi agar cek darah dan dirontgen ke radiologi.

Perawat pria datang mengambil sampel darah dari lengan Agus. Tak lama kemudian datang perawat pria membawa ranjang dorong. Dia pindahkan Agus dari ranjang besi ke ranjang troli menuju ruang radiologi. Selesai foto Agus dikembalikan ke ruang perawatan. Tak lama kemudian, datang perawat wanita membawa obat dan disuntikan ke dalam tabung infus. Diantaranya ada antibiotik, penenang, penurun panas dan obat batuk cair.

“Ibu tolong obat batuk ini diminumkan ke bapak, 3 x sehari sesudah makan.”

“Baik Zus” sahut Lisa antusias.

Esok pagi. Kota Bogor cerah. Lisa merasa dibangunkan oleh suaminya, agar salat subuh. Lisa membuka kelambu, menyapu pandang ke sekeling halaman Rumah Sakit. Rupanya tabir malam telah tersingkap, fajar merekah. Lisa menoleh ke wajah suaminya. Ia lelap. Sangsi siapa yang membangunkan tadi. Berharap yang tidak-tidak, Lisa bergegas ambil wudhuk dan Salat subuh. Usai salat ia berdzikir dan berdoa, khusyuk. Lisa merasakan kedekatan dan bathinnya meraba kehadiran Tuhan yang Maha Agung.

“Ya Allah ampuni dosa-dosa kami. Ya Allah ampuni dosa-dosa kedua orang tua kami. Ya Allah hambamu bersimpuh di sejadah ini karena hamba tahu bahwa hamba lemah. Hambamu sering alpa akan diriMu. Hamba terima segala cobaan ini dengan ikhlas. Karena ini adalah taqdirMu. Hamba bersyukur karena engkau telah memberi kesempata suami hamba terbebas dari virus. Hamba berterima kasih karena memberikan kesempatan hidup kepada suami hamba. Ijinkan hambaMu yang hina ini mengabdi kepadaMu. Mengabdi kepada suami hamba sebagai istri yang setia.” Air mata tumpah membasahi mukena.

“Ya Tuhan, dalam keterpurukan hamba tidak tahan lagi. HambaMu ini rela dan ikhlas atas taqdirMu. Apapun yang terbaik bagi hamba dan apapun yang terbaik bagi suami hamba, hamba terima. Amin Ya Robbal Alamin.”

“Amin. Amin Amin,” terdengar suara pelan dari atas ranjang besi. Lisa yakin sekali, bahwa suara itu adalah suara dari mulut suaminya.

Lisa seketika bangkit dan melipat sajadah. Dipeluknya Agus, suaminya erat-erat. Agus berbisik “Ma, maafin papa. Papa banyak menyusahkan mama. Kalau papa dipanggil Allah, apapun keputusan ilahi, papa rela dan pasrah. Papa tidak kuat menderita begini.”

Tangis Lisa semakin menjadi. “Pah jangan bicara seperti itu, dong!” Papa harus kuat, tidak boleh menyerah. Maafin mama telah berdoa sangat emosional. Mama tidak bermaksud lain, kecuali hanya ingin berserah kepadaNya.”

Untuk mengalihkan perhatian, Lisa mengusap wajah suaminya dan menawarkan minum susu. Agus mengangguk. Ditaruh ujung sedotan susu kotak ke bibir suaminya. Susu kotak tersisa separuh.

“Papa mau salat subuh, mari mama tuntun bertayamum, gantinya berwudhu,”

Agus mengangguk. Agus melaksanakan salat subuh sambil tidur. Ia berbaring menghadap qiblat. Gerakan setiap takbir ditandai dengan kedipan mata.

Malam hari, Agus telah mampu duduk. Lisa senang. Dalam hatinya bergumam, “Alangkah hebatnya dokter di sini.” Suaminya pulih dalam waktu yang begitu singkat. Entah karena hebatnya dokter memberikan obat atau doa-doanya dijawab oleh Allah. Ini pasti karena kasih sayang Sang Khalik yang begitu besar kepada makhluknya. Juga kepada Lisa dan Agus.

“Selamat Pagi,” sapa perawat kepada Lisa yang sedang menyuapi suaminya.

“Selamat pagi juga, perawat,” jawab Lisa.

“Ibu Lisa, ini hasil Rontgen dan hasil test darah bapak. Nanti diserahkan kepada dokter ya.” Sambil menyodorkan lembaran amplop besar berwarna coklat dari instalasi radiologi, hasil foto rontgen dan amplop putih kecil hasil test darah dari instalasi laboratorium. “Ini sebagai hasil penunjang diagnosa penyakit bapak Agus.”

Lisa menerima kedua amplop itu. Seolah tak perduli dia mengucapkan terima kasih kepada perawat. Setelah suster menjauh dari pandangan, Lisa membuka amplop kecil. Semua catatan darah baik semua. Dari amplop besar Lisa menerawangkan negative film paru-paru ke sinar lampu. Ah, tidak ada yang aneh, atau karena Lisa memang kurang faham membaca hasil jepretan sinar x. Biarlah dokter yang membacanya nanti.

Menurut analisa dokter, Agus menderita pembengkakan jantung, organ jantungnya tidak mendapat suplai makanan melalui kapiler darah karena adanya virus sehingga terjadi radang. Dokter telah memberi tindakan dan dapat dilakukan dengan cara rawat jalan. Dokter memperkenankan Agus pulang. Untuk selanjutnya, dianjurkan kontrol ke rumah sakit untuk memastikan penyakit yang sebenarnya di derita.

Lisa merasa bahagia sekali. Ternyata penyakit yang diderita suaminya berangsur pulih. Dalam hatinya Lisa sangat yakin bahwa ikhtiar dari dokter dan doa yang dipanjatkan pada setiap selesai salat adalah secara bersamaan memberikan kesembuhan kepada Agus. Sementara doa-doa yang lain berkaitan dengan hubungannya dengan Agus yang telah diikrarkan untuk berpisah, Lisa tidak terlalu menggubris. Lisa percaya Tuhan akan menentukan taqdir mereka berdua.

-------oo0oo-------

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post