M. Amirusi

M. AMIRUSI dilahirkan di desa pesisir, yakni Desa Tambaan Kec. Camplong Kab. Sampang pada 1 Juni 1978. Pendidikan dasar s.d. menengah ditempuh di kota kelahiran...

Selengkapnya
Navigasi Web
RAMADHAN AIR MPH-333

RAMADHAN AIR MPH-333

RAMADHAN AIR MPH-333

Catatan Perjalanan/Safari Ramadhan dalam Rangka Program Penjaminan Mutu Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 dengan Menggunakan 3 Maskapai Penerbangan (M), Menghampiri 3 Pulau (P), dan Bermalam di 3 Hotel (H)

Pagi itu sekitar pukul 08.00 WIB, tepatnya selasa, 5 Juni 2018, kami berdua (saya dan mas Mamik, teman sekantor) harus segera berangkat dari kantor di Batu menuju Bandara T1 Juanda Surabaya. Kebetulan mobil yang kami gunakan hanya berisi 2 orang. Resikonya ternyata sedikit bayar lebih. Itupun setelah kami nego dengan sopir shg dicaai kata sepakat. Mobil Avanza warna Silver itu ternyata berasal dari Agent Perjalanan “Pink”, padahal saya pesen lewat Agent “Kharisma Travel”. Mungkin keduanya sudah saling MoU, hehehehehe.

Sekitar pukul 11.00an WIB, mobil sudah sampai di tempat yang dituju, yakni Terminal 1 (T1) Juanda International Airport. Terminal ini umumnya untuk penerbangan dengan pesawat selain Garuda Indonesia, berarti seperti: Citilink, Lion Air, Batik Air, Wings Air, Sriwijaya AIr, NAM Air, dan Air-Air yang lain. (ech maksud kami dan lain-lain). Sementara jika Garuda Indonesia berada di T2 (Terminal 2).

Sengaja kami memesan Maskapai Penerbangan Si Anak Garuda Indonesia ini, yakni Citilink untuk rute Surabaya (SUB)- Manado (MDC) dengan transit di Makassar (UPG). Mengapa pakai Citilink, sudah tentu dengan beberpa pertimbangan. Di antaranya: 1) pelarian dari dari Garuda. Niat awal mau ikut Garuda Indonesia Airways (GA), akan tetapi kebetulan waktu penerbangan kurang cocok/kurang mendukung pada jadwal kami, apalagi terkadang transit di Jakarta (CKG); 2) maskapai yang lain juga begitu (maksudnya apa ya?…. Wkwkwkwk); dan 3) Citilink merupakan anak perusahaan GA sehingga kartu GFF atau Garuda Miles yang kami miliki masih bisa discharge (artinya, masih dapat point). Wuih perhitungan bingitzz. Ya biasalah, sekali merengkuh dayung tiga pulau terlampaui. Tapi sepertinya, sekali melaksanakan perjalanan dalam rangka Program Penjaminan Mutu Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 maka 3 pulau disebrangi. Hehehehe.

Ternyata Boarding Pass yang tertera pada E-Tikcet tidak sama dalat realisasinya. Ya maklumlah hanya prediksi manusia, sementara kedatangan dan keberangkatan pesawat bisa saja maju-mundur sesuai kondisi. Sekitar pukul 14.30 WIB Pesawat Citilink QG 307 bergerak dari Surabaya menuju Makassar. Padahal jadwal asli 13.40 WIB, ya tak apalah, yang penting berangkat. Tempat duduk saya (Seat 21E) dan mas Mamik, rekan saya Seat 21F. Kami lakukan kesepakatan agar sama-sama bisa menikmati pemandangan di bawah selama penerbangan (baca: kepengin di dekat jendela, hiks-hiks). Akhirnya penerbangan Surabaya-Makassar, saya di dekat jendela. Sedangkan Makassar-Manado, mas mamik yang di dekat jendela.

Sengaja saya lakukan negosiasi (wuich…. Istilah apaan tuch…!) agar saya bisa melihat dari atas akan keindahan pulau Madura. Pulau tempat diriku lahir dan dibesarkan, meski setahun ini dan ke depan harus berpisah karena pindah ke kantor baru sebagai medan perjuangan dan pengabdian untuk negeri tercinta ini sudah di luar pulau tersebut. Akhirnya, saya sempatkan mendokumentasikan view pulau Madura selama penerbangan Surabaya (SUB)-Makassar (UPG) termasuk pulau-pulau kecil (gili) dan gugusan pulau-pulau lainnya. Tidak lupa saya sempatkan foto dari udara, yakni pulau Gili Genting dan Pulau Gili Raja. Keduanya masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep. Kebetulan saya punya kenangan dengan Pulau Gili Genting ini, yakni pernah bermalam di pulau tersebut karena pernah ikut dalam aksi menarik kapal niaga milik warga puau tersebut yang terdampar di Pantai Camplong, Sampang karena mengalami kebocoran. Akhirnya kapal niaga yang cukup besar itu ditarik oleh 6 kapal kecil dari perairan Camplong Sampang menuju Gili Genting, Sumenep dengan memakan waktu lebih dari 12 jam.

Pulau tersebut bahkan dijuluki “Pulau Putri” dikarenakan sebagian besar yang menghuni adalah puteri atau ibu-ibu. Mengapa begitu? Ternyata karena para lelaki atau bapak-bapak sebagian besar bekerja di luar pulau, misalnya di Kalimantan dengan mengangkut barang niaga dari Kalimantan ke Pulau Jawa dan sebaliknya.

Pesawat Citilink QG 307 akhirnya mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin sekitar pukul 16.10 WITA. Seperti biasa ketika selesai landing, Crew Pesawat mengeluarkan statement bahwa “Terima kasih atas kepercayaan Anda terbang dengan Citilink, maskapai penerbangan berbiaya murah dengan layanan bintang 4 versi Skytrax”. Terdengar pengumuman lagi bahwa “Penumpang yang tujuan Manado, untuk tetap di pesawat karena sebentar lagi pesawat akan berangkat menuju Manado”. Jadilah kami bertahan di kursi masing-masing. Ternyata sesuai Mou di awal, Mas Mamik minta tukar seat sehingga dia sekarang berada di pinggir jendela.

Akhirnya penerbangan dari Makassar (UPG) dilanjutkan menuju Manado (MDC). Ketika masuk waktu Maghrib, maka kami berbuka di atas pesawat dengan kurma 3 biji, Es dawet, dan sebotol Air Aqua yang ketiganya berada dalam satu kotak kardus bercapkan Citilink. Sekitar pukul 18.20 WITA, pesawat landing di Sam Ratulangi International Airport, Manado. Kami segera memastikan untuk cari hotel via Traveloka. Kami harus bermalam di Sulawesi Utara (Sulut) ini karena pesawat berikutnya yang menuju Tobelo, Ibukota Kabupaten Halmahera Utara baru besoknya, yakni Rabu, 6 Juni Pukul 13.00 WITA.

Di antara pilihan hotel yang muncul dalam aplikasi Traveloka, dipilihlah Sutan Raja Hotel yang berjarak sekira 8 km dari bandara, karena hotel ini relatif lebih dekat ketimbang hotel-hotel lainnya yang berada di radius di atas 10 km. Sebenarnya ada hotel yang berjarak sekitar 2 km dari bandara tapi kami tidak sepakat. Hehehehe.

Mobil Avanza warna Silver mengantarkan kami ke Sutan Raja Hotel. Tetapi sebelum sampai, kami minta berhenti sejenak di warung/rumah makan untuk berbuka yang sebenarnya. Maaf, perut kami mungkin perut umumnya orang Indonesia, jika belum nasi kok rasanya belum mantaf. (wuich.. alasan saja). Lho… tidak semua orang Indonesia makan nasi. Ya… Sudaaach… kami ngaku saja bahwa perut orang “Ndeso”. Hiks hiks hiks. Mungkin karena rasa rindu dengan si nasi, maka kami berhenti di Rumah Makan PADANG. Warung/Rumah makan ini merupakan warung pertama yang terlihat ketika mobil melaju menuju hotel. Sopir pemilik Avanza tidak lupa kami ajak untuk makan. Alhamdulillah beliaunya berkenan makan bareng. Seperti biasa, bahwa lauknya idaman saya adalah Ikan, di manapun dan kapanpun, pilihan pertama selalu ikan. Kecuali sudah tidak ada ikan, baru yang lain seadanya, bukan sak wadahnya. Hehehehe.

Ternyata SUTAN RAJA HOTEL ini berada agak ke desa. Artinya bukan jalan poros utama bandara menuju Kota Manado selaku ibukota Provinsi Sulawesi Utara. Hotel ini melalui jalan yang agak sepi, lampu penerangan tidak ada, jalan agak kecil sehingga jika berpapasan dengan mobil lain maka harus pelan agar roda tidak keluar dari atas pinggir badan jalan. Setibanya di hotel, sedikit terkejut, karena hotel ini cukup besar dan luas. Dari Pintu gerbang luar menuju hotel cukup panjang, hotel dengan kelas bintang 4. Dalam hati sempat bertanya-tanya, “hotel sebesar dan semegah ini kok berada di desa dan jauh dari kota?” Lalu dijawab sendiri, “mungkin agar suasana lebih asri dan tanah lebih murah ketika beli lahan sebelum di bangun”. Hehehehe.

Kami mulai terlelap sekitar pukul 01.30an setelah nonton ILC dengan tema “BPIP: Apa Pentingnya Buat Kita?”. Pada ILC edisi 05/06/2018 itu yang menjadi bintangnya menurut saya adalah Prof. Suteki, Sang Guru Besar Pancasila dari Universitas Diponegoto (Undip). Pukul 02.00 terbangun sehingga lanjutkan istirahat dengan harap pukul 03.00 terbangun untuk makan Sahur. Mungkin karena kelelahan sehingga pukul 04.40an kami terkejut dan bangun. Hanya berselang sekitar 5 menit dari waktu Adzan Shubuh. Artinya, waktu sahur sudah lewat alias lewat Imsak. Dengan kata lain harus siap puasa 24 jam. (Makanya, lain kali tidurnya lebih awal mas! biar tidak kebablasan waktu Sahurnya. Alarmnya juga disetting donk! Hehehehe).

Sekitar pukul 05.00 WITA saya mencoba turun dari lantai 2 menuju halaman hotel untuk jalan-jalan menikmati udara segar. Ketika sampai pada area taman yang terdapat kolam renang yang aduhai itu, saya terpikat untuk berlama-lama jalan mengelilingi dan duduk-duduk santai menikmati suasana pagi yang segar nan asri di tepi kolam. Sesekali menyempatkan selpie tipis-tipis. Ups.

Jadwal Pesawat Wings Air dari Manado (MDC) menuju Galela (GLX) adalah pukul 13.00 WITA sampai dengan 15.10 WIT. Untuk itu pukul 11.00 kami harus segera bergegas menuju bandara dengan mobil Avanza Putih melalui aplikasi Grap. Pada Aplikasi Grap terlihat pada adroid ongkos sebesar 46 k, kami genapkan Rp50.000,00 sewaktu membayar pada sopir yang tampaknya ia masih bujang. Ternyata oleh si bujang kami dilewatkan kota, sehingga tidak terlihat si hotel yang kesannya berada di desa.

Pesawat Wings Air IW-1182 yang akan kami naiki mengalami sedikit keterlambatan (delay). Rasa sabar yang lebih ekstra harus tetap melekat pada kami. Yang sedikit membuat kami tersenyum ketika petugas pembaca pengumuman tentang apapun di Sam Ratulangi International Airport itu selalu mengakhiri isi pengumuman dengan mengucapkan, “Makasieehhh..”, ya maksudnya “Terima Kasih”. Saya dengarkan berulang-ulang semua pengumuman yang terdengar dan selalu kata akhirnya, ‘Makasieehh..”. Kami berdua akhirnya senyum-senyum sendiri.

Pukul 13.30an akhirnya pesawat membawa kami menuju pulau Halmahera yang merupakan pulau terbesar di Provinsi Maluku Utara. Pulau ini terletak di sebelah timur pulau Sulawesi dan yang lebih tepat adalah di sebelah timur Provinsi Sulawesi Utara. Tujuan kami adalah Kabupaten Halmahera Utara dengan ibukota Tobelo. Untuk menuju Tobelo, terdapat 2 bandara yang mengapit kota Tobelo, yakni Bandara Kao (KAZ) di Kecamatan Kao dan Bandara Galela (GLX) di Kecamatan Galela. Ongkos pesawat dari Manado – Galela jauh lebih murah dibanding Manado–Kao. Jika dari Manado-Galela sekitar Rp692.000,00 sedangkan Manado-Kao sekitar Rp1.143.000,00 pada hari yang sama. Kedua bandara ini merupakan bandara yang dibangun oleh Jepang ketika menjajah negeri kita dulu. Bahkan Bandara Kao menjadi salah satu bandara utama di Indonesia yang menopang pesawat-pesawat tempur Jepang di Asia Pasifik ketika perang dunia II melawan sekutu.

Bandara Galela menjadi pilihan kami, di samping lebih murah, juga lebih dekat menuju kota Tobelo yang hanya berjarak sekitar 29 km. Sedangkan Bandara Kao ke Tobelo sekitar 36 km. Kota Tobelo terletak di Semenanjung Utara Pulau Halmahera yang sebelah utaranya berbatasan dengan Galela dan sebelah selatannya berbatasan dengan Kao. Tobelo sebagai ibukota Kabupaten Halmahera Utara (Halut) sudah barang tentu jauh lebuh ramai di banding beberapa Ibukota Kabupatan/Kota di Provinsi Maluku Utara lainnya selain Kota Ternate, dan Kota Soasio, Ibukota dari Kota Tidore Kepulauan.

Zhafira House (Hotel) menjadi pilihan tempat menginap selama di Kota Tobelo. Di samping dekat bahkan berhadapan langsung dengan Mesjid Jami’ Kampung China juga dekat dengan SMPN 1 Halmahera Utara yang hanya berjarak 600 meter. SMPN 1 Halmahera Utara inilah yang menjadi tujuan utama kami selaku Tim Penjaminan Mutu Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013 dari P4TK PKn dan IPS. Di samping tempat penginapan, ternyata terdapat kios-kios makanan yang menyediakan kebutuhan takjil untuk berbuka. Di antara beberapa makanan yang sedikit berbeda yang sempat kami beli untuk berbuka adalah Gohu. Gohu, adalah makanan yang berupa singkong (pohong, Jawa) atau tenggeng (Madura) yang direbus dan ditambah daging ikan yang dipotong-potong dan beberapa buah Lombok. Gohu, menurut informasi merupakan makanan khas Halmahera Utara. Maknyuss juga nich makanan.

Alhamdulillah, merasakan Sholat Maghrib dan Isyak serta Tarawih di Kota Tobelo. Sholat yang terasa di kampung sendiri. Kebetulan pelaksanaan Sholat Tarawih di Mesjid Jami’ Kampung China ini hampir sama dengan pelaksanaan di kampung-kampung di sebagian besar wilayah Madura, yakni sholat dengan 23 rakaat. Bacaan dzikir yang dijaharkan, dan lain sebagainya. Bedanya hanya pada waktu yang digunakan. Untuk 23 rakaat ini baru selesai sekitar pukul 21.00 dengan mulai pukul 19.30an. Hal ini jauh berbeda dengan di kampung-kampung di Madura yang relatif jauh lebih cepat dan hanya membutuhkan waktu maksimal sekitar 30 menit. Sementara di Mesjid Jami’ tersebut melebihi 1 jam.

Pukul 22.00 WIT kami coba keluar untuk makan. Seperti yang disampaikan sebelumnya, jika belum nasi maka belum Afdhal. Dipilihlah warung Jawa. Hal ini sudah bisa ditebak dan terlihat dari menu yang disediakan. Kami pilih Ikan Kakap yang masih berada dalam tempat yang diberi es. Karena yang dipilih “Kakap Bakar” maka harus lebih sabar menunggu dibakar. Ternyata pemilik warung makan itu adalah orang Lamongan Jawa Timur. Akhirnya terjadi dialog berbahasa Jawa di tengah-tengah bahasa Maluku serta di tempat yang jauh ribuan kilometer dari Pulau Jawa. Hehehe. Apalagi si Ikan Kakap Bakar yang selesai lebih dulu proses pembakarannya adalah yang untuk mas Mamik, rekan satu tim. Resikonya hanya lebih terakhir untuk menyantap Si Kakap. Hehehe.

Dalam perjalanan menuju penginapan, sayup-sayup saya dengar percakapan yang tidak anih bagi saya, tetapi anih bagi orang Maluku Utara dan orang Jawa. Bahasa apakah gerangan yang mereka gunakan? Hehehehe. Sudah barang tentu yang dimaksud adalah bahasa ibu-ku, yakni Bhasa Madhura atau Madura Language. Bahasa Madura ini digunakan oleh penutur sekitar 14 juta orang, dan terpusat di Pulau Madura, Ujung Timur Pulau Jawa atau di kawasan yang disebut dengan Kawasan Tapal Kuda yang terbentang dari Surabaya, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, sampai Banyuwangi. Di Samping itu digunakan di Kepulaun Masalembo, Pulau Sapudi, Kepulauan Kangean, hingga Pulau Kalimantan (http:id.m.wikipedia.org).

Saya hampiri mereka yang berbahasa Madura tersebut. Ternyata mereka dari Kabupaten Bangkalan, kabupaten tetangga sebelah barat dari Kabupaten Sampang. Kami asyik saling sapa, diskusi ringan, cerita-cerita hingga sekitar 1 jam. Mereka umumnya sebagai tukang cukur, memang yang merajai tukang cukur di Tobelo (Halmahera Utara) adalah Saudaraku dari Madura (khususnya dari Bangkalan). Ternyata seperti terjadi pembagian wilayah, jika di Halmahera Barat yang terbanyak tukang cukur (pemangkas rambut) berasal dari Sumatera.

Ketika di Sampang dulu, lama sekali bertentangga bahkan toko mertuaku bersebelahan dengan tukang cukur (Pangkas Rambut) dari Bangkalan. Ia banyak cerita jika sebagian besar tukang cukur asal Bangkalan bekerja di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Indonesia bagian timur, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Maka benarnya adanya ucapannya, karena saya langsung menjumpai saudara se-Madura-ku itu di tempat mereka bekerja. Di Kota Ternatepun saya banyak melihat stand-stand tukang cukur yang langsung menulis pada kaca stand-nya dengan tulisan “Pangkas Rambut MADURA”. Semangat untuk hijrah ke luar daerah dalam rangka mencari pekerjaan dan kehidupan membuat saya salut dan bangga sebagai orang Madura. Ups.

Kamis, 8 Juni 2018, setelah Shubuh, saya segera keluar hotel untuk jalan-jalan melihat pelabuhan dan pantai Tobelo. Dari hotel menuju pantai sekitar 900 meter menurut Google Map. Agar hemat waktu maka saya naik Bentor (Kendaraan roda tiga hasil inovasi dan rakitan antara becak dan motor/sepeda motor) dengan membayar Rp5.000,00. Alhamdulillah sebelum Sang Mentari terbit sudah berada di lokasi, saya amati kehidupan pelabuhan, bongkar muat barang niaga antar pulau. Kapal-kapal besar yang memuat peti kemas serta peti kemas (container) yang berjejer menjadi pemandangan tersendiri di pagi itu. Sang Mentari akhirnya mulai menyapa alam dengan perlahan muncul dari balik rerimbunan pohon-pohon di pulau yang bersebelahan dengan pelabuhan Tobelo. Di sebelah timur pantai dan Pelabuhan Tobelo memang terdapat beberapa pulau yang menjadi rujukan wisata. Seperti biasa, selpie tipis-tipis saya lakukan untuk mengabadikan suasana alam nan indah itu.

Pukul 07.00 WIT terlihat pada arloji kesayanganku, sehingga harus bergegas kembali ke hotel dengan tetap naik bentor. Akhirnya, kami (saya bersama Mas Mamik, rekan satu tim) bersegera menuju SMPN 1 Halmahera Utara. Kami laksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Semua instrumen yang harus diisi oleh Kepala sekolah, semua Instruktur K-13, dan untuk peserta pelatihan (meski hanya sampel saja) sudah diberikan. 30-45 menit berikutnya Mas Mamik mengambil instrumen tersebut.

Di SMPN 1 Halmahera Utara itu terdapat 4 ruang/kelas pelatihan implementasi Kurikulum 2013 yang terdiri atas 3 ruang untuk guru mata pelajaran (Bahasa Inggris, IPA, dan IPS) dan 1 ruang untuk Kepala Sekolah. Di antara 4 kelas tersebut maka di kelas kepala sekolah saya agak lama mendampingi dan diskusi seputar kurikulum dan juga tentang NUPTK, Sertifikasi, TPP, PPG, dll. Memang sebagian besar yang berada di kelas kepala sekolah adalah berasal SMP swasta dan banyak berstatus non PNS. Maka sangat wajar jika mereka juga bertanya tentang nasib mereka dan lain sebagainya. Maka sangat wajar jika saya harus menjawab semampu saya seputar pertanyaan tersebut.

Setelah semua tuntas, maka kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan menuju Sofifi, Ibukota Provinsi Maluku Utara yang baru. Sebelumnya Ibukota Provinsi Maluku Utara ini adalah Ternate. Sebelum bergegas meninggalkan SMPN 1 Halmahera Utara maka kami ambil dokumen dengan selfie di depan papan nama lembaga tersebut. Sekitar pukul 11.40an kami berangkat menuju Sofifi dengan mobil Avanza Hitam. Jarak tempuh Tobelo-Sofifi sekitar 183 Km (versi Google Map) dan diperkirakan memakan waktu sekitar 3,5 jam.

Kami sangat menikmati perjalanan yang hampir 200 km tersebut. Jalan yang begitu mulus, dengan marka jalan (batas kanan kiri jalan) yang masih putih pekat. Menaiki/menuruni bukit, membelah gunung, menyusuri pantai yang sebagian besar bertebing, melewati puluhan jembatan, dan pohon-pohon kelapa yang berjejer di kanan kiri jalan seolah-olah melambaikan tangan dan menyapa kami sepanjang perjalanan. Waktu 3,5 jam seakan-akan sangat disayangkan jika harus tidur atau istirahat dengan melewatkan pemandangan yang cukup menawan tersebut. Sesekali sempat terkantuk-kantuk apalagi angin yang keluar dari celah-celah lubang AC mobil yang begitu menggoda untuk tidur.

Sekitar pukul 15.00 WIT mobil melewati depan kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara di Sofifi yang menandakan sebentar lagi sudah sampai pelabuhan. Pelabuhan Sofifi– Ternate Psebenarnya bisa dilalui dengan 2 jenis angkutan penyeberangan. Pertama, melalui Speed Boat dengan lama sekitar 30 menit. Kedua, melalui Fery dengan lama sekitar 120 menit (2 Jam). Akhirnya, kami memilih menggunakan Fery KMP Baronang dengan alasan: 1) Ingin mencoba dengan Kapal Fery. Hal ini karena ingin membuka kenangan lama yang mana saya sendiri sudah sekitar 9 tahun tidak menggunakan Kapal Fery setelah Jembatan Suramadu beroperasi sejak tahun 2009; 2) Menyenangkan Mas Mamik, karena jika ikut Speed Boat, Ia merasa was-was karena ombak dan angin.

Kapal Fery KMP Baronang ternyata menurut informasi baru pukul 16.00 WIT merapat di Pelabuhan Sofifi setelah datang dari Ternate, sehingga perlu menunggu sekitar 1 jam. Hanya dengan harga karcis/tiket sebesar Rp21.000,00 perorang sudah bisa menyeberang ke Ternate dari Sofifi. Sekitar pukul 4 sore lewat beberapa menit barulah semua calon penumpang mulai masuk ke atas kapal setelah penumpang yang jalur Ternate-Sofifi turun. Pukul 5 sore kurang sedikit barulah kapal bergerak menuju Pelabuhan Bastiong (Ternate). Bahagia rasanya menikmati Kapal Fery, bisa menikmati perjalanan sekitar 2 jam. Melihat pergerakan ikan yang timbul tenggelam di dekat kapal, lalu-lalang Speed Boat yang begitu melesat di atas air jauh meninggalkan kapal, panorama alam berupa gunung-gunung yang seolah-olah muncul dari bawah laut yang sebenarnya itu Pulau Ternate dan Pulau Tidore.

Menikmati Sunrise di atas geladak KMP Baronang yang dirangkai dengan buka puasa meski dengan sepotong roti dan sebotol air merk Aqua semakin mengasyikkan dan merupakan salah satu moment yang tak terlupakan. Kapal terus bergerak meski malam sudah mulai datang. Ribuan lampu yang seolah-olah mengelilingi pulau Ternate semakin menambah indah kota Ternate dipandang dari tengah laut. Kapal baru merapat dan bersandar di dermaga Pelabuhan Bastiong sekitar pukul 19.00 WIT.

Dari Pelabuhan Bastiong langsung menuju Hotel Gamalama yang tepat berada di depan Mesjid Almunawwar, Mesjid Agung Kota Ternate. Sebuah mesjid yang cukup megah dan besar serta berada di tepi pantai kota Ternate. Masjid Almunawwar ini bersebelahan dengan Gedung DHUAFA CENTER, Taman NUKILA, Landmark TERNATE, Pantai PALAJAWA, dan kantor Gubernuran. Jadi, Mesjid tersebut benar-benar berada di pusat kota.

Kebetulan di hotel Gamalama sudah ada rekan yang juga sudah menginap 3 hari. Yakni Pak Heri Suasanto, Mas Erwan, Pak Pardi, dan Pak Sucahyono. Keempatnya merupakan Tim Penjaminan Mutu Pelatihan Implementasi K-13 yang juga dari kantor yang sama tetapi untuk bertugas wilayah Kota Ternate. Akhirnya kami bertiga (saya, Mas Mamik, dan Pak Heri) mencari warung untuk makan (baca: berbuka). Seperti biasa, jika belum nasi maka belum Afdhal. Hehehehehe.

Dari lokasi tempat makan tadi, kami langsung menuju Landmark TERNATE. Sebuah tulisan TERNATE dengan ukuran jumbo bahkan raksasa. Landmark ini langsung berhadapan dengan pantai dan pelabuhan Speed Boat. Air mancur yang menari-nari serta Monumen Khatulistiwa semakin menambah indahnya tempat ini. Maka sangat wajar manakala setiap pengunjung yang datang ke lokasi ini akan mengabadikan dengan selfie (swafoto) di depan tulisan besar “TERNATE”. Hal ini menandakan jika ia pernah berada atau berkunjung ke kota Ternate. Landmark TERNATE ini merupakan ikon baru kota yang berjuluk BAHARI BERKESAN ini yang diresmikan pada 30 Juli 2017 yang lalu. Landmark TERNATE berarti titik nol kota Ternate. Kota Ternate merupakan sebuah kota sejarah yang dulu diperebutkan karena rempah-rempahnya dan menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa.

Pada Kamis, 7 Juni 2018 malam Jumat atau 23 Ramadhan 1439 H tersebut merupakan malam terakhir di Maluku Utara, khususnya di Kota Ternate. Kami betul-betul menikmati malam tersebut sepanjang malam. Setelah Sholatul Lail di Mesjid Agung Kota Ternate, saya mencoba mengunjungi Bazaar Ramadhan di sebelah barat Mesjid yang tetap ramai sekalipun sudah pukul 01.00 dini hari. Saya membeli kaos kenangan dengan gambar Pulau Tidore. Lalu mencoba duduk-duduk santai di Taman Nukila yang langsung berhadapan dengan pantai atau pelabuhan. Kacang rebus dan sebotol aqua yang dibeli di pinggir taman dari penjual seorang Ibu yang berasal Lamongan Jawa Timur ikut menemani malam itu. Suara air laut yang lagi pasang dan kelap-kelip lampu Speed Boat semakin menambah nikmat malam itu. Pukul 01.30an saya harus kembali ke hotel yang sebentar lagi masuk waktu Sahur.

Alhamdulillah masih bisa mengikuti Sholat Shubuh berjamaah di Mesjid Agung Almunawwar dan dilanjutkan dengan menyimak ceramah agama (kuliah Shubuh). Menjelang Pukul 05.40an, saya harus bergegas keluar dari Mesjid menuju hotel dan bersiap-siap kembali ke Batu, Jawa Timur. Sekitar pukul 06.00, kami berenam dijemput oleh salah satu Kasie di Dinas Pendidikan Kota Ternate dengan Mobil Avanza Silver dan membawanya ke Bandara Babullah Ternate. Jadwal penerbangan kami pukul 08.00 WIT dengan Sriwijaya Air SJ 557 dari Ternate (TTE)- Makassar (UPG) dan lanjut Sriwijaya Air SJ 665 Makassar (UPG) – Surabaya (SUB).

Sultan Baabullah International Airport - Ternate, 23 Ramadhan 1439 H (08/06/2018)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah tulisan perjalanan sangat panjang, mungkin kalau di buat berseri bisa lebih baik, hanya saran, juga bisa menjadi buku lho pak kalau dikembangkan tulisannya

11 Jun
Balas

Hehehee. Baru belajar nulis. Msh nyicil tulisan di gurusiana. Jk sdh cukup mk mau dikumpulkan dan dijadikan buku. Smg kelar. Mhn bimbinganya nggih.

12 Jun



search

New Post