Mardiyanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Balada Miras Oplosan: Kenikmatan Semu yang Menyesatkan
Ribuan botol dimusnahkan (sumber: Liputan6.com)

Balada Miras Oplosan: Kenikmatan Semu yang Menyesatkan

Ratusan orang harus meregang nyawa akibat menenggak miras oplosan dalam beberapa pekan lalu di wilayah hukum Jaba Barat. Kasus ini ibarat bara, tidak pernah padam dan terus terulang.

Kasus miras oplosan di berbagai tempat ini menarik untuk dikaji secara sosiofenomenologis dengan pendekatan Schutz, yakni mengetahui, sekaligus menangkap lebih jauh atau melihat sesuatu lebih jauh (seeing beyond). Lalu, menarik akar masalahnya ke luar untuk dicarikan solusinya.

Di banyak kejadian para korban jamu oplosan atau miras oplosan ini adalah kalangan rakyat jelata yang hidup pas-pasan. Dalam keseharian mereka hidup serba tak menentu atau menjadi pengangguran. Akses kerja yang rendah, pendapatan minim, dan beban kerja berat acapkali membuat mereka mencari cara dan jalan (outlet) untuk melepas kepenatan. Miras “ala kadarnya” acapkali menjadi tempat berlabuh.

Dua kejadian beruntun di Bantul dan Gunung Kidul menjadi fakta miras oplosan tumbuh subur di kalangan pedesaan dengan jumlah penduduk miskin cukup banyak. Mereka mimilih menenggak miras oplosan dengan alasan murah dan gampang diperoleh. Kasus di Bantul yang melibatkan anak usia sekolah tentu saja menjadi catatan tersendiri bahwa miras oplosan pun sudah merambah ke berbagai kalangan termasuk para pelajar.

Efek Kemiskinan

Dapat disimpulkan bahwa kemiskinan semakin mendorong kerawanan sosial berupa praktik-praktik minuman keras. Di negeri ini, kemiskinan tidak semata-mata disebabkan oleh lemahnya etos kerja masyarakatnya, melainkan juga disebabkan oleh akses pekerjaan yang sulit.

Maka, yang lantas kalah adalah orang-orang yang notabene minim keterampilan, kalah dalam akses memasuki pasar kerja, dan mereka orang-orang yang sejak dulu belum beranjak dari jaring kemiskinan. Akibatnya mereka membentuk jejaring sosial baru di jalanan, kampung-kampung di pinggiran kota, dan pedesaan yang memiliki kerawanan sosial tinggi, termasuk terjerat miras dan perjudian.

Kasus berulang-ulangnya miras oplosan menunjukkan bahwa minuman keras dengan racikan empunya warung sudah berlangsung lama. Bahkan diduga terjadi pembiaran, baik oleh aparat kepolisian dan juga masyarakat sekitar. Hal ini sekali lagi menunjukkan, nyaris kehidupan sosial di seputar lingkungan “komunitas pemabuk” sama sekali sulit terjamah oleh dunia luar. Mereka seperti memiliki “habitat” atau pakemnya sendiri.

Banyak korban miras oplosan adalah para pekerja serabutan. Dalam keseharian ritme kerja mereka tidak menentu, kadang sepi kadang ramai. Tak heran jika sekuat tenaga mereka berusaha mencukupi kebutuhan hidup, tanpa mempedulikan kesehatan fisik. Maka, beban pekerjaan yang berat acapkali diusir dengan cara-cara instan, yakni menenggak miras. Bagi kalangan bawah yang akrab dengan hidup yang serba susah, miras menjadi obat pelipur lara, meski itu kebahagiaan semu yang menyesatkan.

Para korban miras kebanyakan sudah berumah tangga atau berusia di atas 30 tahun, bahkan sudah sepuh (tua) pun cukup banyak. Dari fakta-fakta tersebut kita bisa menangkap bahwa peredaran miras banyak dipengaruhi oleh jejaring pergaulan yang tidak sehat dan kontrol personal maupun keluarga yang buruk. Hal ini semakin diperparah dengan lemahnya kontrol sosial dari masyarakat.

Mengutip data Badan Pangan Dunia (FAO) tentang World Drink Trends tahun 2003, naiknya tingkat konsumsi minuman keras di Indonesia, terlihat jelas. Pada era 60-an, tingkat konsumsi minuman keras rata-rata masih 0,02 liter perkapita per tahun. Dalam dua dasawarsa berikutnya, meningkat menjadi 0,08 liter per kapita per tahun. Pada tahun 2000, tingkat konsumsi minuman keras di Indonesia rata-rata telah mencapai 0,1 liter per kapita per tahun. Repotnya, sebagian pengonsumsi adalah kaum pinggiran yang abai terhadap bahaya miras dan mengonsumsi miras tradisional yang sulit terendus aparat.

Lantas, apa yang mesti dilakukan untuk mengerem semakin banyaknya jatuh korban jiwa akibat menenggak miras oplosan? Selama ini yang dipraktikkan pemerintah adalah dengan sweeping dan ternyata gagal karena belum menyentuh jantung persoalan dari miras oplosan ini, yakni habitus kaum pinggiran yang tidak tersentuh pembangunan yang memang menyediakan lubang menganga membiaknya kebiasaan meminum minuman keras.

Oleh sebab itu, perlu dicarikan cara untuk menutup lubang tersebut, barangkali kita bisa belajar dari Durban yang menfasilitasi keluarga miskin dengan berbagai kemudahan termasuk pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Mereka cukup menunjukkan bukti memiliki pekerjaan dan tekad untuk hidup lebih baik dengan cara-cara yang bersih. Terbukti cara seperti ini ampuh menekan angka kriminalitas, narkoba, dan alkohol. Tidak sekadar itu peran masyarakat juga amat penting, terutama keluarga di rumah dan pendidik di sekolah-sekolah karena usia remaja termasuk paling rentan terjerat tidak saja rokok dan narkoba tapi juga miras.

Mardiyanto, M.Pd. Guru SMP N 2 Sukoharjo Kab. Wonosobo

Artikel ini sebgaian besar digunting dari kolom Opini Kedaulatan Rakyat September 2010

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post