Mardiyanto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Begini Kondisi Rendahnya Literasi Guru

Begini Kondisi Rendahnya Literasi Guru

Oleh: Mardiyanto

Beberapa waktu lalu ada seorang kawan yang mengeluh kepada saya, sulitnya membiakkan budaya literasi di kalangan guru dalam bentuk karya ilmiah, seperti artikel dan laporan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Akibat kesulitan tersebut kawan saya tadi tersendat kenaikan pangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Fenomena tersebut sebenarnya jamak dialami oleh guru-guru di Indonesia, jadi meskipun guru menguasai praktik pembelajaran dengan baik di kelas, belum menjamin guru memiliki kemahiran menarasikan dalam bentuk laporan ilmiah. Ironi.

Seperti diketahui pemerintah telah membuat regulasi perihal profesionalisme guru, berbeda dengan PNS lainnya. Jenjang karir guru berubah sejak disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD). Guru merupakan sebuah profesi sehingga memiliki jenjang karir yang menganut prinsip-prinsip akademik, seperti menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya.

Regulasi yang memayungi profesionalisme guru tertuang dalam Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 35 tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknik Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.

Aturan tersebut secara efektif berlaku sejak 1 Januari 2013 lalu, aturannya untuk kenaikan pangkat jabatan fungsional guru serendah-rendahnya Golongan III/b diwajibakan membuat Karya Inovatif berupa penelitian, karya tulis ilmiah, alat peraga, modul, buku atau karya teknologi pendidikan yang nilai angka kreditnya disesuaikan. Semakin naik ke golongan yang lebih tinggi, tuntutan untuk melaksanakan kegiatan pengembangan diri semakin berat pula.

Aturan ini tergolong cukup berat mengingat sebelumnya aturan untuk membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk laporan penelitian hanya berlaku untuk kenaikan pangkat dari Golongan IV/a ke IV/b. Oleh karena itu, jamak dijumpai guru-guru yang sebagian besar saat ini “jalan di tempat” di Golongan IV/a.

Belum Terbiasa

Apa sebenarnya kendala guru dalam menulis karya ilmiah? Sejauh ini dalam beberapa program guru yang pernah saya ikuti seperti dalam kegiatan Better Education through Reformed Management and Universal Up-grading (BERMUTU) melalui kerjasama pemerintah Indonesia, Belanda, dan Bank Dunia rentang tahun 2009-2012 lalu, dapat ditarik simpulan bahwa iklim akademik, atau pembiasaan literasi (baca-tulis) dan kegiatan riset (penelitian) belum membudaya di kalangan guru. Sebagian besar guru masih terjebak dalam rutinitas mengajar yang itu-itu saja, belum lagi beban administratif guru yang cukup menguras tenaga dan pikiran.

Selain masalah iklim kerja guru yang belum terbiasa meneliti, masalah krusial lainnya adalah kompetensi guru yang rendah. Dengan jumlah guru di Indonesia yang mencapai 2,92 juta orang (2013), data menunjukkan ada sekitar 1,4 juta guru SD-SMP yang belum bergelar sarjana. Kendala akademis ini turut menyumbang pula rendahnya kompetensi guru di Indonesia. Hasil Uji Kompetensi Guru secara nasional menunjukkan hasil rata-rata nasional di bawah angka 50, atau tepatnya 4.25 (2013). Nilai yang jauh dari harapan tersebut turut mencerminkan rendahnya tradisi literasi guru-guru di Indonesia, yang turut pula mempengaruhi kendala guru dalam menulis ilmiah.

Masalah yang juga mengemuka di kalangan guru adalah minimnya ruang/media guru untuk menuangkan gagasan maupun hasil penelitiannya. Sejauh ini jurnal yang khusus menampung hasil karya guru masih sangat terbatas, tidak sebanding dengan jumlah guru yang mencapi 2, 9 juta orang. Beruntung, sejumlah media cetak memang mampu menjadi “lumbung” karya ilmiah guru dalam bentuk artikel ilmiah populer dalam bentuk kolom opini, maupun kolom yang dikhususkan untuk guru, seperti rubrik suara guru di KR. Peran media cetak tersebut sangat positif yang mampu mendorong guru terpacu untuk menulis.

Sebagai penutup, aturan main yang mewajibkan guru menulis ilmiah tidak dimungkiri merupakan langkah maju pemerintah. Akan tetapi seyogianya pemerintah juga menfasilitasi guru dengan berbagai program pembinaan yang mengasah keterampilan menulis dan menyediakan media yang mampu menampung karya-karya guru. Dengan demikian, rasa percaya diri gutu tumuh ketika guru mengajak murid-muridnya untuk menulis. Guru selain mengajarkan tata cara menulis juga menjadi “role model” bagi siswa-siswanya.

Mardiyanto, MPd, Alumnus Program Pascasarjana UNY

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setuju banget Pak... guru-guru PNS malah banyak yang kalah oleh guru-guru swasta yang statusnya masih honorer. Saya sering mengamati guru yang menulis di rubrik Forum Guru Pikiran Rakyat Bandung kebanyakan guru-guru honorer, padahal mereka tak ada tuntutan agar naik golongan.

20 Apr
Balas

Begitulah Mas Eddi, menulis belum menjadi ruh dalam pendidikan, penyakitnya masih yang itu itu aja..."malas".

21 Apr
Balas



search

New Post