Tantangan hari ke 9

Tantangan menulis 30 hari Gurusiana

Tak banyak hal yang kami lakukan sepulang sekolah. Kamung yang sunyi, mes guru yang jauh dari perkampungan serta tidak ada hiburan lain selain memandang gunung dan mendengar suara sungai seringkali menciptakan kejenuhan di pikiran kami. Saya dan ibu Mia ( teman sepenempatan saya di pedalaman) seringkali mengeluh bosan, namun kami tak bisa berbuat apapun untuk menghindari kebosanan kami.

Kami akan mondar-mandir di dalam mes guru, menunggu waktu untuk mandi di pancuran air dari rimbunan pohon sagu di belakang mes guru pada sore hari. Menghitung waktu seperti mengeja jarum jam, melingkari kelender, dan menghitung berapa banyak hari di pedalaman.

Setelah beberapa Minggu mengkonsumsi telur dan mie instant, kami berdua pun lelah. Keadaan yang serba terbatas membuat kami kehilangan napsu makan. Pagi makan nasi goreng, siangnya makan telur, dan malam hari kembali makan mie instant. Beberapa kali kami makan buah pepaya tak matang yang ditumis, dikukus bahkan dimakan dalam keadaan mentah dengan lombok.

Satu hal yang menggugah selera. Sambal lado ala ibu Mia. Bawang dan Lombok direbus lalu diulek. Karena kami tak mempunya cobek maka ibu Mia meletakan lombok dan bawang yang sudah direbus ke dalam piring dan menghancurkannya dengan gelas. Kemudian diberi perasan air jeruk nipis dan garam. Itu rasanya sudah lebih dari cukup untuk membantu menurunkan nasi ke lambung.

Rupanya sambal lado itu kemudian menjadi peneman nasi yang setia. Beberapa kali, kami makan tanpa lauk apa-apa, hanya sambal lado itu. Beberapa kali buah pepaya tak matang yang dikukus terkadang menjadi teman yang pas untuk sambal lado.

Sambal lado, bahkan ketika kami bosan dengan makanan yang itu-itu saja, ia masih tersenyum di sudut piring menawarkan rasa pedas yang menemani hari-hari sepi di pedalaman.