Minggu 14 Juni 1998

Laki-laki hebat yang pertama ada di kehidupan ini, Pergi untuk selamanya.

Abak, aku memanggilnya. Sebutan untuk orang tua laki-laki dari suku minang. Dimataku Abak adalah sosok yang keras, tegas dan penuh wibawa. Abak orang yang tidak banyak bicara. Ucapannya sangat berarti.

Butuh waktu yang lama untuk bisa mengenang dan menulis kembali. Menjadikan sebagai catatan, kenangan dan sejarah dalam hidup, untukku anaknya.

Setiap mengenang sosok beliau, ada perih menusuk di relung sanubari. Air mata tidak akan mampu di bendung meski sudah 22 tahun kepergiannya. Tetapi sosoknya selalu ada dan hidup dalam ingatan.

Bangga sebagai anakmu adalah suatu hal yang ku rasakan. Tanggung jawabnya tidak hanya sebagai kepala keluarga tetapi juga sebagai pimpinan kerukunan masyarakat (RK). Jabatan sebagai RK, Abak pikul sampai akhir hayat nya. Abak adalah RK seumur hidup.

Abak juga merupakan pengurus Masjid. Masjid Rahmat kampung Tengah - Sukajadi, dari awal pembangunannya dari sumber sejarah yang ku dapati, Abak juga sebagai salah seorang perintisnya. Masjid yang cukup besar pada masa aku kanak-kanak.

Setiap Ramadhan seperti ini Abak juga diminta untuk memberikan atau menyampaikan arahan. Setiap kegiatan yang berkaitan dengan masjid dan masyarakat, Abak selalu ada. Tidak salah kalau aku mencap masjid Rahmat identik dengan Abak dan ku sebut "Masjid Abak".

Jiwa kepemimpinan beliau membuat Abak di kenal tidak hanya di lingkungan masyarakat sekitar, bahkan juga kekecamatan. Bukan tidak ada orang hebat dan bertitel di masyarakat pada masa itu, banyak. Tetapi memimpin masyarakat tetap di serahkan kepada Abak.

Abak di segani oleh tua dan muda. Kami bangga sebagai anaknya karena derajatnya di masyarakat sedikit banyak berimbas kepada kami.

Jiwa sosial dan rasa pedulinya terhadap warga tidak mampu sangat tinggi. Hal yang membuat aku salut adalah "memo dan tanda tangan Abak berlaku di kelurahan dan kecamatan." kondisi ini pernah ku temui ketika ada bantuan Raskin dan ketika itu ada warga yang tidak dapat, mereka menemui Abak. Setelah menyampaikan maksudnya dan Abak pun memahami, kemudian Abak menulis surat pengantar untuk di bawa oleh yang bersangkutan ke kelurahan, dengan kalimat abak sendiri dan ia tanda-tangani.

Setelah abak meninggal hal ini masih terucap dari mereka yang pernah di bantu nya, bahkan ada yang masih datang kerumah mencari abak dengan maksud yang sama karena tidak tahu kalau Abak sudah tidak ada.

Secara finansial, Abak memang tidak sukses. Abak hidup dengan sangat sederhana, tanpa memikirkan dirinya, untuk bisa menghidupi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Walaupun Abak tidak pernah ku dengar mengatakannya, tapi aku tau, ia bangga dengan anak-anaknya. Masih teringat oleh ku kalau Abak mau mengirim surat ke kampung, maka aku adalah juru tulisnya. Saat aku wisuda, abak yang paling semangat mengajak berphoto.

Tapi itu hanya kenangan karena abak tidak pernah melihat aku seperti sekarang ini, karena setahun kemudian Abak harus memenuhi takdirnya. Kembali kepada Sang Pemilik kehidupan.

Sore itu, Minggu. Abak pergi selamanya tanpa sempat melihat anak yang di banggakannya bahagia dan membahagiakannya.

Dalam do'a, ku mohonkan selalu kepada yang Maha Pengasih, agar menjadikan kubur abak seperti taman syurga, dan kelak keluarga besar kami, dapat berkumpul di Jannah-Nya, Aamiin Allahumma Aamiin ...