Maryam

Maryam, guru SDN 215 inpres Taipa Jika kau bukan anak raja dan anak ulama besar maka menulislah ( Imam Al Gazali )...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menikahi Om-Om bagian 10 ( Bimbang )

Menikahi Om-Om bagian 10 ( Bimbang )

Aku hanya bisa pasrah mengetahui keadaan papa. Apalagi yang bisa aku lakukan untuk menolongnya. Aku hanya seorang bocah baru lulus SMA yang dinikahkan dengan seorang pria berhati dingin. Apa yang bisa aku lakukan? tak mungkin aku mengeluhkan kondisi papaku padanya, aku tidak yakin ia bisa memberikan solusi padaku.

Aku berdiri di samping papa, menatap wajahnya lekat, ada perih yang tak mampu aku ungkapkan. Sementara hanya papa yang selama ini paling mengerti segalanya tentangku, tapi sekarang dia yang sakit, lalu pada siapa lagi aku mengadukan semua ini.

Teringat kembali cerita papa mertuaku tentang Raka. Bukankah dulu ia juga mengidap penyakit yang sama? dan sekarang ia masih baik-baik saja. Berarti masih ada harapan bagi papa untuk sembuh. Bukankah aku bisa mendonorkan ginjalku untuk papa?. “ah” hatiku diliputi kebimbangan.

Kuusap wajah tua itu, tak terasa air mataku kembali luruh membasahi muka kusutku “Pa, cepat sembuh pa, Winda tak sanggup melihat papa dalam kondisi seperti ini” bisikku di dekat telinganya. Aku berharap papa mendengar permintaanku. Ia sangat menyayangiku, dia pasti akan sembuh untukku.

Tak ada jawaban, yang ada hanya nafasnya yang halus naik turun dengan teratur. Apakah ia sedang tidur atau pingsan? Aku tak tahu. Kualihkan pandanganku pada alat-alat medis yang terpasang di bagian tubuh papa. Ada dua selang infus tepasang di kedua lengannya, terdapat juga kabel-kabel terhubung dengan komputer. Kata dokter fungsinya untuk membaca kondisi papa. Mataku memanas, bulir bening sepertinya tak sabar meninggalkan kelopaknya, membayangkan jika garis-garis bergelombang itu berubah lurus seperti yang pernah kusaksikan saat mama meninggal “Ya Allah, jangan sampai” aku mencoba berzikir menyebut nama agung itu. “Ya Allah, injinkanlah aku membahagiakan papaku, jangan ambil dia sebelum aku menjadi orang yang sukses” bahuku terguncang menahan tangis meratap dengan doa penuh harap.

“Win, papa akan baik-baik saja, percayalah” aku membalikkan wajahku ke belakang, tak menyadari kedatangan manusia salju itu. Entah sejak kapan ia berada di sana. Ia mendekatiku dan mengusap-usap punggungku membuatku ingin sekali bersandar padanya. Ia meraih kepalaku dan mendekapnya, aku bersandar di pinggangnya yang posisinya sedang berdiri di sampingku sementara aku duduk di kursi samping papa.

“Aku dengar, kak Raka juga dulu pernah punya penyakit yang sama dengan papa?” tanyaku lirih, aku merasakan dekapannya melonggar.

“Siapa yang memberitahumu?” jawabnya melepaskan dekapannya kemudian menatapku heran.

“Papamu” jawabku ringkas membalas tatapannya. Ia menarik nafas berat kemudian menghembuskannya pelan.

“iya, aku dulu pernah menderita penyakit ini” ia berhenti sejenak seolah memikirkan sesuatu “Andaikan tidak ada orang yang mendonorkan ginjalnya untukku, mungkin aku tidak berada di sini sekarang” sambungnya sedikit emosinal sehingga aku merasakan irama kesedihan dalam nada suaranya .

“Aku ingin mendonorkan ginjalku untuk papa kak” ucapku yakin membuat matanya membeliak kaget.

“Nggak Win, orang yang telah mendonorkan ginjalnya rentan terkena penyakit yang sama” sahutnya dengan nada tinggi.

“Tapi itu untuk papaku kak, kalau terjadi sesuatu pada papa, aku tak ingin hidup lagi” ucapku terisak.

“ush..tak baik bicara seperti itu Win, percayalah aku akan berusaha memberikan yang terbaik buat papa, kalau perlu aku akan membawanya berobat ke luar negeri” ucapnya kemudian berjongkok di depanku. Ia menggenggam tanganku erat seolah memberikan harapan besar kepadaku atas kesembuhan papa. Perlahan kulepas genggaman tangannya, teringat akan perjanjian pranikah yang pernah ia ajukan. Kembali menghadapkan wajahku menatap papaku.

“Kenapa Win? Kamu tidak percaya padaku?” tanyanya kembali mendekatiku.

“Aku tak mau merepotkan orang lain kak, dia papaku, tanggung jawabku” jawabku menutupi perasaan canggungku karena perubahan sikapnya yang begitu tiba-tiba. Aku semakin merasa kalau dia itu punya kepribadian ganda.

“Tapi aku bukan orang lain Win, aku suamimu” Jawabnya menekan kata suami, aku begidik mendengarnya. Aku tersenyum getir menimpali perkataannya membuatnya mentapku penuh tanya.

“Suami?” tanyaku lirih sementara tanganku mengelus lengan papa yang basah oleh keringat.

“Aku tahu Win, kita tak seperti pasangan yang lain, tapi aku akan tetap menjalankan kewajibanku sebagai suami, aku bertanggung jawab atas kamu dan ayahmu” tuturnya dengan suara agak bergetar.

“Sudahlah kak, biarkan aku mengurus semuanya” jawabku kemudian berdiri meninggalkannya.

“Winda! Mau kemana?” sahutnya meraih tanganku membuatku spontan menepisnya.

“Mau ke toilet, mau ikut?” wajahnya memerah mendengar jawabanku.

“Dasar bocah!” sahutnya pelan, mungkin takut aku mendengarnya.

“Aku dengar loh Om” sahutku membalasnya kemudian segera berlari meninggalkannya karena perutku terasa mulas sepertinya masuk angin, aku cepat-cepat masuk ke toilet.

Seminggu papa di rumah sakit belum ada perubahan apapun. Aku semakin sedih. Raka terus menawariku untuk membawa papa berobat ke luar negeri. Tapi aku masih ragu. Aku tak mau berhutang budi padanya.

“Win, kamu harus segera memberi keputusan, keadaan ayahmu semakin memprihatinkan” ucapnya saat melihatku tengah termangu di samping papa. Ada air bening yang terus mengalir membasahi pipiku. Aku bingung harus bagaimana.

“Baiklah kak, tapi aku janji akan mengembalikan semuanya biaya pengobatan papa” ucapku tercekat di kerongkonganku.

Raka menghela nafas kesal menyaksikan betapa keras kepalanya aku” baiklah kalau itu maumu, besok aku segera mengurus semuanya” ucapnya lirih sambil mentapku tajam.

“malam ini kamu pulang dan istirahatlah di rumah, agar besok kamu segar dan ikut papa ke Singapura” ucapnya lagi.

“aku ingin di sini kak, menemani papa” jawabku

“Win, tolong dengarkan aku kali ini saja” sambungnya kesal

“Kak, tolong jangan suruh aku tinggalkan papa, kalau aku pulang malah akan mengkhawatirkan papa sepanjang malam” jawabku mulai kesal atas sikapnya yang selalu saja mengaturku. Ia terdiam mendengar jawabanku kemudian keluar dari ruang perawatan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ceritanya ssmakin seru, ditunggu lanjutannya Bunda.

07 Feb
Balas

Siap bunda...makasih

08 Feb

Wah penasaran jadinya. Ayo ditunggu sambungan ceritanya.

07 Feb
Balas

Siap bunda..makasih

07 Feb

Mantap buk Sukses selalu buk

07 Feb
Balas

Maksih bunda

07 Feb

Lanjut Bu

08 Feb
Balas

Siap bunda

08 Feb



search

New Post