Maryam

Maryam, guru SDN 215 inpres Taipa Jika kau bukan anak raja dan anak ulama besar maka menulislah ( Imam Al Gazali )...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menikahi Om-Om bagian 8 ( Mimpi Aneh )

Menikahi Om-Om bagian 8 ( Mimpi Aneh )

Aku melihat papa mertuaku bercakap dengan dokter dengan wajah tegang. Aku semakin merasa bersalah karenanya. Aku takut pukulanku tadi berakibat fatal baginya. Tanganku mulai berkeringat karena cemas. Kutatap wajah polos yang berbaring lemah di atas ranjang, wajah yang dua hari ini membuatku sangat kesal, tapi entah kenapa saat ini aku mengkhawatirkannya. Apakah ini karena rasa bersalahku padanya.

Aku duduk di bibir ranjang, menatap lekat ke arah pria yang sering kusebut manusia salju. Entah dengan cara apa aku menuntaskan rasa penasaranku akan rahasia di balik pernikahan kami. Kalau sebenarnya Kak Raka sendiri tidak menyetujui pernikahan ini, lalu kenapa kedua orang tua kami begitu ingin kami bersatu.

“Win, kamu tak perlu khawatir, Raka Cuma butuh istirahat, papa harap kamu bantu papa merawatnya” ucap papa yang tampa kusadari berdiri di belakangku. Aku hanya mengangguk tanpa melihat papa mertuaku itu. Langkahnya terdengar keluar dari kamar setelah sebelumnya menepuk-nepuk pundakku.

Aku berdiri mengambil handuk yang telah aku basahi dengan air hangat. Walaupun aku tak menyukainya, tapi aku berkewajiban untuk merawatnya. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak, ia telah menjadi suamiku dan kewajibanku sebagai seorang istri untuk memastikan ia baik-baik saja. Apalagi ini semu akibat ulahku yang tak terkontrol.

Perlahan kuusap dahinya dengan handuk hangat, kubersihkan keringat yang sejak tadi membasahi wajahnya. Raka belum sadar juga, apakah tinju yang kulayangkan begitu kerasa sehingga ia harus pingsan selama ini.

Seusai shalat magrib, aku duduk membaca kitab ayat- ayat asyifah di dekatnya, aku berharap ia segera sembuh dari sakitnya, aku berjanji akan lebih sabar lagi menghadapinya.

“Win, makan malam dulu yuk” tiba-tiba kepala papa menyembul di balik pintu kamar membuatku menghentikan bacaan al quranku.

“Tapi, Raka gimana pa? Nggak apa-apa ditinggal sendirian?” tanyaku bimbang.

“Ada bibi yang temani nak, kamu makan dulu, nanti kamu sakit” ucapnya sambil tersenyum.

“Iya pa, aku panggil bi Inah dulu yah” ucapku segera beranjak dari tempat dudukku.

Setelah makan malam, papa kembali mengajakku mengobrol di teras rumah, sambil memandangi lampu taman yang berwarna-warni. Ternyata lebih indah menikmatinya di malam hari.

“Win, sebenarnya tubuh Raka itu lemah, waktu kecil ia pernah menderita penyakit gagal ginjal. Saat di rawat di rumah sakit mamanya meninggal karena penyakit yang sama” bisik pria tua itu dengan mata basah. Aku ikut terenyuh mendengarnya. Hadir rasa kasihan di hatiku terhadap manusia salju yang telah jadi suamiku.

“Jadi, apa yang terjadi dengan kak Raka setelah itu pa?” aku mulai penasaran dengan cerita masa kecilnya.

“Seorang pendonor yang tak ingin disebutkan namanya memberikan satu ginjalnya pada Raka, alhamdulillah Raka selamat dan bisa hidup hingga hari ini. Papa tak dapat membayangkan andaikan tak ada orang baik itu yang mengorbankan satu ginjalnya, mungkin papa akan kehilangan dua orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan” tuturnya dengan air mata membasahi pipinya.

“Syukurlah, jadi papa tak perlu sedih lagi, apalagi ada Winda sekarang menemani papa” ucapku tersenyum menggenggap erat tangannya. Pria tua itu tersenyum padaku. Aku baru meyadari sekarang, betapa pria yang selalu terlihat ramah dan hangat ini, menyimpan cerita sedih dalam hidupnya. Sementara Raka, di balik sikapnya yang dingin ternyata menyimpan luka masa lalu.

Aku kembali ke kamar dengan membawa bubur ayam buatan bi Arsih, kata papa, Raka sangat suka makan bubur ayam. Melihat kedatanganku bi Inah keluar dari kamar, aku melihat Raka sudah terbangun. Tak dapat kuartikan tatapannya padaku, ia memandang dengan muka datar tanpa ekspresi apa-apa “Apakah ia menderita amnesia setelah kena tinjuku? Tapi kan aku meninjunya di bagian perut, bukan di kepala” gumamku sambil terus berjalan ke arahnya sambil membawa semangkuk bubur ayam.

“Makan dulu yah, aku suapin” ucapku sambil menyendokkan bubur ayam ke mulutnya. Tapi belum sampai bubur itu di mulutnya ia meraih mangkuk yang kupegangi.

“Biar aku sendiri saja” ucapnya langsung melahap bubur itu higga tandas.

“Bisa bantu aku wudhu ? aku mau shalat” ucapnya setelah berfikir beberapa saat. Aku memapahnya menuju kamar mandi untuk berwudhu. Ia melaksanakan shalat duduk di atas ranjang karena kondisinya belum memungkinkan untuk berdiri. “shalatlah kamu dengan berdiri, jika tak mampu maka shalatlah dengan dengan duduk, dan jika tidak mampu shalatlah dengan berbaring” demikian bunyi hadis yang pernah aku pelajari dari salah satu ustads di pesantrenku. Walaupun sikapnya yang kadang membuatku kesal namun melihat ke istiqomahannya melaksanakan keawajiban sebagai seorang muslim, muncul kagum dalam hatiku “Cuma kagum yah, ingat Win, ka-gu-m” selorohku dalam hati.

Aku mengambil selimut dalam lemari setelah mengerjakan shalat isya malam itu. Aku akan tidur di bawah saja, karena tidak mungkin aku tidur di dekatnya, bisa-bisa sakitnya bertambah parah kalau aku menjelajah lagi saat tidur. Aku tertawa kecil mengingat saat ia bermalam di rumahku, dia terjatuh dan terbentur akibat tendanganku.

Aku menghamparkan selimut di samping ranjang agar lebih muda menjaganya kalau-kalau sesuatu terjadi padanya. “sabar Win, kalau sudah dia sudah sembuh, rebut lagi tempat tidurnya” gumamku kemudian menutup tubuhku dengan selimut. Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku terlelap.

“Astaghfirullah, astagfirullah!” teriakan istighfar terdengar dari atas ranjang. Aku telonjak kaget langsung terbangun menajamkan telingaku, mencoba meyakinkan diriku kalau itu memang manusia salju itu.

“Kak, ada apa?” kugucang tubuhnya yang tak berhenti beristighfar dalam keadaan mata terpejam.

“Kak, bangun, ada apa?” aku masih mengguncang tubuhnya sampai ia terbangun. Bajunya basah oleh keringat, dahi dan lehernyapun penuh titik-titik keringat.

“Win, aku takut” ucapnya tiba-tiba memelukku. Aku terkesiap akibat ulahnya tapi rasa kasihan melihat keadaanya membuatku mebiarkannya untuk sementara sampai ia agak tenang. Kulirik jam yang menggantung di dinding. Jarumya menunjukkan pukul tiga limabelas dinihari.

Setelah agak tenang, perlahan kudorong kepalanya dengan telunjukku “Maaf kak, kamu melanggar perjanjian kita” ucapku mengingatkannya tentang perjanjian pranikah yang ia kirimkan padaku sebelum pernikahan.

“Maaf win, tadi aku mimpi aneh” ucapnya masih agak gemetar.

“Mimpi apa kak?” tanyaku penasaran, aku mejauhkan tubuhku darinya, takut kalau ia nekat lagi.

“Aku lihat mama datang dan menarikku pergi mengikutinya, aku meronta tapi tidak bisa, ia terus menarikku pergi” terangnya bersungguh-sungguh persis seperti bocah yang menceritakan mimpi seram pada ibunya. Aku tersenyum melihat mimik wajahnya yang ketakutan, lucu saja bagiku “Raka yang kukenal begitu dingin ternyata bisa juga seperti bocah, hahaha” tawaku dalam hati.

“Kok, kamu senyum-senyum Win, kenapa?” tayanya mengerutkan dahinya.

“Oh,nggak kok kak, makanya sebelum tidur, cuci kaki dan tangan kemudian berdoa” sahutku mengejeknya. Ia melotot ke arahku seperti hendak menerkamku.

“Kenapa? Mau di tinju lagi?!, sudah sakit masih angkuh” sambungku membuatnya semakin melototkan matanya “Sudah ah, aku ngantuk” ucapku sambil kembali ke tempat tidurku.

“Win, tidur di sini saja yah” ucapnya sambil menaruh bantal di sampingnya.

“Enak saja, tidur sendiri sana” ucapku kembali menutupi tubuhku dengan selimut tanpa peduli apa yang ia pikirkan “enak saja menyuruhku tidur di dekatnya. Jangan-jangan mimpinya Cuma modus, isshhh” aku bergidik memikirkannya.

Aku terbangun setelah mendengarnya mengumandangkan adzan. Ternyata ia bangun lebih awal dariku. keadaannya sudah membaik. Ia bersiap shalat di mushallah kamar dengan berdiri, artinya ia sudah sehat.

“Mau jamaah?” tanyanya ketika hendak mulai shalat. Aku mengangguk dan buru – buru ke kamar mandi untuk berwudhu. Belum pernah sekalipun membuka hijabku di depannya makanya aku selalu ganti baju dalam kamar mandi.

Seminggu usia pernikahan kami, keadaan tak kunjung berubah. Dia masih bersikap dingin padaku yang memang selalu cuek atas sikapnya. Waktuku lebih banyak aku habiskan bersama papa mertuaku dan sebuah fakta baru kutemukan selama tinggal di rumah ini adalah, papaku ternyata selama ini tidak bekerja lagi di sini, tapi papa ke sini Cuma sebagai teman main catur papa mertuaku.

Persahabatan antara papaku dan papa mertuaku ternyata telah terjalin sejak mereka SMA. Menurut penuturan papa, mereka dulu bersahabat sangat dekat tapi papa tak sempat melanjutkan kuliahnya karena keadaan ekonominya tidak memungkinkannya untuk kuliah. Mereka akhirnya bertemu saat sama-sama telah berkeluarga dan papaku bekerja di rumah ini sebagai tukang kebun papa mertua.

“Tapi sekarang papa suruh papamu untuk pensiun Win, karena aku juga sudah pensiun, hehehe” ucap papa mertuaku terkekeh di jawab senyum oleh papaku.

Sekarang saya pikir, mereka menjodohkan saya karena hubungan persahabatan itu “arrrggg...saya pusing” rutukku dalam hati.

Aku menatap mereka berdua yang dengan santainya bermain catur bersama. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran mereka “Haruskah hubungan persahabatan yang terjalin di antara mereka diwariskan padaku dan Raka? Apakah tak ada cara lain?” aku benar-benar tidak mengerti.

Kupandangi wajah papaku yang terlihat semakin tua dan lemah, ia tersenyum ke arahku, mungkin ia menerka-nerka apa yang kupikirkan karena sejak tadi menatap mereka tanpa suara.

“Brugh” tiba-tiba tubuh papaku ambruk menimpa lantai teras rumah, aku dan papa mertua berteriak kaget menyaksikan beliau terjerembab tak berdaya.

“papa, papa !, papa kenapa?” teriaku menangis sambil berusaha membantunya kembali duduk bersama papa mertuaku.

“Kita bawa ke rumah sakit yah Win” sahut papa mertuaku panik.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Apa yg terjadi dengan papa?

01 Feb
Balas

Di tunggu kelanjutannya yah bun

01 Feb

Ceritanya semakin menarik, ditunggu lanjutannya Bunda.

01 Feb
Balas

Makasih bun

01 Feb

Lanjut Bu

01 Feb
Balas

Siap bunda

01 Feb

Mantap banget isi cerpennya Bunda .. salam sukses selalu

01 Feb
Balas

Maksih bunda

01 Feb

Mantap luar biasa ceritanya. dilanjuuuuuut....

01 Feb
Balas

Siap Bun..maksih

01 Feb

Lanjut, ah..Salam literasi.

01 Feb
Balas

Siap Bun..makasih

01 Feb

Mudah-mudahan ayahnya Windi tidak apa-apa... keren cerpennya bun...jadi penasaran terus dengan kisahnya

01 Feb
Balas

Makasih bun

01 Feb



search

New Post