Mayang Sari

Lahir di Padang tahun 1982, dan menghabiskan masa kecil di kota Medan. Pendidikan terakhir penulis adalah strata 1 jurusan pendidikan Matematika di Universitas ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Curhatku tentang kesepakatan kita

Curhatku tentang kesepakatan kita

Dear pendidik (Guru dan Orang tua),

Bukankah kita sepakat bahwa setiap anak dilahirkan berbeda? Atau dikatakan bahwa anak memiliki potensi yang berbeda-beda.

Tapi bagaimanakah pendidikan kita memandangnya? Apakah sejalan atau malah menyimpang dari apa yang kita pahami.

Kita tahu bahwa pedidikan saat ini menyajikan materi dari banyak mata pelajaran. Matematika, Ilmu Alam, Ilmu sosial, Agama, Pancasila, Olahraga, Kesenian, dan lain-lainnya. Dan semua materi dari mata pelajaran tersebut harus dikuasai setiap anak dalam satu tingkatan pendidikan di suatu masa. Minimal anak harus mencapai batas “ketuntasan” belajar. Yang artinya ada kecendrungan memaksakan anak menguasai semua mata pelajaran.

Pertanyaannya,

Apakah penguasaan itu mungkin terjadi pada setiap anak?

Sebenarnya apa tujuan dari itu semua?

Bukankah pendidikan diberikan agar anak mencapai “sukses”?

Sadarkah kita, begitu banyak contoh orang sukses yang disebabkan karena menguasai bidang tertentu saja.

Lihat saja, Atlet bulu tangkis, Susi Susanti. Pelukis terkenal, Affandi. Pemeran (Aktris), Christin Hakim. Pendakwah, Ustadz Abdul Somad. Pebisnis, Bob Sadino, dan masih banyak lagi. Apakah mereka sukses karena menguasai semua bidang? Tentunya tidak.

Memang benar, mungkin diantara mereka mengalami masa belajar yang sama dengan anak-anak kita. Namun, standar dengan mematok anak-anak harus menguasai semua bidang membuat banyak anak menjadi frustasi dan hilang kepercayaan diri. Sehingga tidak aneh jika kesuksesan hanya bisa diraih oleh beberapa orang saja. Yaitu orang-orang yang cepat tanggap dengan potensi yang ada dalam dirinya. Sehingga mereka lebih fokus pada satu bidang yang mereka senangi dan kuasai.

Apa yang terjadi jika anak menghabiskan waktu menguasai banyak bidang dan kehilangan waktu untuk menggali potensi dirinya?

Yang terjadi adalah kegagalan, dan masa depan yang tidak jelas. Gagal merumuskan cita-cita dan berakhir menjadi pengangguran.

Dan ini salah kita semua! Karena telah merenggut waktu mereka yang sangat berharga untuk hal-hal yang tidak fokus. Kemampuan yang mereka miliki pun serba ‘nanggung’ alias sia-sia.

Ada yang berhasil. Namun banyak yang gagal.

Saran saya...

Jika memang sistem pendidikan tetap menginginkan anak-anak mempelajari seluruh mata pelajaran yang ada. Maka adakan perengkingan untuk setiap mata pelajaran. Sehingga nantinya akan tersemat anak yang “jago” matematika, jago agama, jago olah raga, atau jago kesenian. Yang artinya semua anak dihargai usaha dan kemampuannya masing-masing. Ini akan berdampak pula pada mental dan jiwa anak yang akan lebih percaya diri dan dapat menghargai teman-temannya. Atau secara tidak langsung mengajarkan mereka tentang cara menghargai perbedaan.

Dan juga mengajarkan kita sebagai pendidik untuk menghargai anak didik sebagai anak yang memiliki potensi , yang sesungguhnya tidak perlu ada stigma bodoh diantara mereka.

Kepercayaan diri  yang tinggi dan support dari orang dewasa merupakan salah satu faktor yang menentukan anak menjadi sukses dan berguna. Karena Tuhan menciptakan manusia sejatinya, “semuanya berguna”.

Seperti kata pepatah Minang,

Nan buto pahambuih lasuang (Yang buta, penghembus lesung, karena matanya tidak akan pedih)

Nan pakak palapeh badia (Yang tuli, penembak/menembak dengan senapan, karena suaranya tidak terdengar)

Nan lumpuah panghuni rumah (Yang lumpuh, penjaga rumah, karena tidak akan kemana-mana

Nan kuek pangangkuik baban (Yang kuat pengangkut beban berat)

Nan jangkuang jadi panjuluak (Yang tinggi, Penjuluk)

Nan randah panyaruduak (Yang rendah, Penyeruduk)

Nan pandai tampek batanyo (Yang pandai, tempat bertanya)

Nan cadiak bakeh baiyo(Yang cerdik,penolong atau orang yang bisa diajak bekerja sama)

Nan kayo tampek batenggang (Yang kaya, tempat meminta)

Yang artinya semuanya berguna. Meskipun ada kekurangan yang tampak, tapi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki yang lainnya.

Lalu, tantangan saya...

Apakah anda sebagai pendidik, bisa menyuarakan hal yang sama dengan saya?

Yakinlah, suara inilah yang akan mengubah. Jika tidak berubah, maka apa yang anda lakukan, menyalahi prinsip yang kita sepakati dalam memandang anak/manusia yang katanya dilahirkan berbeda.

Toh, mereka tetap saja dipaksa.

Mari renungkanlah apa yang kita sepakati ini.

(Mayang)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post