mentas maning

aku seorang pesakitan -__- menjadi guru wiyata di MA darul ma'la Winong PATI 1997-2010, mejadi Guru SMP negeri 2 Winong 2003-2010, menjadi guru di S...

Selengkapnya
Navigasi Web
rokok

rokok

nggied Pramudhito Aryadi*

*Mahasiswa Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas Indonesia angkatan 2008

Setiap individu dan masyarakat dunia tahu bahwa merokok itu mengganggu kesehatan karena dapat menimbulkan dan mendorong perkembangan berbagai penyakit. Oleh karena itu, World Health Organization (WHO) terus melakukan kampanye bahaya rokok antara lain dengan label bahaya merokok. Bahkan pemerintah, LSM, dan masyarakat dunia melakukan aksi tidak merokok secara massal setiap tanggal 31 Mei. Namun demikian, merokok tetap diminati bahkan telah menjadi salah satu bagian dari kehidupan perokok dengan berbagai alasan. Ada yang mengatakan rokok itu ialah sarana pergaulan, rokok itu memberi ketenangan atau rokok itu mendorong kreativitas, dan banyak lagi alasan lainnya. Rokok tetap menjadi pilihan bebas dari setiap individu dalam menentukan sikap jadi perokok atau tidak.

Kebiasaan merokok diperkirakan mulai banyak dikenal di Indonesia pada awal abad ke-19 yang lalu. Fuad Baraja (aktivis antirokok) dalam diskusi interaktif dengan tema “Save Our Environment without Cigarettes” menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara pengonsumsi rokok terbesar ketiga di dunia, jumlahnya sekitar 240 milyar batang per tahun atau sekitar 650 juta batang per hari. Selain merugikan kesehatan, rokok juga mulai dikonsumsi anak-anak sejak usia dini. “Beberapa waktu lalu, heboh di media, anak kecil berusia dua tahun sudah merokok,” kata Fuad dalam diskusi ini[1].

Berbicara tentang konsumsi rokok di Indonesia, maka hal ini melibatkan beberapa pihak dengan sisi pro dan kontra yang terkait di dalamnya. Bila ditinjau dari sisi pro, bagi perusahaan rokok berarti pemasukan keungan, bagi pemerintah industri rokok merupakan salah satu sumber pendapatan yang cukup potensial dan mengurangi pengangguran, dan bagi masyarakat merupakan sarana untuk memperoleh pekerjaan di sektor produksi, pertanian, maupun perdagangan. Sementara itu bila ditinjau dari sisi kontra, naiknya keuntungan pada perusahaan rokok (perusahaan multinasional) tidak pula memberikan keuntungan terhadap lingkungan. Begitu pula dengan pendapatan yang diterima oleh negara tidak sesuai dengan pengeluaran terkait dengan investasi kesehatan. Pembuatan rokok pun saat ini hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja, bahkan pengendalian tembakau semestinya meningkatkan kesempatan kerja. Selain itu, pro dan kontra konsumsi rokok di Indonesia juga dapat terlihat pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2000 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.

Keuntungan Industri Tembakau Tidak untuk Lingkungan

Industri tembakau adalah kumpulan perusahaan yang sangat berbeda ukuran dan makna atau pengaruhnya. Ada yang bersifat lokal atau nasional, ada yang dimiliki pemerintah, tetapi yang paling besar dan berkuasa ialah beberapa perusahaan multinasional yang memilki usaha pada skala global. Seperti perusahaan lain, mereka berjuang meningkatkan pangsa pasar dan keuntungan untuk kepentingan para pemegang sahamnya. Tidak heran, industri tembakau sangat kuat menentang semua upaya yang dirancang untuk mengurangi konsumsi tembakau. Penolakan mereka bisa terbuka dan diketahui masyarakat secara luas. Namun, sering kali akan lebih berbahaya bila bersifat tidak langsung dan tersembunyi. Lantas yang menjadi pertanyaan ialah apakah keuntungan yang mereka peroleh turut andil dalam menanggulangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh bahaya mengonsumsi rokoknya?

Rokok (dan korek api yang menyertainya) ialah penyebab utama kematian dan cedera akibat kebakaran dan ledekan di seluruh dunia. Diperkirakan merokok menyebabkan 10% kematian akibat kebakaran per tahun—sekitar 300.000 orang—dari luka bakar atau menghirup asap dan sekitar lima kali lipat dari jumlah tersebut mengalami luka bakar yang parah dan/atau cedera akibat menghirup asap. Satu dari enam korban ini ialah anak-anak[2].

Yang lebih serius ialah penebangan hutan untuk mengelola tembakau menjadi rokok. Satu dari 25 pohon di dunia ditebang untuk memroses tembakau. International Forest Science Consultancy (IFSC) menyatakan bahwa sekitar 9,43 juta m3 kayu dikonsumsi setiap tahunnya di berbagai negara berkembang untuk industri tembakau ini[3]. Tentunya hal ini akan berakibat buruk kepada ekosistem hutan. Kerusakan hutan akan mengurangi hujan dan memperluas gurun serta menambah beban penduduk miskin.

Selain itu, terkait dengan kerusakan lingkungan, kebiasaan merokok menimbulkan sampah dan limbah di jalanan dan di tempat umum lainnya. Sampah dan limbah rokok tersebut berupa sisa rokok atau limbah asap dan debu rokok yang tentunnya sangat membahayakan bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Harus pula diingat bahwa biaya kebersihan jauh lebih tinggi dalam bangunan dan transportasi umum yang memperbolehkan orang merokok.

Besar Pengeluaran daripada Pemasukan Negara akibat Produksi Rokok

Produksi rokok dan pemanfaatan tembakau jelas membawa hasil bagi pemasukan negara. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam dasawarsa tahun 1980-an cukai rokok terus meningkat sebesar 16,38% per tahunnya, sedangkan penerimaan cukai rokok tahun 1980 ialah Rp 390.005 juta, di tahun 1985 meningkat menjadi Rp 876.897 juta, dan di tahun 1989 naik lagi menjadi lebih dari Rp1,2 triliun. Kalau kita lihat devisa yang didapat dari ekspor tembakau dan rokok, maka juga ditemukan kenaikan sebesar 2,82% per tahun dalam dasawarsa tahun 1980-an yang lalu. Total nilai ekspor di tahun 1980 ialah US$ 63.810.000 yang terdiri dari US$ 62.449.000 ekspor tembakau dan US$ 1.361.000 ekspor rokok. Di tahun 1989 angka ini naik menjadi total nilai ekspor sejumlah US$ 60.118.000, terdiri dari US$ 47.327.000 ekspor tembakau—yang memang menurun dibanding tahun 1980—dan sejumlah US$ 12.791.000 nilai ekspor rokok yang jelas-jelas meningkat dibanding tahun 1980 yang lalu[4].

Peningkatan cukai dan devisa negara ini memang dari satu pihak menguntungkan, tetapi kita seyogianya menghitung pula seberapa besar kerugian secara ekonomis yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit akibat mengonsumsi rokok. Beberapa studi di Indonesia telah menemukan bahwa dibalik pendapatan pajak rokok yang meningkat setiap tahunnya, kerugian masyarakat karena penyakit dan kematian akibat rokok juga membengkak. Pada tahun 2005, pengeluaran masyarakat akibat kesakitan dan kematian tembakau mencapai Rp167 triliun, yang merupakan lima kali pendapatan negara dari pajak dan cukai tembakau[5]. Belum lagi kalau dihitung kerugian akibat absensi sakit, penurunan produktivitas kerja, dan berbagai pengaruh buruk lainnya pada prestasi kerja para perokok. Sungguh besar kerugian kesehatan dan sosial-ekonomi yang diakibatkan tembakau.

Para ahli Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk setiap 1000 ton tembakau yang dikonsumsi, maka dunia rugi sebesar US$ 27,2 juta. Mengingat konsumsi global tembakau mencapai 7 juta ton, maka kerugiannya dapat mencapai sekitar US$ 200 miliar.

Industri Tembakau Menyerap Sedikit Tenaga Kerja

Data tahun 1996 menunjukkan bahwa produsi rokok kretek di Indonesia berjumlah 165 miliar batang, terdiri dari 60 miliar batang rokok kretek tangan dan 105 miliar batang rokok kretek mesin[6]. Rokok kretek diproduksi oleh pabrik rokok berskala besar yang bekerja dengan mesin modern, tetapi juga secara manual. Rokok kretek yang diproduksi secara manual jelas memerlukan tenaga kerja, sehingga disebut pabrik padat karya.

Sesungguhnya, pembuatan rokok sudah sangat termekanisasi dan hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja—industri rokok sendiri telah membuat kebanyakan tenaga kerja tembakau tidak diperlukan lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Di banyak negara, pekerjaan pembuatan rokok jumlahnya kurang dari 1% (angka ini sedikit lebih tinggi di Turki, Bangladesh, Mesir, Filipina, dan Thailand)[7].

Di beberapa negara, pertanian tembakau memang mempekerjakan sejumlah besar tenaga kerja (walaupun propaganda industri sering membesar-besarkan angka dengan menghitung semua anggota keluarga petani sebagai pekerja). Namun, banyak petani juga menanam hasil bumi lainnya atau dapat beralih produksi ke hasil bumi yang lebih cepat menghasilkan uang.

Pengendalian tembakau semestinya meningkatkan kesempatan kerja. Bank Dunia menyatakan bahwa jika konsumsi tembakau menurun, orang akan membutuhkan kegiatan produksi, sehingga kesempatan kerja akan tumbuh di sektor-sektor tersebut. Penelitian di AS dan Inggris membuktikan hal itu. Suatu studi Bank Dunia menyimpulkan bahwa di Bangladesh peningkatan kesempatan kerja meningkat 18% jika para perokok membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa lainnya. Jika Bangladesh yang tingkat perkapitanya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia dapat menerapkan pengendalian tembakau, mengapa Indonesia tidak?

Tanggapan PP No. 38 /2000 tentang perubahan atas PP No. 81/1999

PP No. 81/1999 menetapkan kadar maksimum nikotin 1,5 mgr/batang dan kadar maksimum tar 20 mgr/batang. Pemeriksaan kadar nikotin dan tar dengan menggunakan smoking machine sesuai dengan standar internasional. Menggunakan smoking machine berarti yang diperiksa ialah kadar nikotin dan tar di dalam asap rokok yang diisap atau di dalam rokok yang dirokok. Jadi, bukan di dalam rokok yang tidak dirokok atau di dalam tembakau. Sementara, PP No. 38/2000 dinyatakan bahwa Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan telah menghasilkan varietas-varietas tembakau dengan kadar nikotin rendah (2%) dibandingkan dengan umumnya saat ini digunakan 5% – 7%. Dalam hal ini berarti kadar nikotin di dalam tembakau atau kadar nikotin di dalam rokok yang tidak dirokok. Perlu diketahui bahwa nikotin dapat dijumpai di dalam rokok yang dirokok maupun di dalam rokok yang tidak dirokok (tembakau). Kondisi ini berbeda dengan tar dan CO hanya dijumpai di dalam rokok yang dirokok, tidak dijumpai di dalam rokok yang tidak dirokok atau di dalam tembakau. Oleh karena itu, PP No. 81/1999 maupun PP No. 38/2000 tidak membedakan antara kadar nikotin dan tar di dalam rokok yang dirokok dengan kadar nikotin di dalam rokok yang tidak dirokok atau di dalam tembakau. Misalnya, pemeriksaan rokok kretek dengan smoking machine menunjukkan kadar nikotin 2 mgr/batang dan kadar tar 56 mgr/batang; ternyata kadar nikotin di dalam rokok yang tidak dirokok (tembakau + cengkeh; di dalam cengkeh tidak dijumpai nikotin) sejumlah 7,99 mgr/batang, sedangkan tar tidak dijumpai[8]. Dengan kata lain, aplikasi PP No. 38/2000 masih menghadapi pro dan kontra.

Daftar Pustaka

Aditama, Tjandra Yoga. Rokok dan Kesehatan. Jakarta: UI-Press, 1997

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post